Ilustrasi. Reka: SB.ID

Oleh Antonius Benny Susetyo

MOHAMMAD HATTA, salah satu proklamator Indonesia, mengemukakan dua asumsi penting yang mendukung prinsip kedaulatan rakyat.

Pertama, rakyat tidak hanya berdaulat tetapi juga bertanggung jawab atas kedaulatan yang dipegangnya. Kedua, tidak mungkin rakyat yang berdaulat kehilangan kedaulatannya.

Dengan kata lain, Hatta mengacu pada pengalaman sejarah untuk menunjukkan bahwa lembaga-lembaga demokrasi pada dasarnya berjalan dengan waktu yang lama serta stabil.

Dalam opini ini, kita akan menganalisis asumsi-asumsi tersebut dan relevansinya dalam konteks kekinian, serta menekankan pentingnya sistem demokrasi yang memenuhi syarat-syarat tertentu untuk keberlanjutannya, yaitu pemerintahan berdasarkan hukum dan terwujudnya kesejahteraan dan keadilan rakyat.

Asumsi pertama yang dikemukakan oleh Hatta adalah bahwa rakyat tidak hanya berdaulat tetapi juga bertanggung jawab atas kedaulatan yang dipegangnya. Tanggung jawab ini mencakup partisipasi aktif dalam proses politik, pengawasan terhadap pemerintah, serta keterlibatan dalam upaya-upaya peningkatan kesejahteraan sosial.

Tanggung jawab kolektif ini menjadi penopang utama bagi berjalannya demokrasi yang sehat dan stabil. Dalam konteks Indonesia, tanggung jawab kolektif ini tercermin dalam berbagai mekanisme demokratis seperti pemilihan umum, musyawarah desa, dan bentuk-bentuk partisipasi publik lainnya. Namun, sering kali, tanggung jawab ini diabaikan oleh sebagian besar masyarakat yang cenderung apatis terhadap politik.

Kurangnya kesadaran politik dan pendidikan yang memadai membuat masyarakat cenderung pasif dan menyerahkan segala urusan politik kepada elit politik. Padahal, tanpa partisipasi aktif rakyat, kedaulatan yang sejatinya berada di tangan rakyat dapat dengan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Asumsi kedua Hatta adalah bahwa tidak mungkin rakyat yang berdaulat kehilangan kedaulatannya. Kedaulatan rakyat adalah sebuah prinsip yang abadi dan tidak bisa dihilangkan. Ini berarti bahwa sekalipun terjadi penyimpangan dalam praktik politik, pada dasarnya kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa rakyat selalu memiliki kekuatan untuk mengembalikan kedaulatan mereka, misalnya melalui gerakan-gerakan sosial atau perubahan politik yang signifikan.

Namun, dalam praktiknya, kita sering menyaksikan bagaimana kedaulatan rakyat bisa terdistorsi oleh kekuatan politik yang dominan. Manipulasi hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi adalah beberapa contoh bagaimana kedaulatan rakyat dapat terancam. Oleh karena itu, kesadaran dan aksi kolektif dari rakyat sangat diperlukan untuk menjaga kedaulatan mereka tetap utuh. Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika rakyat bersatu dan sadar akan kedaulatannya, mereka mampu menumbangkan rezim yang otoriter dan mengembalikan kedaulatan mereka, seperti yang terjadi dalam Reformasi 1998 di Indonesia.

Mohammad Hatta juga menekankan bahwa lembaga-lembaga demokrasi pada dasarnya berjalan dengan waktu yang lama serta stabil. Ini berarti bahwa demokrasi bukanlah sistem yang instan, melainkan membutuhkan waktu untuk berkembang dan matang. Stabilitas lembaga demokrasi tergantung pada bagaimana sistem tersebut dirancang dan diimplementasikan serta bagaimana rakyat dan pemerintah bekerja sama untuk memeliharanya.

Pentingnya stabilitas lembaga demokrasi dapat dilihat dari berbagai negara yang memiliki tradisi demokrasi yang kuat. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya telah menunjukkan bahwa dengan lembaga demokrasi yang stabil, mereka mampu menghadapi berbagai tantangan dan krisis politik.

Lembaga Demokrasi Diperkuat

Di Indonesia, lembaga-lembaga demokrasi seperti DPR, DPD, dan lembaga peradilan harus terus diperkuat agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan menjaga stabilitas politik. Sistem demokrasi juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk keberlanjutannya, yaitu pemerintahan berdasarkan hukum.

