Ilustrasi. Reka: SB.ID

Oleh Antonius Benny Susetyo

DEMOKRASI Indonesia kembali dihadapkan pada ujian besar ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memutuskan untuk menolak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Putusan ini, yang seharusnya menjadi acuan hukum bagi seluruh elemen pemerintahan, telah ditolak oleh lembaga yang justru memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengawal kedaulatan hukum di Indonesia.

Keputusan ini bukan hanya soal penolakan terhadap batas usia calon kepala daerah, tetapi lebih dari itu, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi dan kedaulatan rakyat yang telah kita sepakati bersama.

Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi, kita telah sepakat bahwa lembaga ini memiliki wewenang untuk menafsirkan dan menjaga konstitusi sebagai norma tertinggi dalam tata hukum kita. Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta tidak boleh dianulir oleh lembaga lain, termasuk DPR.

Pembungkaman Demokrasi

Hal ini seharusnya menjadi pegangan kuat bagi semua elemen bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi dan kedaulatan rakyat. Namun, kenyataan hari ini menunjukkan sebaliknya. DPR, melalui Baleg, telah menggunakan kekuatan hukum yang dimilikinya untuk menolak putusan MK, yang pada dasarnya merupakan bentuk pembungkaman terhadap demokrasi itu sendiri.

Perdebatan mengenai batas usia calon kepala daerah bermula ketika Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2024, yang menetapkan bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung pada saat pelantikan calon terpilih.

Keputusan ini seolah memberikan “karpet merah” bagi kandidat tertentu yang belum memenuhi syarat usia pada saat penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, Mahkamah Konstitusi kemudian mengeluarkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, yang menegaskan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah harus dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan calon terpilih.

Putusan ini bertujuan untuk menjaga integritas proses pemilihan dan mencegah manipulasi hukum demi kepentingan politik tertentu. Keputusan MK tersebut, jika diikuti dengan baik, dapat menutup peluang bagi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju sebagai calon gubernur atau calon bupati pada Pilkada 2025.

Namun, dengan ditolaknya putusan MK oleh Baleg DPR, justru membuka peluang bagi kekuatan-kekuatan politik tertentu untuk memanfaatkan celah hukum demi melanggengkan kekuasaan.

Keputusan Baleg DPR untuk menolak putusan MK merupakan bentuk nyata pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi dan kedaulatan rakyat. Kita harus ingat bahwa keputusan MK tidak hanya mengikat secara hukum, tetapi juga merupakan hasil dari kesepakatan bersama untuk menjaga demokrasi dan menjamin hak-hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia.

Dengan menolak keputusan ini, DPR tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga menginjak-injak kedaulatan rakyat yang seharusnya mereka wakili. Demokrasi adalah hasil dari upaya dan niat baik semua elemen bangsa untuk menghargai kedaulatan rakyat.

Ketika kedaulatan rakyat dirampas oleh kekuatan kartel politik yang menggunakan instrumen hukum untuk membungkam demokrasi, maka rakyat kehilangan makna dan roh dari demokrasi itu sendiri. Ini adalah pengkhianatan terbesar terhadap prinsip-prinsip dasar yang telah kita sepakati sejak proklamasi kemerdekaan.

Salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi adalah ketika hukum digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan membungkam kebenaran. Ketika DPR menggunakan kekuatan hukum untuk menolak putusan MK, mereka tidak hanya membungkam suara rakyat, tetapi juga mengancam keadaban demokrasi itu sendiri.

Demokrasi yang sehat seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi, di mana hukum digunakan untuk melindungi hak-hak rakyat dan menjaga keadilan, bukan untuk melanggengkan kekuasaan segelintir elite politik. Kartel politik yang menguasai hukum akan menghancurkan fondasi demokrasi.

Kita telah melihat bagaimana kekuatan-kekuatan politik ini mampu membelokkan konstitusi demi kepentingan mereka sendiri, mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Jika kondisi ini dibiarkan, maka kita akan kehilangan demokrasi sebagai syarat utama untuk mewujudkan masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusional.

