blank
Mbah Kasiran (75) menganyam limbah daun Serai Wangi sisa penyulingan menjadi Sirap atau kerajinan atap, di Rumah Penyulingan Minyak Atsiri Kelompok Tani Bangkit, Wonosari, Desa Semoyo, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, Kamis 26 September 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

“Setiap kali penyulingan minyak atsiri, tiga kuintal limbah daun Serai Wangi menggunung. Ogah jadi masalah, Kelompok Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) Tani Bangkit di Desa Sejahtera Astra (DSA) yakni Desa Semoyo, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarya, punya ide kreatif. UMKM yang juga binaan Astra melalui Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) itu menyulap limbah padat jadi kerajinan sirap, dan anyaman hiasan lampu yang bernilai ekonomis. Limbah cair juga bisa diolah menjadi rupiah…”

GUNUNGKIDUL (SUARABARU.ID) – GIGI mbah Kasiran (75) bisa dihitung jari, tinggal di antara yang tanggal berkali-kali. Pipinya keriput, mengiringi nada bicaranya yang ramah dan lembut.

Kulitnya terlampau akrab dengan sengat matahari. Otot-otot menonjol melintasi lengan, hingga sela-sela jemari. Gurat-gurat di kulitnya itu mengisyaratkan prasasti hidup dari semburat waktu yang telah dilalu.

Kulit di telapak tangannya barangkali lebih kasap dari limbah daun Serai Wangi (Cymbopogon nardus). Di rumah penyulingan minyak atsiri itu, jari-jemarinya terampil merapikan helai-helai kasar daun Serai Wangi kering.

Limbah daun Serai Wangi dipilah, ditatanya segenggam demi segenggam. Dengan telaten, sepasang tangan Mbah Kasiran melipat salah satu sisi ujung daun, pada potongan kayu bambu sepanjang dua meter. Sesaat pangkal daun diikat dalam satu atau dua kali tarikan, juga menggunakan tali sayatan bambu.

Tiap sentuhan demi sentuhan, sirap hasil karya tangan mbah Kasiran terbentuk. Sirap atau atap berbahan daun Serai Wangi kering sisa penyulingan minyak atsiri itulah yang jadi kreatifitas Kelompok Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) Tani Bangkit, di Wonosari, Desa Semoyo, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.

Potret potensi pertanian di Desa Semoyo yang ditetapkakan Astra menjadi Desa Sejahtera Astra (DSA) itu cukup menarik. Dari dalam perkampungan di balik hutan rakyat kawasan Geopark Gunungsewu, Mbah Kasiran mengajari para anggota Kelompok Tani Bangkit menganyam sirap. Pengalaman berharga Mbah Kasiran didapat kala menganyam sirap dari alang-alang saat merantau di Lampung, pada era 1970-an.

Limang (lima) tahun kulo (saya) merantau (di Lampung). Siang kerja bangunan, pertukangan. Nggih serabutan, ngayam alang-alang (menganyam alang-alang menjadi sirap),” kata dia mengisahkan, saat disambangi Suarabaru.id, di Rumah Penyulingan Minyak Atsiri Kelompok Tani Bangkit, Kamis 26 September 2024.

blank
Tangan terampil Mbah Kasiran mengikat limbah padat Serai Wangi pada dengan utas pada potongan bambu sepanjang sua meter. (Foto:Diaz Azminatul Abidin)

Ide

Keterampilan lama menganyam sirap Mbah Kasiran sebelumnya ditangkap oleh Ketua Kelompok Tani Bangkit, Waldiyono (64). Mulanya, dia resah akan menggunungnya limbah padat Serai Wangi sisa hasil penyulingan minyak atsiri. Pada 2020, muncullah ide untuk mengolah limbah padat Serai Wangi sisa penyulingan menjadi sesuatu yang bernilai.

