“Saudara-saudara, mohon kita bisa berembug,!!!” teriak Kepala Desa kepada beberapa warga yang sudah berkerumun di depan Langgar yang konon peninggalan Ki Saptorenggo.
“Kampung kita kedatangan orang luar yang akan mendirikan pabrik pengolahan kayu. Sampean semua nanti akan ikut mendapatkan manfaat dari pabrik yang didirikan oleh Tuan Falakh”, kata Kepala Desa tersebut, sambil memperkenalkan Falakh yang berada di sebelahnya.
“Punden Ki Saptorenggo dan langgar ini akan dibongkar,” lanjut Kepala Desa.
Mendengar punden Ki Saptorenggo akan dibongkar, sontak warga berteriak-teriak agar proyek pembangunan pabrik dihentikan.
“Tenang, tenang, punden beserta langgar tidak dihilangkan, tapi dibangun agar lebih baik. Langgar kalian akan dibata dan dikeramik. Lihatlah kayu-kayunya sudah lapuk semua hampir roboh, makanya Tuan Falakh bersedia untuk membangun kembali langgar peninggalan Ki Saptorenggo supaya lebih bagus”, Kepala Desa Srandokan mencoba meyakinkan warganya.
“Nanti sampean tiap bulan juga akan mendapatkan bantuan beras dan minyak dari Tuan Falakh. Anak-anak muda yang masih menganggur akan diajak gabung untuk menjadi karyawan di pabriknya Tuan Falakh”, Kepala desa Srandokan tersebut mencoba meyakinkan warganya.
Janji-janji yang disampaikan Kepala Desa sedikit mempengaruhi warganya.
Namun Mbah Wardiman sepertinya mempunyai firasat buruk jika punden Ki Saptorenggo benar-benar dibongkar. Secara otomatis langgar tua tersebut juga akan ikut dibongkar.
Langgar yang meskipun tidak terbuat dari tembok, hanya kayu dan bambu, namun setiap hari digunakan ngaji Turutan dan membaca Al-barzanzi oleh anak-anak kampung tiap malam Senin.
“Apa jaminannya kalau punden Ki Saptorenggo dan langgar kami tidak dibongkar!!!”, Tiba-tiba Mbah Wardiman berkata lantang, membuat kaget warga dan rombongan Kepala Desa.
Mbah Wardiman yang kelihatan ringkih dan kurus itu tiba-tiba mempunyai keberanian menentang rencana pembuatan pabrik tersebut. Mbah Wardiman memendam kekesalannya sudah sejak lama.
Meskipun hanya orang kampung biasa, namun Mbah Wardiman merupakan sosok sesepuh kampung yang sangat dihormati.
Tiba-tiba kepala desa menghampiri Mbah Wardiman, dan berkata, “Mbah, ndak usah keras-keras, mari kita musyawarahkan bersama. Kita ke balaidesa, kita bicarakan baik-baik, pasti ada solusi”.
Kemudian dengan didampingi empat orang warga termasuk Kang Noto, Mbah Wardiman masuk ke atas mobil pick up menuju ke balaidesa.
Sesampainya di balaidesa, Mbah Wardiman beserta empat orang warga disambut oleh Babinsa dan Babinkamtibmas. Mereka didudukan di pendapa balaidesa layaknya akan diadili. Dikelilingi perangkat desa dan kepala desa, Mbah Wardiman sedikit mendapatkan intimidasi dari perangkat.
“Mbah, sampeyan terima saja keputusan pemerintah untuk membangun pabrik kayu milik Tuan Falakh”, kata salah satu perangkat.
“Kalau sampeyan beserta warga menghalangi itu berarti melawan hukum, artinya juga melawan negara”, sahut perangkat yang satunya.
Sementara itu, kepala desa yang sedari tadi asik dengan rokoknya tiba-tiba membuka sebuah buku besar yabg berisi catatan desa.
Buku besar tersebut nampak sudah lusuh dan berdebu, namun catatan yang berisi data-data lama masih tersimpan rapi.
