Cerpen Ulil Abshor
AROMA menyan Jawa menyeruak memenuhi areal persawahan di sebuah kampung terpencil di lereng Gunung Muria.
Asap menyan yang berhembus tertiup angin malam yang dingin itu berasal dari sebuah punden petilasan Ki Saptorenggo.
Punden kuno yang dipercaya masyarakat setempat sebagai cikal bakal kampung yang bernama Srandokan.
Kang Noto baru saja membersihkan sisa-sisa sesajen yang berserakan di sekitar punden. Sesajen yang terdiri dari jajan pasar dan kembang tujuh rupa itu seringkali diselipkan di tengah-tengah pohon beringin raksasa yang setia menjadi penunggu punden selama ratusan tahun yang lalu.
Atau, kalau beruntung, ayam ingkung plus nasi tumpeng yang diletakan di sebelah mbelik di pinggir kali, beserta uang lembaran seribuan biasanya akan dibawa pulang Kang Noto. Diberikan kepada Selamet anak bungsu Kang Noto yang baru kelas 1 SD untuk uang jajan.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar keras suara derum mobil menuju Kang Noto yang masih sibuk membersihkan sesajen, yang sesekali memunguti daun-daun yang rontok ke dalam mbelik.
Semakin dekat, suara mobil jip Hardtop semakin keras memekakan telinga. Debu beterbangan ke mana-mana, daun-daun yang dikumpulkan Kang Noto kembali berserakan.
“Brakkk!!!” terdengar pintu mobil ditutup dengan keras.
“Benar di sini tuan tempatnya!!!” kata seseorang yang diketahui bernama Bademo, seorang preman kampung Srandokan.
Dari dalam mobil turun seorang berperawakan tinggi besar, berhidung mancung bernama Falakh. Seorang warga asing yang diketahui merupakan warga dari negara di Timur Tengah.
Dia diikuti kepala desa, dan beberapa perangkat desa yang bertugas di bidang pertanahan.
Kang Noto masih saja melanjutkan pekerjaannya membersihkan punden tanpa memedulikan orang-orang yang datang.
Sejak kabar kedatangan orang Arab yang akan membangun sebuah pabrik di kampung Srandokan, masyarakat mulai cemas. Pasalnya, pabrik yang akan dibangun tersebut sangat berdekatan dengan punden Ki Saptorenggo.
Mereka khawatir punden Ki Saptorenggo akan rusak atau bahkan tergusur pembangunan.
Sebuah langgar tua di depan punden pun terancam akan digusur jika pabrik yang kabarnya adalah pabrik pengolahan kayu tersebut benar-benar dibangun.
Kang Noto kemudian bergegas memanggil Mbah Wardiman sesepuh kampung Srandokan, diikuti beberapa warga untuk ikut mengawasi aktivitas perangkat desa yang ikut mendampingi Falakh.