blank
Tiga jejak sejarah di Jepara.

JEPARA (SUARABARU.ID)- Seni ukir dan kota Jepara ibarat dua sisi mata uang. Sesuatu yag berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Lalu, apa hubungannya dengan Benteng VOC Belanda, sehingga Hari Ukir Nasional yang jatuh pada 20 Agustus 2024 akan digelar di reruntuhan tempat bersejarah tersebut.

blank
Para pengukir di Jepara.

Seni ukir Jepara tentu tidak bisa lepas dari peran Patih Sungging Badar Duwung atau Tjie Hwio Gwan yang berasal dari Cina, dan merupakan ayah angkat Sultan Hadlirin, Suami Ratu Kalinyamat. Patih Sungging Badar Duwung inilah yang memperkenalkan seni ukir kepada masyarakat Jepara.

Ornamen relief ukiran yang tertempel di Masjid Mantingan diyakini merupakan hasil karya Patih Sungging Badar Duwung saat Jepara berada di puncak kejayaan bersama Ratu Kalinyamat sebagai pemegang tampuk kekuasaan.

blank
Benteng VOC.

Bahkan sejarahwan Belanda H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud dalam sebuah bukunya yang berjudul Kerajaan Islam di Jawa menyebut Kabupaten Jepara dalam abad ke-19 dan ke-20 telah menjadi terkenal berkat pembuatan perabot-perabot dan barang-barang keperluan rumah tangga yang terbuat dari kayu yang dihiasi ukir-ukiran penuh bergaya seni.

“Penduduknya, pedagang-pedagang dan pengusaha-pengusaha kayu, yang tergolong lapisan menengah “yang saleh”, dengan hiasan-hiasan ini ingin menyatakan kemakmuran mereka dalam kehidupan masyarakat. Orang boleh bertanya-tanya dalam hati apakah kesenian mengukir kayu, yang telah mencapai tingkat perkembangan tinggi di Kudus dan Jepara mungkin juga berasal dari kalangan orang-orang Cina pendatang, yang pada abad ke-15 dan ke-16 (dan mungkin sudah sebelumnya) sudah banyak terdapat di daerah-daerah ini. Dalam legenda Jawa mengenai penduduk asli di daerah itu, tempat didirikannya “kota suci” Kudus kemudian, tampil juga seorang utas pengukir kayu” (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, 1985 : 122).

Benteng VOC Belanda

Salah saatu situs bersejarah di Jepara yang tidak kalah penting adalah Benteng VOC Belanda yang dibangun pada abad 16 M dan terletak di Jl. Makam Pahlawan. Bagaimana tidak, kantor dagang milik VOC Belanda ini menjadi saksi runtuhnya Mataram saat kekuasaan berada di tangan Amangkurat.

blank
Ornamen ukir yang ada di Masjid Mantingan.

Pemberontakan Trunajaya dapat dipadamkan setelah Adipati Anom (putra mahkota Amangkurat I) diperintah ayahnya, untuk meminta bantuan kepada Belanda yang berkantor di Jepara. Sehingga terjadilah apa yang disebut dengan ‘Perjanjian Jepara’.

Isi Perjanjian Jepara antara lain, seluruh biaya perang menghadapi Trunajaya harus ditanggung Mataram. Kedua, VOC meminta semua pelabuhan di pesisir utara dari Karawang sampai ujung Jawa digadaikan kepada VOC, dan akan dikembalikan setelah Mataram melunasi hutangnya.

Paska padamnya pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1680, Keraton Kartosuro tidak berhenti dari pemberontakan. Salah satu perwira terbaik VOC kala itu Kapten Francois Tack tewas dalam kerusuhan yang melibatkan Untung Suropati beserta laskar dari Bali.

Saat ditemukan, jasad Kapten Tack terlihat sangat mengerikan. Terdapat 20 luka tusukan, bahkan salah satu sumber mengatakan kepala Kapten Tack dipenggal. Ada dua versi dimana jasad Kapten Tack dimakamkan. Yang pertama versi yang mengatakan dia dimakamkan di Jepara, karena perjalanan ke Batavia cukup jauh. Namun versi yang kedua yang mengatakan setelah dimakamkan di Jepara kemudian dipindah ke Batavia.

Dikutip dari NatGeo Indonesia, “Pemakaman kembali dari Jepara ke Batavia itu biayanya sangat mahal,” ujarnya. Andai kata Tack bukan seorang adik ipar Sang Gubernur Jenderal, barangkali jasadnya tetap abadi di Benteng Jepara. Kalaupun dipindah ke Batavia —sebagai seorang yang hanya berpangkat kapten —mungkin makamnya berlokasi di halaman gereja, bukan di dalam lantai gereja. (Lilie Suratminto, pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia).

ua

blank