Ide itu terbesit setelah Kelompok Tani Bangkit melakukan lima kali penyulingan pertama sejak mendapat hibah bibit Serai Wangi dan ketel uap dari Lazismu pada 2019. Ketel uap penyulingan itu cukup besar berkapasitas tiga kuintal. Sekali menyuling, limbahnya pun dapat tiga kuintal dan menggunung di belakang.

“Saya dengan teman-teman bilang ‘waduh iki lur, iki awake dewe nyuling ping limo sampahe wes semene. Lha nko nak setahun nyuling, ngisor kono dadi gunung sampah malah jadi masalah. Piye saiki ayo do duwe penemuan supaya limbahe ora dadi masalah tapi dadi rupiah’ (Waduh ini kalau menyuling lima kali sampahnya sudah segini. Kalau setahun, sampahnya menggunung jadi masalah. Bagaimana kalau sekarang punya ide agar limbahnya tidak jadi masalah justru jadi rupiah),” kata Pak Wal, sapaan akrabnya.

Kebetulan, kata dia, ada dari anggota yang pernah merantau di Lampung tahun 1970 yakni Mbah Kasiran. Sembari ngobrol personal dan wedangan, dia melakukan pendekatan dengan Mbah Kasiran. Perlu solusi segera untuk menangani limbah daun Serai Wangi yang sudah menggunung itu.

“Saya tanya ‘mbah, riyen kan panjenengan pernah merantau ning Lampung’ (mbah, dahulu pernah merantau di Lampung?” ucap Pak Wal menceritakan saat bertanya pada Mbah Kasiran.

Aku limang tahun ning kono (saya lima tahun di sana),” kata Pak Wal menirukan jawaban Mbah Kasiran.

“Berarti njenengan mpun ngertos carane gawe sirap sing seko alang-alang, (berarti tahu cara membuat sirap yang dari rumput alang-alang?” ucap Pak Wal melanjutkan pertanyaan kepada Mbah Kasiran.

’Lha gaweanku’ (lha itu pekerjaan saya),” kata Pak Wal menirukan jawaban Mbah Kasiran.

Sejak saat itulah, dia meminta Mbah Kasiran untuk mengajari membuat sirap dari limbah Serai Wangi kepada para anggota yang lainnya. Keuntungannya, selain produk utama minyak atsiri, semua limbah bisa dimanfaatkan menjadi ladang rupiah. Bahkan nilainya bisa lebih besar dari minyak atsiri sebagai produk utama.

Pak Wal, mengakui pada awal membuat sirap belumlah sempurna. Akan tetapi, kata dia, dengan kemauan bersama-sama untuk menyempurnakan produk, mereka bersyukur hasilnya bisa semakin bagus.

Dia menjelaskan, penyempurnaan itu mengaplikasikan pembinaan tim Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA). Di mana ada salah satu pelatihan produksi yakni Quality Control Circle (QCC).

“Ternyata betul (hasilnya bagus). Kita punya SOP (standard operating procedure), kalau membuat ini jadi ini. Itu diajarkan oleh YDBA,” katanya.

blank
Limbah padat daun Serai Wangi sisa penyulingan minyak atsiri dijemur, sebelum dianyam menjadi sirap. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Proses Menganyam Sirap

Dalam pembuatan sirap oleh UMKM Kelompok Tani Bangkit, membutuhkan limbah padat Serai Wangi hasil produksi sendiri. Serai Wangi yang baru saja diangkat dari ketel uap penyulingan minyak atsiri, langsung dijemur dalam posisi menggantung. Tujuannya supaya hasil penjemuran bisa lurus dan cepat kering.

Pak Wal menguraikan, dalam keadaan cuaca panas terik, maka hasil penjemuran bisa kering dalam waktu tiga hari. Setelah itu diangkat, dipindahkan, serta ditumpuk rapi pada tempat teduh. Diakuinya, tidak semua limbah itu bisa dianyam menjadi sirap.