“Mbah Wardiman, sampeyan ingat ndak tahun 1965. Keluarga sampeyan beserta warga Srandokan terlibat aktif mendukung Partai Palu Arit?” kata Kepala Desa tersebut sambil menunjukan catatan desa yang berisi nama-nama warga Srandokan yang pernah dianggap terlibat dalam gerakan 1965.
“Apa mau warga Srandokan saya garuk semua karena menghalangi program pemerintah?” lanjut Kepala Desa sambil terus menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian mengepulkan asapnya ke muka Mbah Wardiman.
Seketika wajah Mbah Wardiman pucat pasi, keringat dingin keluar. Tidak terkecuali Kang Noto dan ketiga temannya. Mereka masih sangat trauma melihat orang tuanya dan warga kampung Srandokan saat dibawa paksa dan mengalami penyiksaan selama menjadi tahanan politik karena dianggap sebagai simpatisan gerakan ‘65.
Sejatinya warga Srandokan adalah warga biasa yang tidak tahu-menahu soal politik, apalagi soal paham Komunis. Meskipun kental sebagai warga abangan dan penganut kejawen, namun dalam amalan ibadah sehari-hari warga Srandokan bisa sangat religius. Hal ini karena pengaruh Mbah Wardiman.
Namun, tahun ’65 merupakan tahun yang sangat mengerikan bagi warga Srandokan.
Kampung yang awalnya damai, tenang berubah menjadi mencekam seiring penangkapan paksa orang-orang yang dianggap terlibat dalam PKI.
Hal ini bermula dari seorang pemuda bernama Gonip. Pemuda dari kota yang membawa selebaran dan bendera palu arit ke Kampung Srandokan menjelang Pemilu 1955.
Karena terpengaruh dengan omongan Gonip yang ndakik-ndakik, warga menjadi simpati dengan partai yang berasal dari Uni Soviet tersebut. Karena apa yang disampaikan Gonip terkait dengan kesejahteraan petani dan buruh sangat sesuai dengan yang terjadi di kampung Srandokan.
“Gimana Mbah Wardiman?” suara Kepala Desa tersebut sedikit mengagetkan Mbah Wardiman dari lamunannya tentang kengerian tahun 1965.
Kemudian Kepala Desa tersebut kemudian memberikan kesempatan kepada Tuan Falakh untuk menyampaikan sesuatu ke Mbah Wardiman beserta teman-temannya.
“Mbah, kalau di tempat saya, menyembah makam, menyembah punden itu namanya musyrik. Itu tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan di negara saya, makam yang usianya sudah 50 tahun saja bisa dibongkar”, ujar Falakh dengan logat bahasa Indonesia yang terbolak-balik.
Dengan tertunduk lesu Mbah Wardiman mengajak Kang Noto beserta empat orang temannya pamit dari balaidesa.
Mereka dibiarkan pulang dengan jalan kaki tanpa diantar seperti saat dibawa ke balaidesa. Sepanjang perjalanan Mbah Wardiman terdiam, namun Kang Noto beserta keempat temannya mengajak Mbah Wardiman untuk melawan.
“Ini negara hukum Mbah, mereka tidak bisa semena-mena. Kalau sampai langgar kita dan punden dibongkar, harga diri kita benar-benar diinjak-injak Mbah”, ujar Kang Noto dalam perjalanan.
“Apa kalian tega dengan anak istri kalian kalau memang benar ancaman dari Kepala Desa tadi benar-benar dilaksanakan. Apa kalian tidak ingat penyiksaan yag dialami warga Srandokan selama menjadi tahanan politik?”, ujar Mbah Wardiman.
“Yang kita hadapi adalah negara beserta perangkatnya. Kita tidak punya kemampuan apa-apa untuk melawan, kita masyarakat lemah dan tidak berdaya”, imbuh Mbah Wardiman dengan suara terbata-bata putus asa.