Pemerintahan yang berdasarkan hukum berarti bahwa segala tindakan pemerintah harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan bukan atas dasar kekuasaan semata. Ini memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan tidak diskriminatif.

Namun, akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana hukum sering kali disandera oleh kepentingan politik sesaat. Ketika hukum menjadi instrumen kekuasaan, maka hukum kehilangan roh akan kebenaran dan keadilan. Tindakan-tindakan ini justru melukai hakekat tujuan penegakan keadilan.

Keadilan harus ditegakkan tanpa kepentingan politik dan interest pribadi untuk supaya hukum direkayasa. Argumen-argumen konstitusi dan aturan main kerap kali mudah direkayasa oleh para elit politik untuk membenarkan kekuasaan mereka dan melegalkan tindakan terhadap lawan-lawan politik mereka.

Menurut Aristoteles, tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan. Secara etis, hukum itu bertujuan agar keadilan itu tercapai, bukan untuk menegakkan ketidakadilan. Maka tujuan hukum secara etis adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Namun, ketika hukum disandera oleh kepentingan politik, maka hukum kehilangan orientasinya yang sebenarnya.

Hukum yang adil adalah hukum yang diorientasikan kepada hakekat untuk mencapai keadilan dan kebenaran. Namun, saat ini kita melihat bagaimana hukum sering kali digunakan sebagai alat politik. Hukum yang seharusnya netral dan adil sering kali menjadi alat untuk menindas lawan politik atau untuk memperkuat posisi kekuasaan tertentu. Ini jelas bertentangan dengan tujuan hukum yang sesungguhnya.

Keadilan harus ditegakkan tanpa kepentingan politik dan interest pribadi. Ketika hukum menjadi instrumen kekuasaan, maka hukum kehilangan roh akan kebenaran dan keadilan. Tindakan-tindakan ini justru melukai hakekat tujuan penegakan keadilan. Keadilan harus ditegakkan tanpa kepentingan politik dan interest pribadi untuk supaya hukum direkayasa.

Argumen-argumen konstitusi dan aturan main kerap kali mudah direkayasa oleh para elit politik untuk membenarkan kekuasaan mereka dan melegalkan tindakan terhadap lawan-lawan politik mereka.

Bukan ideologi lain, tetapi Pancasila sebagai falsafah groondslag harus menjadi fondasi dasar dari dasar.

Nilai-nilai keadilan tidak boleh melukai rasa ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pentingnya penegakan hukum tidak tebang pilih dan bukan hanya orientasi politik praktis kekuasaan, maka hukum harus ditegakkan demi tujuan yang mulia terciptanya keadaban hukum. Hilangnya keadaban hukum itulah yang menghancurkan peradaban bangsa ini.

Para pendiri bangsa ini mencoba merumuskan dasar-dasar kita hidup berkonstitusi dan dasar kita untuk hidup bernegara. Maka setiap orang dijamin kebebasannya untuk berpendapat dan berekspresi. Jaminan itu dijamin secara konstitusional dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan berpendapat merupakan dasar dari kebebasan demokrasi. Demokrasi tidak boleh dibungkam dengan cara menggunakan aturan atau mekanisme hukum untuk pembenaran kekuasaan.

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu pilar utama dari demokrasi. Tanpa kebebasan berpendapat, demokrasi akan kehilangan maknanya. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghargai perbedaan pendapat dan memberikan ruang bagi setiap individu untuk menyuarakan pandangannya.

Namun, di Indonesia, kebebasan berpendapat sering kali terancam oleh berbagai aturan dan mekanisme hukum yang digunakan untuk membungkam kritik. Kebebasan berpendapat harus dilindungi dan dijamin agar demokrasi dapat berjalan dengan baik. Tanpa kebebasan berpendapat, rakyat tidak akan bisa berpartisipasi secara aktif dalam proses politik dan pemerintahan, dan ini akan mengancam kedaulatan rakyat.

Walter Benjamin menegaskan pentingnya mengindari tirani kekerasan yang membungkam kebenaran. Benjamin mengatakan bahwa politik tidak hanya sekadar dimensi duniawi yang hanya untuk mencapai kekuasaan semata-mata dengan cara melegalkan segala cara. Tetapi politik itu berdimensi ilahi yang mengatasi kekuasaan untuk kepentingan kebenaran dan keadilan.