“Ada yang rusak, patah, kita pilah-pilah. Ambil yang bagus-bagus untuk dianyam. Kalau yang tidak bisa dianyam masih bisa dimanfaatkan menjadi pupuk organik sebetulnya. Akan tetapi, kami masih terkendala dengan alat pencacahannya. Jadi sekarang memang fokus mengolahnya menjadi sirap dahulu, dimanfaatkan seperti untuk atap gazebo,” kata ayah tiga anak itu.

Panjang daun Serai Wangi mentah dari kebun rata-rata punya panjang 60 cm hingga 1 meter. Musim menentukan kesuburan dan panjang Serai Wangi. Bila musim kering rata-rata panjangnya mulai 60 cm. Sebaliknya saat musim hujan, panjang daun bisa mencapai satu meter.

Dengan alat penyulingan minyak atsiri berkapasitas tiga kuintal yang dioperasikan Kelompok Tani Bangkit, cukup menghasilkan limbah padat Serai Wangi kualitas bagus. Satu kuintal bisa dianyam menjadi sirap sebanyak 20-25 lembar

Kualitas daun yang bagus, tandanya tidak banyak yang patah atau rusak. Adapun ukuran daun yang dibutuhkan untuk sirap, rata-rata panjang 60 cm. Daun kering dianyam dengan ukuran panjang bambu dua meter.

“Biasanya rata-rata 70 persen limbah padat daun Serai Wangi bisa digunakan, sisanya patah dan rusak. Cukup banyak yang bermanfaat,” kata Pak Wal.

Dia mengungkapkan, sirap Serai Wangi itu cukup punya ketahanan. Sejak awal bahannya memang sudah matang. Hal itu karena hasil sisa dari proses perebusan dalam penyulingan minyak Atsiri Serai Wangi. Selain kerapihan anyaman sirap, juga harus ditunjang dengan teknik pemasangannya atap. Tujuannya supaya awet, berfungsi baik, hingga tahan dari kebocoran.

Kebetulan, hujan turun mengguyur gazebo UMKM Tani Bangkit beratapkan sirap Serai Wangi itu pada siang itu. Struktur pembuatan rangka atap gazebo di Kelompok UMKM Tani Bangkit setidaknya pada kemiringan sekira 25-40 derajat. Hasilnya, hampir tidak ada rembesan sedikitpun. Air hujan mengalir lancar ke bawah.

Keuntungan atap sirap itu, kata Pak Wal, di antaranya menambah eksotika bangunan, lebih teduh, hingga memunculkan aroma yang khas. Selain itu punya bobot yang ringan, hingga punya ketahanan.

blank
Atap dari sirap limbah Serai Wangi dinilai punya ketahanan, dan tidak mudah bocor atau rembes saat diguyur hujan. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Bernilai Ekonomis

Atap sirap Serai Wangi sudah jadi. Padahal, mulanya hanya limbah padat sisa penyulingan. Kini sirap sudah menjadi produk sampingan yang ternyata bernilai ekonomis. Setiap sirap dengan panjang dua meter itu dijual dengan harga Rp15 ribu saat ini.

Kelompok UMKM Tani Bangkit kemudian punya tugas baru untuk mempromosikan ke khalayak.Dimulai dengan menawarkan pada relasi yang sudah dimiliki dimanapun berada. Baik menawarkan secara langsung tatap muka, atau melalui media sosial.

Pesanan pertama produk turunan sirap Kelompok UMKM Tani Bangkit dipesan oleh salah seorang pengusaha untuk gazebo restoran di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Saat itu dipesan 20 lembar.

Lalu setelah itu, Resto Omah Godhong Kelor, di Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Pak Wal menguraikan, pemilik usaha awalnya tertarik dan meminta untuk dibuatkan contoh produk. Awalnya, memesan 60 lembar sirap.

“Itu untuk gazebo ukuran 3×3 menghabiskan 60-70 lembar sirap. Tergantung susunannya agak rapat atau tidak,” kata ayah tiga anak itu.