Sesampainya di kampung Srandokan Mbah Wardiman menuju makam Ki Saptorenggo untuk ziarah sekaligus mengadu permasalahan yang sedang dihadapi warga. Usai dari makam, Mbah Wardiman kemudian melanjutkan menuju langgar untuk melaksanakan shalat.
Langgar reyot yang hampir roboh itu seolah bercerita tentang perjalanan panjang Kampung Srandokan.
Dalam keheningan malam, Mbah Wardiman benar-benar mengadu kepada Tuhannya untuk meminta petunjuk.
Sambil berlinang air mata, doa-doa terus dipanjatkan oleh Mbah Wardiman berharap dibukakan pintu langit untuk menjawab persoalan yang ada.
Tiba-tiba dari belakang tubuh Mbah Wardiman ditarik dengan paksa dua orang berperawakan tinggi dan tegap. Mbah Wardiman disekap sambil diancam. Mbah Wardiman menurut, tubuh Mbah Wardiman yang sudah tua dan ringkih digelandang dengan kasar.
Di ujung jalan masuk Dukuh Srandokan sebuah truk sudah menunggu. Di dalam bak truk terdapat beberapa warga Srandokan, termasuk Kang Noto.
Mulut mereka dibungkam, sesekali wajah Kang Noto terkena tempeleng karena mencoba melawan. Darah mengucur dari hidung Kang Noto. Kang Noto hampir pingsan.
Suara derum truk sayup-sayup mulai menghilang, seiring truk yang melaju kencang di kegelapan malam dengan meninggalkan kepulan debu yang masih tertinggal di kampung Srandokan.
Suara azan Subuh terdengar dari langgar Srandokan. Muazdin, imam sholat hingga makmum jamaah shalat subuh hanya dilaksanakan oleh Mbah Tukin. Imam shalat pengganti Mbah Wardiman jika berhalangan.
Pagi tiba, dari gapura perbatasan Dukuh Srandokan, terlihat beriringan truk-truk dump, diikuti kendaraan alat berat seperti bulldozer dan backhoe menuju Dukuh Srandokan.
Orang-orang yang hendak beraktivitas segera kembali menuju rumah masing-masing. Mereka mempunyai firasat akan ada ontran-ontran terkait dengan pembongkaran punden dan langgar seperti yang disampaikan Kang Noto tadi malam sebelum menghilang.
Namun tiba-tiba kendaraan alat berat yang sudah hampir sampai punden berputar, kemudian melaju meninggalkan Kampung Srandokan.
Para mandor dan pekerja yang sudah siap dengan peralatan kerja mengikuti iring-iringan kendaraan alat berat keluar dari kampung Srandokan.
Warga dibuat terheran-heran dengan apa yang terjadi di pagi itu. Dari kejauhan terlihat truk kepolisian bergerak menuju Kampung Srandokan. Warga yang dibuat terheran-heran sebelumnya tiba-tiba ketakutan dengan datangnya aparat kepolisian bersenjata lengkap.
Karena mereka masih belum dapat kabar keberadaan Mbah Wardiman, Kang Noto dan beberapa warga.
Para polisi yang bersenjata lengkap kemudian membuka pintu bak truk. Dari atas truk turun beberapa warga Srandokan yang tadi malam tiba-tiba menghilang. Mbah Wardiman dan Kang Noto turun terakhir dalam keadaan sehat wal afiat.
Beberapa keluarga yang bertemu langsung berpelukan mengetahui dalam kondisi baik-baik saja.
Kabar dari Jakarta, ontran-ontran sedang terjadi karena Presiden didemo besar-besaran oleh kelompok mahasiswa dan masyarakat.
Presiden yang sebelumnya bersikukuh tidak mau mundur akhirnya menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya.
Dampak dari pidato presiden yang mengundurkan diri inilah yang mengubah sejarah bangsa serta mengubah sejarah kampung terpencil yang bernama Srandokan.
Jepara, 5 September 2024