DALAM pembuatan sebuah produksi karya film, baik film fiksi maupun film dokumenter, tenaga riset sangat dibutuhkan demi membuat konten yang kaya akan data dan akurat.
Tenaga riset tidak hanya membantu dalam memahami budaya dan konteks lokal, tetapi juga memastikan bahwa cerita yang diangkat benar – benar relevan dan otentik, sehingga dapat diterima oleh para audiens, baik di dalam maupun luar negeri.
Pentingnya mutu sebuah karya film, membuat rumah produksi (PH) mengikut sertakan tenaga riset untuk membantu mereka menyusun seluruh cerita dan skenario yang kuat, dan tentunya tidak melenceng dari nilai – nilai aktual.
Terlebih lagi bagi rumah produksi asing atau yang sudah berkelas internasional, yang ingin membuat film dokumenter atau film fiksi dengan latar belakang lokasi dan budaya di Indonesia, tentunya mereka pasti akan merekrut seorang tenaga riset lokal untuk membantu menyusun kekuatan cerita produksi karya filmnya.
Salah satu periset Indonesia yang sudah lama berkecimpung dan berkutat di dunia produksi karya film, khususnya film – film dokumenter, adalah Dodid Wijanarko.
Sudah hampir 10 tahun, Dodid membantu rumah produksi, baik PH lokal Indonesia maupun yang dari luar negeri dan bertaraf internasional, untuk menyusun data – data film fiksi, film non – fiksi, dan juga film dokumenter.
Awal karier Dodid memang asalnya dari dunia perfilman, dirinya sendiri sudah lama menjadi seorang sutradara berbagai film dokumenter berbagai judul. Saat akan membuat karya film – film dokumenternya, ia akan melakukan sejumlah riset mendalam dan detail untuk memperkaya konten sehingga hasilnya nanti benar – benar otentik.
Tak tanggung – tanggung, untuk risetnya tersebut dirinya pun harus berkeliling ke berbagai pulau dan terbang ke banyak kota di Indonesia hanya untuk mengumpulkan data dari beragam narasumber, baik masyarakat lokal setempat, para pemegang kepentingan di suatu daerah, atau menemui para pelaku seni dan budaya setempat.
“Dari situlah awalnya, saya merasa banyak hal menarik saat melakukan kerja – kerja riset untuk produksi sebuah film dokumenter,” ujarnya.
Seluruh data yang didapatkannya pun ia kumpulkan untuk proyek – proyeknya sendiri. Hingga akhirnya, berkat kekuatan getok tular (informasi terhubung dari mulut ke mulut), keahliannya itu banyak “didengar” oleh pihak asing.
Gayung bersambut, proyek kerjasama dengan rumah produksi asing pertamanya adalah dengan Kementerian Desain Singapura.
Kala itu, seorang teman memintanya melakukan riset untuk program dari Kementerian Desain Singapura, tentang mengukur kebahagiaan masyarakat Indonesia.
“Di situ, saya bekerja dengan kru film dari Singapura dengan latar belakang yang berbeda – beda, seperti desain grafis, sosiolog, dan pakar komunikasi. Itu awal mula saya akhirnya memutuskan terjun jadi periset, meski masih tetap menyutradari dokumenter,” ujar laki – laki kelahiran 19 Oktober ini.
Begitu terjun ke dunia riset untuk film, Dodid pun semakin sering mendapat tawaran kerjasama dari banyak rumah produksi asing.
Sebut saja seperti James Morgan Film UK, BHP Singapore, MSG Sphere-US, Indocina Bangkok, ZDF Digital Jerman, Silverback-UK, Kementerian Design Singapore, Emergency Picture-US, hingga Imagine Picture-US.
Beberapa proyek film besar sudah pernah digelutinya, seperti dokumenter Netflix Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso, David Blaine Do Not Attempt produksi National Geographic, dokumenter Australia Au Lorun-I Am Weaving, dan beberapa dokumenter soal kekayaan alam Indonesia seperti kehidupan Orang utan.
“Saat ini saya sedang melakukan riset untuk dua film fiksi Indonesia dan 3 film dokumenter dari rumah produksi internasional,” papar Dodid.
Menurut Dodid, tak hanya film dokumenter saja yang butuh riset. Film fiksi juga membutuhkan data riset untuk memperkuat akurasi cerita, penguatan karakter dan tokoh, juga penguatan soal lokasi dan budaya – budaya lokal.
Salah satu proyek film fiksi yang lagi digarapnya, awalnya sudah jalan proses produksi, yaitu pengerjaan skenario.
Namun sang sutradara mentok pada beberapa hal, pada beberapa titik cerita yang ternyata butuh data akurat. Seperti soal proses hukum, dan soal kehidupan tokoh perempuan yang berasal dari suku tertentu.
“Karena beda suku dan daerah, akan beda karakternya. Orang pesisir dan gunung tentu saja beda. Nah di sinilah, peran tenaga riset dibutuhkan,” ujar Dodid.
Ada kalanya, selepas data riset dikumpulkan, seluruh skenario harus dibangun ulang demi keakuratan cerita.
“Apalagi film sejarah, butuh riset visual, hubungan antar – tokoh, setting lokasi dan tahun, sisi pertemanan antar – tokoh, dan lain – lain.”
Banyak tantangan yang dihadapi periset untuk mengumpulkan data bagi proyek film.
Pertama, tenaga riset acap kali harus masuk ke lokasi – lokasi yang masih “perawan”, keluar masuk hutan di pedalaman Indonesia.
Kemudian, tenaga riset juga harus bisa melakukan pendekatan kultural ke masyarakat lokal demi bisa memperoleh data yang lengkap.
“Pendekatan ini bisa dilakukan 3 – 4 hari dengan sekadar ngobrol santai dengan mereka.”
Tak jarang, ada penolakan – penolakan dari masyarakat lokal. Tapi hal ini bisa diatasi saat tim periset bisa menyampaikan dengan baik soal tujuan positif dari film, atau mengikut sertakan masyarakat untuk andil sebagai kru film.
Sementara itu, tantangan paling riskan adalah ketika harus menggarap proyek yang sifatnya investigasi, seperti dokumenter soal kasus Kopi Sianida Jessica Wongso, atau soal hal – hal sensitif seperti kehidupan Orang utan di Hutan Kalimantan.
“Padahal dokumenter soal Orang utan ini banyak sekali manfaatnya, kami bisa menyebar awareness soal pentingnya menjaga hutan demi kelangsungan ekosistem Orang utan,” papar Dodid.
Melalui segala tantangan dan rintangan, jika data sudah terkumpul, maka tugas penting periset berikutnya adalah merumuskan data dan mencari beberapa angle atau fokus yang paling layak dan menarik untuk diangkat.
Sayangnya, meski peran tenaga riset sangat krusial dalam pembuahan sebuah film, namun jumlah periset di Indonesia masih teramat minim.
Hal itulah yang membuat Dodid berinisiatif mendirikan kelas riset di bawah payung Do Research.
“Karena Indonesia ini kaya dengan keaneka ragaman suku, budaya, satwa, dan faunanya. Hal itulah yang membuat rumah produksi asing selalu berminat menggarap proyek film berbau Indonesia. Hal ini seharusnya membuat dunia riset Indonesia makin berkembang,” pungkas Dodid.
Hery Priyono