Pesanan datang lagi dari restoran di Logandeng, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Kata Pak Wal, resto kebun itu semula memakai atap galvalum. Ternyata pengunjung disebut kurang nyaman, karena kepanasan saat siang hari. Pemilik resto menilai sirap Serai Wangi itu cocok untuk meredam panas, dan langsung memesan sebanyak 70 lembar.

Tak berhenti, Kelompok Tani Bangkit juga menyelesaikan garapan sirap pesanan dari Kabupaten Purworejo. Sebanyak 65 sirap dipasang untuk gazebo yang berlokasi di tepi pantai. Ada dari wilayah sekitar, yang memesan sirap untuk tipe gazebo payung bundar. Pemesan tinggal mendirikan satu tiang saja. Setelahnya, sirap tinggal ditumpangkan di atasnya.

Selain disulap menjadi sirap, limbah Serai Wangi out juga bisa dibuat kerajinan lain. Salah satunya, anyaman untuk hiasan lampu. Bisa juga dibuat kerajinan, miniatur bangunan seperti gazebo.

blank
Selain limbah padat dau Serai Wangi, limbah cair juga diolah menjadi pestisida organik, karbol, hingga hidrosol. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Limbah Cair

Kelompok UMKM Tani Bangkit yang didampingi Astra melalui YDBA dan Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) memaksimalkan limbah padat dan cair. Produk turunan sisa penyulingan minyak atsiri Serai Wangi seluruhnya bisa dimanfaatkan.

Beberapa produk dari limbah cair, di antaranya menjadi pestisida organik, karbol untuk cairan pel lantai. Kemudian hidrosol untuk diuapkan sebagai pengharum ruangan. Sementara untuk produk utama minyak atsiri Serai Wangi, menjadi minyak oles, aromaterapi, parfum, sabun, dan lain-lain.

“Setelah berproses, kalau kita mau kreatif dan bekerja keras tidak ada yang terbuang dari proses penyulingan itu baik limbah padat dan limbah cair. Air limbahnya missal jadi pestisida organik. Gunanya mengusir hama pada tanaman sayuran dan buah-buahan. Sifatnya tidak membunuh, hanya mengusir hama,” ujar dia.

Waldiyono mengakui, mulanya hanya mengandalkan produk minyak atsiri. Ongkos produksi penyulingan dinilai cukup tinggi. Satu kali penyulingan dengan tiga kuintal Serai Wangi menghasilkan dua liter minyak atsiri. Satu liter dijual Rp300 ribu, sehingga total Rp600 ribu.

Padahal untuk ongkos produksi mencapai kisaran Rp500 ribu. Angka itu didapat dari biaya membeli Serai Wangi, kayu bakar, dan membayar tenaga. Artinya setiap kali menyuling ada keuntungan Rp100 ribu. Itupun kalau bisa cepat terjual.

“Kalau hanya andalkan ini (minyak atsiri) malah tombok, karena harganya belum stabil. Pemasaran juga belum kontinyu. Kadang-kadang saja ada pembeli. Supaya eksis berkegiatan, salah satunya mengolah limbah itu. Terutama limbah padatnya. Antara sampah dan minyaknya kan jadinya presentasinya 1 persen saja itu jadi atsiri,” kata dia.

Dalam sekali proses penyulingan, ada limbah padat daun Serai Wangi tiga kuintal. Kemudian hydrosol 50-an liter. Hidrosol lebih banyak yang pesan untuk pestisida organik, pengharum ruangan, dan lain-lain.

blank
Kiprah Kelompok UMKM Tani Bangkit dilirik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang akan bekerja sama membangun bumi perkemahan untuk penelitian terbuka pada lahan seluas sekitar 3.000 meter persegi di sisi utara Rumah Penyulingan Minyak Atsiri Tani Bangkit. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Prestasi

Kelompok UMKM Tani Bangkit yang beranggotakan 10 orang ini punya catatan prestasi apik atas kekreatifan pengolahan limbah produksi minyak atsiri. Pada pertengahan tahun 2024, diganjar juara III Tingkat Nasional Lomba QCC YDBA 2024.