Penolakan DPR terhadap putusan MK juga mencerminkan krisis kepercayaan yang semakin dalam terhadap lembaga-lembaga negara. Ketika lembaga yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi justru menggunakan kekuasaan mereka untuk membungkam kebenaran, maka kepercayaan rakyat terhadap negara akan semakin terkikis.

Spiral Keheningan

Para cendekiawan, ahli hukum, dan intelektual yang seharusnya menjadi suara kebenaran, kini terjebak dalam kebisuan atau yang dalam teori komunikasi disebut “spiral keheningan”, yakni orang-orang yang memiliki sudut pandang minoritas akan cenderung diam dan tidak banyak berkomunikasi  karena takut akan konsekuensi dari mengungkapkan kebenaran.

Kita tidak bisa membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Ketika hukum digunakan untuk menindas dan bukan untuk melindungi, maka matilah nalar kebenaran. Dunia akan menghadapi situasi yang semakin sulit ketika pembangkangan terhadap konstitusi dibiarkan terjadi, karena hal ini akan menciptakan masyarakat yang kehilangan harapan dan terus-menerus terjebak dalam ketidakadilan.

Saat ini, lebih dari sebelumnya, kita memerlukan kebangkitan kritis dari seluruh elemen bangsa untuk menjaga demokrasi dan kedaulatan rakyat. Demokrasi tidak akan bisa bertahan jika rakyat terus-menerus dibungkam dan hukum hanya digunakan sebagai alat kekuasaan. Kita harus ingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai nilai-nilai konstitusi dan menjadikan konstitusi sebagai norma tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebangkitan ini harus dimulai dari kesadaran kolektif untuk menolak segala bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Kita harus bersatu untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar demokrasi tetap hidup dan bermakna. Hukum harus kembali kepada tujuan awalnya, yaitu untuk melindungi rakyat dan menegakkan keadilan, bukan untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang.

Masa depan demokrasi Indonesia berada di tangan kita semua. Jika kita membiarkan pembangkangan terhadap konstitusi terjadi tanpa perlawanan, maka kita akan melihat demokrasi yang semakin tergerus oleh kekuatan-kekuatan politik yang tidak memiliki nurani. Demokrasi tanpa nurani hanya akan menciptakan suasana yang mencekam, di mana kekuasaan digunakan untuk menindas dan rakyat kehilangan hak-hak mereka.Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Kita harus berani menghadapi tantangan ini dengan tegas dan tetap menjaga kesadaran kritis kita.

Eksistensi suatu bangsa dan negara tidak akan bertahan lama jika kita kehilangan prinsip-prinsip dasar yang telah kita sepakati bersama. Kita harus berjuang untuk menjaga agar demokrasi tetap menjadi jalan yang kita pilih bersama, dan menolak segala bentuk upaya untuk membungkam kebenaran dan menginjak-injak kedaulatan rakyat.

Keputusan Baleg DPR untuk menolak putusan MK mengenai batas usia calon kepala daerah adalah cerminan dari krisis demokrasi yang kita hadapi saat ini. Ini bukan hanya soal perdebatan hukum, tetapi lebih dari itu, adalah soal bagaimana kita sebagai bangsa menghargai nilai-nilai konstitusi dan menjaga agar kedaulatan rakyat tetap terjaga. Kita tidak boleh membiarkan demokrasi dibungkam oleh kekuatan kartel politik yang hanya mementingkan kekuasaan. Kita harus bersatu untuk menolak segala bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan menjaga agar demokrasi tetap hidup dan bermakna. Hanya dengan demikian, kita bisa mewujudkan cita-cita proklamasi dan memastikan bahwa kedaulatan rakyat tetap menjadi norma tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Antonius Benny Susetyo, Doktor Komunikasi Politik dan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila