Baca juga mBajing
Ungkapan ula-ula dawa menjadi ungkapan khas ketika orang sedang berhadapan dengan sebuah perkara, apalagi perkara itu lalu sudah menjadi perkara hukum. Makna ula-ula dawa, ialah kedawa-dawa tumrap perkara; mengapa berperkara itu kok (selalu) berkepanjangan.
Baca juga Mbeo
Selisih paham saja dengan tetangga, bila dilaporkan pak RT, perkaranya dapat berkepanjangan. Mengapa? Semakin banyak orang yang terlibat dalam selisih paham itu, belum lagi lalu ada pihak-pihak yang nimbrung dengan dalih ikut menegakkan keadilan.
Dalam sengketa Pilkada pun, tidak mustahil akan terjadi ula-ula dawa, perkaranya dapat semakin “berkeriapan” kemana-mana. Semua itu pasti butuh waktu dan uang, serta tenaga. Apabila perkara sudah berkeriapan kemana-mana, sulit memutus mata rantainya kecuali harus terus dan terus. Nah………ula-ula dawa, tenan.
Dalam ula-ula dawa, adakah win-win solution? Rasanya tidak segampang dibayangkan orang. Mengapa? Jika ranahnya sudah “masuk masalah hukum,” maka yang ada adalah pihak yang nantinya menang atau nantinya kalah. Nyaris tidak ada kalah-menang atau menang-kalah, win-win solution.
Itulah mengapa, ada nasehat suci: Pikirkanlah ulang manakala kamu hendak berperkara. Ini sebuah naehat bagus agar orang benar-benar cermat memperhitungkan segala seuatunya. Dalam budaya Jawa nasehat itu berupa peringatan: Pikiren, menang ora kondhang, kalah kowe diisin-isin. Kalau pun kamu akan menang, tidak akan membuatmu mendadak tenar; sebaliknya kalau kamu kalah, semua orang akan mengolok-olokmu. Pikirkan baik-baik.
Ada kisah menarik dari sebuah kelas di sebuah sekolah. Setiap akan mengakhiri pelajaran, guru selalu meminta murid-murid menjawab beberapa soal; dan jawabannya dikoreksi oleh teman sendiri. Guru berkata: Semua harus menjawab benar, sebab bagi yang menjawab salah, mereka tidak boleh segera pulang.
Ketika jawaban itu dikoreksi oleh sesama teman, ternyata hanya sedikit saja yang semua jawabannya benar. Murid-murid mulai resah karena bakal pulang terlambat. Guru melihat keresahan itu, tetapi ia pura-pura tak mendengarnya. Murid-murid semakin resah, dan guru lalu berkata: Anak-anak, inilah makna apa yang disebutkan agar orang harus “saling mengampuni dan saling memaafkan.”
Murid-murid terdiam, lalu guru melanjutkan: Jawabanmu pasti ada yang benar, dan pasti ada yang salah. Jadinya, akan akan ada yang segera pulang dan tertahan di kelas. Tetapi, marilah kita saling memaafkan yang salah, agar kita bareng-bareng pulang. Setujuuu? Tanya sang guru guru? Serentak murid-murid menjawab keras: Setujuuuuuuuuuuuuu, lalu berhamburan keluar ruangan seraya saling bersalaman.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University