Pada bulan ini, Astra melalui YDBA menyelenggarakan kegiatan Pendampingan Standar Operasional Prosedur Budidaya dan Pasca Panen Serai Wangi bagi UMKM binaannya di Yogyakarta. Pendampingan telah dilakukan dua kali pada 3 dan 17 September 2024.

Sebanyak 20 pelaku UMKM termasuk Kelompok Tani Bangkit antusias mengikuti kegiatan yang mendatangkan dosen dari Polbangtan Yogyakarta-Magelang, Dr Endah Puspitojati, dan Agus Wartapa.

Harapannya, petani dapat memiliki standarisasi kegiatan budidaya pertanian pasca panen yang dapat diimplementasikan secara berkelanjutan.

Kelompok UMKM Tani Bangkit juga dilirik oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Kampus mengajak kerja sama UMKM Tani Bangkit sebagai pemilik lahan untuk dibuatkan Camping Ground Semoyo di sisi Utara rumah penyulingan/produksi minyak atsiri.

Rencananya, Camping Ground Semoyo akan menjadi laboratorium terbuka. Sejumlah fasilitas umum akan dibuat pihak UMY. Di antaranya seperti musala, jalan, penerangan umum, taman, gazebo beratapkan sirap Serai Wangi, dan lain-lain.

Dengan adanya Camping Ground Semoyo, akan membuat perekonmian warga sekitar bergerak. Hal ini bersamaan dengan, fungsi Camping Ground Semoyo untuk penelitian terbuka kampus, yang bakal mendatangkan banyak mahasiswa setiap tahunnya.

blank
Mbah Kasiran (75) menunjukkan hasil anyaman limbah padat daun Serai Wangi sisa penyulingan minyak atsiri menjadi kerajinan sirap yang bernilai jual. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Perjalanan Kelompok UMKM Tani Bangkit

Kilas balik lahirnya Kelompok UMKM Tani Bangkit di Gunungkidul dimulai pada 2019, terdiri dari 10 orang anggota. Saat ini sudah bekerja sama total 25 petani Serai Wangi termasuk 10 anggota tetapnya.

Berjalannya waktu, petani mulai melirik Serai Wangi. Baik di Kecamatan Patuk, dan desa-desa di luar wilayah. Adapun lahan yang sudah tertanam Serai Wangi sekira 15 hektar.

Waldiyono mengisahkan, Desember 2019 dia ditawari seorang kolega dari Lazismu memberikan bibit tanaman serai wangi sebanyak 200 batang. Koleganya itu melihat banyak tanah kosong yang layak dicoba ditanami Serai Wangi.

“Dia bilang ‘Pak Wal di sini banyak tanah kosong coba tolong ditanami serai wangi’. Oke langsung kita tanam sama tetangga. Yang penting saya tanam begitu saja,” kata dia.

Selang delapan bulan, kawannya itu menelepon Waldiyono untuk menanyakan progress pertumbuhan 200 bibit tanaman Serai Wangi. Alhamdulillah, kata Waldiyono, hasilnya baik dan sesuai yang diharapakan. Wilayah di Dusun Semoyo khususnya cocok untuk dikembangkan Serai Wangi. Sepekan kemudian, dia didatangi rombongan dan diikuti pemberian tiga ribu bibit Serai Wangi. .

Bibit itu lantas disebarkan ke para petani di Kecamatan Patuk. Siapapun ditawari untuk menanam terlebih dahulu. Ada yang datang mengambil sedikit dan banyak, tergantung luasan lahannya.

Tanah di Patuk, Gunungkidul itu dinilai cocok ditanami Serai Wangi. Pertemuan berlanjut, hingga akhirnya Kelompok UMKM Tani Bangkit mendapat Hibah alat penyulingan minyak atsiri berkapasitas tiga kuintal, sebagai tindak lanjut pemberian bibit.

