Kylian Mbappe hanya bisa memandang trofi Piala Dunia 2022, yang gagal direngkuhnya bersama Timnas Prancis. Foto: fifa

Oleh: Amir Machmud NS

// patutkah dia mempersoalkan/ mana yang lebih baik/ : Eropa atau Latin?/ atau ia hanya bunga media/ yang menyempurnakan budaya pop/ untuk menyulut kegempitaan global?//
(Sajak “Mbappe dan Kebanggaan Eropa”, Juni 2024)

AMERIKA Latin memang hanya diwakili tiga negara pemegang trofi dunia: Brazil, Argentina, dan Uruguay, sedangkan Eropa membendaharakannya lewat Jerman, Italia, Prancis, Spanyol, dan Inggris.

Dari sisi jumlah piala, Latin mencatat 10 kali juara. Brazil lima kali (1958, 1962, 1970, 1994, 2006), Argentina tiga kali (1978, 1986, 2022), dan Uruguay dua kali (1930, 1950).

Eropa memboyong piala 12 kali dari lima negara. Italia empat kali (1934, 1938, 1982, 2006), Jerman empat kali (1954, 1974, 1990, 2014), Prancis dua kali (1998, 2018), Inggris (1966), dan Spanyol 2010.

Apakah angka-angka kuantitatif itu menggambarkan dalam peta sepak bola dunia Eropa unggul atas Latin, atau sebaliknya?

Bertepatan dengan putara final Euro 2024 di Jerman kali ini, bintang Prancis Kylian Mbappe melontarkan pernyataan kontroversial. Secara tidak langsung dia menyebut, pamor Piala Eropa jauh lebih mencorong ketimbang Piala Dunia. Menurut dia, Euro jauh lebih menyulitkan.

Kapten Prancis itu pun kembali “diserang” para pemain Amerika Selatan. Setelah keberatan Lisandro Martinez dan Lionel Messi, giliran winger Brazil Raphinha yang mereaksi. Mereka berkesimpulan, Piala Dunia jauh lebih menantang ketimbang Piala Eropa.

Secara tidak langsung, eks bintang Paris St Germain yang musim depan berseragam Real Madrid itu melihat kualitas sepak bola Eropa lebih superior. Mbappe juga pernah memicu kegeraman karena menyebut level sepak bola Eropa jauh di atas Amerika Latin.

Kecewa Hasil Final?
Reaksi Lionel Messi dkk bisa dimaklumi, mengingat merekalah yang membawa pulang Piala Dunia ke Buenos Aires dengan mengalahkan Prancis di final.

Dengan mengulik kembali final di Qatar 2022, Raphinha seolah-olah hendak menyebut Kylian Mbappe boleh jadi dikecewakan oleh hasil final, ketika sebenarnya dia bermain gemilang untuk memimpin perjuangan Les Bleus.

Penyerang sayap Barcelona itu juga menyinggung tantangan besar pertandingan-pertandingan zona CONMEBOL untuk menaklukkan kawasan tinggi yang “ditakuti” seperti di La Paz, Bolivia. “Tim-tim Eropa belum tentu bisa menghadapi itu,” ungkapnya.

Lionel Messi menanggapi Kylian Mbappe dengan pernyataan cerdas, “Jelas, Euro adalah turnamen yang sangat penting dengan tim-tim terbaik, tetapi (turnamen ini) tidak memiliki Argentina, juara dunia tiga kali, Brazil, juara dunia lima kali, dan Uruguay, juara dunia dua kali. Ada terlalu banyak juara dunia untuk menyatakan bahwa itu adalah hal yang paling sulit. Secara umum, Piala Dunia adalah rumah bagi juara dunia terbaik. Semua orang ingin menjadi juara,” tutur peraih delapan kali Ballon d’Or itu seperti dilansir ESPN.

Bagi Mbappe, Euro adalah satu-satunya yang belum dia menangi. Piala Dunia (2018) sudah, UEFA Nations League (2020-2021), juga oke. Sebagai kapten, dia merasa ini adalah tantangan tersendiri.

“Saya sangat ingin memenangkan ini. Kompetisi pertama saya sebagai kapten, jadi ini sangat penting bagi saya, dan selalu penting bagi negara. Dan, kami ingin mereka bangga kepada kami. Ini kesempatan lain untuk menulis sejarah negara saya,” katanya.

Ekosistem Industri
Tentu Mbappe berhak memberi penilaian apa saja tentang kualitas Euro sebagai turnamen tertinggi UEFA. Yang agak sembrono adalah kesimpulan yang pernah dia sampaikan jauh sebelumnya bahwa level sepak bola Amerika Selatan di bawah Eropa.

Secara nyata, klub-klub liga Eropa membutuhkan “penguatan” dari para pemain Latin yang memiliki eksepsionalitas dan eksotika teknik. Apakah itu diartikan bahwa para pemain Amerika Selatan membutuhkan medium representatif bagi pengembangan kemampuannya, di klub-klub dengan organisasi dan manajemen yang baik?

Apakah Raphinha bisa berkembang sebaik sekarang jika hanya bermain untuk Vitoria Guimares, dan akhirnya memilih bertualang ke Sporting Lisbon, Rennes, Leeds United, dan Barcelona?

Lisandro Martinez, apakah dia akan semoncer sekarang bersama Manchester United apabila dia bertahan di Newell’s Old Boy tidak memilih Ajax Amsterdam?

Pun, apakah mutiara yang mengeram dalam diri Lionel Andres Messi akan tergosok semengkilap itu jika dia tidak hijrah ke Barcelona dari Newell’s Old Boys?

Artinya, ekosistem industri sepak bola akan memosisikan pemain sebagai “pusat” yang saling bergantung antara klub dengan sumberdaya manusia. Maka Eropa akan terus bergantung pada bakat-bakat alamiah pemain Latin untuk memperkuat performa industrialnya.

Begitu pula sebaliknya, pemain Latin juga butuh pengembangan karier seperti halnya perjalanan Diego Simeone dari peran sebagai pemain sampai menjadi pelatih hebat. Arthur Coimbra Zico, Ronaldo Nazario, Ronaldinho, juga Leonardo meniti perjalanan panjang dengan rute yang mirip. Lionel Messi juga bergelut dalam industri sepak bola Eropa bersama Barcelona dan PSG. Bahkan kini bersiap mengakhiri karier bersama Inter Miami di Major League Soccer.

Persoalan pembandingan Eropa dan Amerika Latin tak akan berhenti hanya dari pernyataan Kylian Mbappe. Semua akan bergulir sebagai “peta” mediatika. Budaya pop akan terus mengolah pendapat Mbappe sebagai picu untuk meniupkan pancaran publikasi yang menghidupkan paradoks demi paradoks relasi industrial.

Wajar apabila Messi, Martinez, Raphinha, dan pasti masih banyak pemain Latin yang gusar dan tidak terima dengan penilaian Mbappe, namun sejatinya itu tidak akan berhenti, seperti ketika Pele memberi kesimpulan kontroversial bahwa Cristiano Ronado dan Neymar Junior lebih baik ketimbang Lionel Messi. Juga dirinya berada di level yang berbeda dibandingkan dengan Diego Maradona.

Atau anggap saja Kylian Mbappe begitu merindukan trofi Eropa lebih dari segalanya. Sebagai kapten, juga sebagai bintang tim nasional negaranya…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah