Berdasarkan kisah itu, suatu saat Allah pun bisa menitipkan karunia-Nya kepada benda mati. Namun, jika yang memanfaatkan benda sejenis azimat itu dari kalangan awam, atau menengah ke bawah, kita perlu hati-hati. Dan ketika ada sedikit goyah dalam hatinya, syirik pun bisa mengadang.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah azimat itu memiliki kekuatan? Saya tidak setuju dengan istilah azimat “memiliki kekuatan” yang benar itu “diberi kekuatan.” Lalu bagaimana proses mendapatkan kekuatan itu? Orang yang akan membuat azimat itu, terlebih dulu menjalani riyadhah atau tirakat.
Pada zaman sekarang, diantaranya dengan puasa, membaca doa-doa, wirid dsb. Intinya, dia mengolah batin dengan harapan Tuhan berkenan memberikan karunia, sesuai yang diinginkannya. Jika kemudian azimat itu menyimpan kekuatan magis.
Dan itu karena riyadhah (tirakat) dan terkabulnya doa atau amalan yang membuatnya. Dikalangan para ahli hikmah berpendapat setiap huruf itu memiliki karaker dan chadam tersendiri. Lalu, tentang jual beli jimat, itu apakah diperbolehkan?
Sepanjang itu dilakukan dengan saling ikhlas di kedua pihak, sah-sah saja. Dalam hal ini, standarnya tidak hanya halal haramnya saja. Dan lebih dia diberi amalan wirid, doa dan apa sajalah yang tidak memberatkan dan yang menjadikan sarana dia lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Banyak pihak menganggap “manjual”azimat itu berarti menjual ilmu Allah. Namun ada yang berpendapat, sepanjang itu dilakukan sesuai batas kewajaran, sah-sah saja. Dalam hadis diriwayatkan, suatu saat para Sahabat Nabi SAW datang ke perkampungan, dan ada salah satu penduduk yang digigit ular.
Para sahabat itu lalu mengobatinya dengan membacakan Alfatihah. Sebagai upahnya, para sahabat itu menerima 30 ekor kambing. Dan sahabat yang mengobati Abu Sa’id al-Kurdi. Ketika dia membawa kambing-kambing itu, para sahabat yang lain tidak menyukainya. “Engkau mengambil upah dari membaca Kitab Allah,” kata mereka.
Ketika sampai di Madinah, mereka menyampaikan hal itu kepada Nabi SAW. Beliau lalu bersabda “Tidaklah engkau mengetahui bahwa Al-Fatihah itu obat. Bagikan dan berikan sebagian untuk saya (dagingnya).” Berdasarkan hadis itu diperbolehkan mengambil upah hasil dari mengobati.
Nabi SAW tidak melarang Abu Said Al-Kurdi, bahkan meminta bagian. Perlu diketahui, tabib, dukun itu memiliki tanggung jawab kepada keluarganya. Mencari nafkah untuk kesejahteraan hidup itu wajib.
Bahkan kalau dengan dalih ikhlas lalu menolak pemberian dari mengambil ilmu kita, sementara waktu kita juga tersita untuk melayani mereka, yang ini tidak benar. Kita perhatikan orang lain, keluarga seendiri tidak diurus. Kesimpulannya?
Ayat-ayat Alquran boleh dan dapat dijadikan sebagai sarana obat dan juga boleh mengambil upah dari pekerjaan itu. Dan ada semacam perang urat syaraf. Andaikan penduduk itu menghargai kehadiran para sahabat layaknya tamu, saya yakin Abu Sa’id al-Kurdi tidak memberikan target dalam upah penyembuhan.
Di sini terjadi hukum sebab-akibat. Siapa ingin diperhatikan orang lain, terlebih dulu dia harus memperhatikan orang lain. Istilahnya, ngunduh wohing pakarti, seseorang akan mendapatkan sesuatu sesuai apa yang diperbuat.