Setelahnya, Waldiyono dan rekan-rekannya bergotong royong membuat rumah produksi. Intinya rumah produksi dibangun agar alatnya tidak kepanasan dan kehujanan, serta nyaman untuk bekerja. Ukuran 6×9 dirasa cukup.

“Kita mengumpulkan warga, gotong royong ada yang iuran kayu, genteng, tenaga, dan lain-lain. Akhirnya pada muncul satu orang ‘Gonanku kayu jati sak uwit, kayu mahoni rong uwit, bambu sak cukupmu, ada yang gitu. Tempat saya ada kayu jati satu pohon, mahoni dua pohon, bambu secukupnya. (Nanti gentingnya bekas bongkaran rumah saya dipakai saja) Sudah gotong royong semua murnikata dia.

blank
Ketue Kelompok UMKM Tani Bangkit di Gunungkidul, Waldiyono, menunjukkan tpertumbuhan Serai Wangi yang ditanam di kebun-kebun masyarakat sekitar. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Penanaman

Pada awal proses penanaman Serai Wangi, masyarakat mulai menanam bibit baik secara tumpangsari di bawah pohon hutan rakyat, atau di pematang-pematang, serta atau hamparan ladang terbuka. Di hamparan terbuka hasil minyak atsiri Serai Wangi dinilai paling produktif. Kandungan minyaknya lebih banyak, walau sama-sama suburnya.

Serai Wangi yang optimal, maksimal 75 persen terkena sinar matahari. Kadar 50 persen sinar matahari  juga hidup, akan tetapi hasil minyak saat penyulingan akan berbeda. Akhirnya, kelompok tani, akan tahu permasalahan-permasalahannya di lapangan.

Serai Wangi minim perawatan, hanya beberapa kali mencabuti gulma saat tanaman sedang tumbuh. Sedangkan keberadaan hama, hingga saat ini juga dinilai minim.

Usia panen Serai Wangi bisa dilakukan usai 6-8 bulan pertama. Setelah itu menunggu 3- 4 bulan untuk setiap panen selanjutnya. Untuk Pemupukan hanya memakai pupuk kandang. Tujuannya menambah akar serabut dan menunjang pertumbuhan tunas.

“Kalau peremajaan, sejak pertama kali menanam belum dilakukan. Informasinya tanaman itu bisa bertahan dengan kualitas terbaiknya paling tidak bisa 5-7 tahun, selama perawatannya bagus. Misalnya daun-daun mati dibuang, gulma dicabutin, kalau hama Alhamdulillah minim sekali,” kata Waldiyono.

Adapun, sistem panen Serai Wangi ada dua. Petani memanen sendiri dan diantarkan ke rumah produksi penyulingan, atau dipanenkan oleh Kelompok UMKM Tani Bangkit.

“Misalnya, ada yang repot punya kesibukan lain. Mereka menanam saja, saat panen kita yang mengambil. Ada juga petani yang dipanen sendiri dan dikirim. Nilai belinya Rp500 kalau kita yang ambil, kalau dipanen sendiri diantar kesini kami hargai Rp750,” tutur Pak Wal.

blank
Tanaman Serai Wangi yang dibudidayakan, secara bertahap telah banyak ditanam di pekarangan rumah-rumah warga. khususnya di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Target dan Pemberdayaan Masyarakat

Untuk memuliakan lahan karst Geopark Gunungsewu yang berkelanjutan, pihaknya ingin semakin banyak petani yang melirik komoditas Serai Wangi. Serai Wangi saat ini lebih ekonomis dibandingkan komoditas singkong, jagung, dan kacang tanah, andalan masyarakat sekitar.

Contoh, singkong  dan jagung andalan masyarakat sekitar hanya bisa panen dalam satu tahun sekali. Menanam singkong bulan Desember, paling cepat Juli-Agustus tahun depannya baru panen. Begitupun dengan jagung, meski umurnya tiga bulan namun hanya bisa ditanam sekali dalam satu tahun.

