Namun, jika merujuk pada Baoesastra Djawa, yang disebut gereh iku iwak segara kang digaringake lan diasini; ikan laut yang dikeringkan dan diasinkan. Kamus itu tidak menyebutkan  iwak kali, iwak sawah, iwak blumbang, dan lain sebagainya, kecuali iwak segara, ikan laut. Jadi, tidak ada gereh asale iwak kali, karena sudah telanjur habis digoreng sebelum sisa dibuat menjadi gereh.

Unsur dan faktor utama paling penting dalam pembuatan gereh berkualitas, tentulah garam dan panas matahari. Tanpa ada garam dan panas matahari, busuklah onggokan sisa ikan itu. Garam dan panaslah penghambat kebusukan; dan terkait  garam serta panas inilah ada ajaran spiritual menyebutkan: “Kamu adalah garam dan terang dunia.

Baca juga Harapan buat Mendikbudristek Baru: Kurikulum Berdiferensiasi

Salah satu maksud atau pengertian tentang garam dan terang dunia  tentulah: Hambatlah kebusukan dunia ini dengan peranmu sebagai garam dan terang. Kalau ada kebusukan dunia saat ini, besar kemungkinannya karena banyak orang yang seharusnya sebagai garam dan terang yang menghambat pembusukan, kegaramannya dan terangnya telah menjadi hambar-pudar. Malahan ketularan busuk.

Walik Gereh

Walik gereh ini sebuah paribasan, sebuah ungkapan yang mengandung makna: Bagaikan membolak-balik ikan asin yang sedang dijemur (tentu dengan maksud agar kering berkualitas); pekerjaan itu perlu dilakukan berulang, hati-hati, dan berganti-ganti.

Walik gereh, bermakna (1)  nindakake pegaweyan gentenan, pekerjaan yang dilakukan bergantian; dan (2) diwalik bares wae, kareben katon tansah anyar; dibalik sedemikian rupa agar tetap nampak baru.

Dalam praktik sehari-hari, penerapan walik gereh sangat bervariasi. Ada yang  memaknainya bergantian itu berarti ngatrol: dulu seseorang  posisinya di bawah, lalu yang di atas mengatrolnya agar naik ke atas. Ada yang betul-betul berfikir “lurus-lurus saja,” bergantian itu ya berarti “Aku diganti anakku.” Ada juga walik gereh dimengerti sebagai: Dulunya nothing, ditarik-tarik menjadi something, bahkan someone.

Kelirukah? Ora kleru, tetapi jika sejumlah orang ada yang komentar:  “Pancen ora elek, ananging ora elok, kuwi,” itu berarti ada pelanggaran etika pun moral mungkin telah dilakukan.  Walik gereh-nya kebanteren; dan garammu sudah hambar, serta terangmu  sudah meredup.

Doa seorang koki berikut dapat menjadi contoh bagaimana menjaga diri tetap sebagai garam dan sedapat mungkin menghambat walik gereh yang terselewengkan: “Ya Tuhan, saya tidak punya waktu untuk menjadi kudus dengan melakukan hal-hal yang bagus; atau berjaga dengan Engkau di waktu fajar pagi-pagi; atau senantiasa berseru di pintu-pintu surga-Mu. Tuhan, saya hanyalah berteman dengan panci dan belanga; namun atas seizin-Mu, jadikanlah aku seturut kehendak-Mu, menjadi orang kudus melalui pekerjaan menyiapkan makanan dan menyuci piring-piring itu. Tuhanku, terimalah dambaku ingin menjadi kudus ini.  Amin.”

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University