“Kami sudah berpuluh-puluh tahun dari kecil menanam singkong, jagung, kacang tanah. Di sini tanahnya merah. Musim penghujan di sini, waktunya juga tidak seperti daerah bawah. Kalau di sini menanam harus bersamaan semuanya. Mungkin iklimnya beda. Belum biaya beli bibit, tenaga perawatannya,” kata dia.

Tanaman Serai Wangi akhirnya disebut cocok dikembangkan untuk ‘petani malas’. Maksudnya, petani tak harus banyak menghabiskan waktu di ladang merawat Serai Wangi. Petani bisa melakukan pekerjaan lain, seperti berdagang, beternak, dan lainnya. Serai Wangi juga dinilai menjadi alternatif pengganti komoditas kayu hutan rakyat yang disebut lama masa panen.

“Kalau dihitung-hitung, itu tanamannya petani malas. Sebabnya, menanam sekali bisa panen berkali-kali. Setiap tiga bulan sudah bisa panen. Tinggal mengabari sudah waktunya panen, akan kita jemput, diantar sendiri juga boleh,” kata dia.

Kelompok UMKM Tani Bangkit terus berusaha mengedukasi masyarakat agar bisa mengambil peluang menanam komoditas Serai Wangi yang saat ini cukup ekonomis. Pemberdayaan petani cukup penting untuk tercukupinya bahan baku, dan keberlanjutan ekonomi kerakyatan komoditas Serai Wangi dari hulu ke hilir.

blank
Astra melalui Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) memberikan pendampingan untuk pengemasan, hingga pemasaran digital produk dari Kelompok UMKM Tani Bangkit. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Pemasaran

Jalan tak selalu mulus. Ada tantangan lain. Anggota Kelompok Tani Bangkit mayoritas sudah usia lanjut. Artinya, secara pemasaran dengan teknologi berbeda dengan anak muda.

“Gaptek (gagap teknologi) untuk pemasaran, termasuk saya juga udah kelahiran lama 1960-an. Tapi kita diajari berjualan lewat media sosial. Dari tim YDBA juga memberikan pelatihan, seperti membuat akun jualan daring. Alhamdulillah, mulai berjalan,” ujar Waldiyono.

Untuk sekarang, penjualan paling mudah dilakukan dengan tatap muka. Baik itu penawaran langsung pada setiap kegiatan, pertemuan, arisan, pelatihan, hingga saat pameran.

“Selalu kita bawa produk dikabarkan ada masyarakat. Lumayan hasilnya bisa dijual di daerah sini dan luar. Pameran pernah diajak Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Pernah juga diajak Astra melalui YDBA pameran di Kebun Buah Mangunan, saat itu pameran UMKM se-Indonesia pada 2022,” kata Pak Wal menerangkan.

YDBA memberikan pelatihan lanjut, untuk menambah daya beli masyarakat. Produk dikemas dengan kemasan kecil roll on oles seharga Rp10 ribu per buah. Satu liter atsiri bisa menjadi 100 kemasan roll on minyak murni 100 persen tanpa campuran.

“Ada yang juga produk kemasan semprot (spray). Kami dapatkan pendampingan untuk buat sabun. Serai wanginya jenisnya banyak ada Lenabatu sama Aster. Warnanya minyak lebih putih. Ada jenis yang warna minyaknya kekuningan,” ucapnya.

Head of Communication & Information System YDBA, Rahmat Handoyo, menjelaskan, perhatian besar Astra melalui YDBA ditujukan untuk petani Serai Wangi di Gunungkidul, DI Yogyakarta, khususnya.

Karakter tanah di Gunungkidul, kata dia, kering dan minim curah hujan. Penduduk di sana juga sudah menanam Serai Wangi. Kedua hal tersebut menjadi potensi yang bisa dikembangkan oleh Astra melalui YDBA.

“YDBA melakukan pemetaan terkait persiapan petani untuk mengikuti pembinaan. YDBA mendukung petani untuk kebutuhan pasar. Kami memperkenalkan petani dengan offtakernya (pembelinya).

Dalam pembinaan petani Serai Wangi, kata dia, Astra melalui YDBA bukan hanya fokus pada proses budidaya saja. Akan tetapi YDBA mendorong bagaimana para petani bisa menghasilkan produk turunan memanfaatkan limbah yang ternyata bernilai ekonomis.

“YDBA mulai mengajak para petani terkait mentality. Supaya para petani kreatif dan memproduksi  produk yang bernilai tambah. Menjadi petani yang mau berubah, mau berbagi, komitmen dan konsisten. Hal tersebut berlaku juga di daerah lain, ketika Astra melalui YDBA melakukan mapping di tempat lain.  Baik itu pertanian, kerajinan, kuliner, manufaktur dan bengkel,” kata dia.

Ketua Pengurus YDBA, Rahmat Samulo, menambahkan, YDBA didirikan oleh pendiri Astra Oom Wiliam Soeryadjaya pada 1980 dengan filosofi “Beri Kail Bukan Ikan”. Maksudnya, Astra melalui YDBA memberikan program pembinaan yang bukan bersifat short term atau charity.

“Akan tetapi sustain dengan mentality yang sesuai dengan tantangan saat ini melalui program pelatihan dan pendampingan yang bersifat manajemen juga teknis, fasilitasi pemasaran dan fasilitasi pembiayaan yang mendukung kemandirian UMKM,” kata dia.

Di samping itu, YDBA juga mendukung bagaimana UMKM dapat memenuhi legalitas yang dibutuhkan UMKM di setiap sektor. Saat ini YDBA membina UMKM di sektor Manufaktur, Bengkel kendaraan roda empat, pertanian yang bernilai tambah, serta Kerajinan, dan Kuliner.

Dia juga menyebut, pentingnya digital marketing bagi para  pelaku UMKM yang sejalan dengan kebutuhan perkembangan bisnis saat ini. UMKM mau tidak mau harus mengikuti tren, termasuk terkait digitalisasi.

“Astra melalui YDBA mendorong UMKM untuk masuk digitalisasi, baik dalam aspek pemasaran, produksi hingga manajemen keuangan,” ujar Rahmat Samulo.

blank
Aktivitas mengolah limbah daun Serai Wangi kering, dipilah kualitasnya untuk dianyam menjadi sirap di Rumah Penyulingan Minyak Atsiri, Kelompok UMKM Tani Bangkit, di Semoyo, Patuk, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Kamis 26 September 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Sebaran UMKM

Saat ini terdapat 1.328 UMKM aktif yang mengikuti program pembinaan YDBA hingga tahun 2024. Rinciannya, 17 persen pada bidang manufaktur, 15 persen bengkel, 33 persen pertanian, 25 persen Kuliner, serta 9 persen kerajinan.

Pelaku UMKM yang terdata itu tersebar di 19 wilayah, antara lain Cakung, Banyuwangi, Bantul, Solo, Tegal, Banyumas, Salatiga, Citeureup, dan Puncak Dua Bogor, Lebak Banten. Kemudian, Sangatta Kaltim, Paser Kaltim, Bontang Kaltim, Manggarai Barat NTT, Manggarai Timur NTT, Barito Utama Kalimantan Tengah, Tanjung Kalimantan Selatan, Bandung, dan Cikuya Tangerang.

Astra melalui YDBA punya langkah strategis untuk UMKM dalam waktu dekat atau jangka pendek. Targetnya, YDBA akan membina sejumlah 1.300 – 1.500 pelaku UMKM pada 2025. YDBA juga ingin mewadahi UMKM Mandiri binaan Astra dalam sebuah komunitas.

“Perkuatan rantai pasok dengan industri besar baik Grup Astra maupun Non Grup Astra juga akan dilakukan YDBA di tahun 2025. Ini untuk menjawab tantangan pasar bagi UMKM.

Pada bidang pertanian, khususnya, ingin terus mendorong sektor tersebut untuk menjalankan produk budidaya yang bernilai tambah.

Diaz Azminatul Abidin