Carlo Ancelotti mengangkat trofi Liga Champions 2024, bersama Real Madrid. Foto: rm

Oleh: Amir Machmud NS

// tak sembarang juara memiliki/ ia hanya melekat/ pada sebatas yang menekuni/ dengan keyakinan/ dan konfidensi/ juga takdir yang menempatkan/ di maqam apa…//
(Sajak “Carlo Ancelotti”, Juni 2024)

DI mana posisi Carlo Ancelotti di antara para legenda, dan genius lapangan bola?

Saya takkan ragu menjadikannya leader di tengah kampiun-kampiun yang memiliki “maqam” istimewa.

Dengan Bob Paisley, Pep Guardiola, Zinedine Zidane, dan Jose Mourinho dia lewat dan jauh memimpin. Dengan Alex Ferguson, lalu legenda-legenda Italia Arrigo Sacchi dan Fabio Capello, dia juga jauh di depan.

Italiano kelahiran 1959 itu adalah “pahlawan dalam diam”, yang tak banyak berbla-bla-bla, dan lebih asyik bersama pipa cangklongnya. Dia tak seriuh para taktikus yang memiliki kekhasan karakter dalam mengekspresikan ungkapan hati.

Antara yang seekspresionis kejeniusan Pep, yang terkesan arogan ala Mourinho, yang tak henti berpikir gaya Zidane, yang berwajah “profesor” seperti Vicente del Bosque, yang gelisah mencari solusi ala Ferguson, atau yang bergejolak ala Capello.

Carlo jauh lebih tenang dengan mengesankan wajah cool mendalami setiap referensi pertandingan dengan sikap yang matang. Begitulah ekspresi gelandang elegan AC Milan era 1980-an itu.

Lima gelar Liga Champios untuk dua klub berbeda, yakni Real Madrid (2014, 2022, dan 2024), dan AC Milan (2003, 2007), serta trofi-trofi liga bersama Milan, Madrid, Chelsea, Paris St Germain, dan Bayern Muenchen adalah bukti bahwa racikan Carlo bukan skema biasa. Semua dia hasilkan dari pendekatan eksepsional.

Belum lagi sederet gelar bersama FC Parma dan Milan yang dia bendaharakan dalam perjalanan karier yang penuh liku dan eksperimen.

Dinamisme Calcio
Gelimang trofi Carlo Ancelotti layak menobatkannya sebagai pelatih besar yang pernah ada dalam sejarah sepak bola. Lima kali meraih trofi dengan dua klub berbeda adalah rekor yang belum didekati oleh pelatih mana pun.

Dia juga dikenal sebagai peracik taktik yang sukses mengelola pemain asal Brazil, yang menyebabkan federasi sepak bola negeri itu sempat tergoda dengan ide untuk merekrutnya sebagai arsitek Selecao, pelatih tim nasional pertama dari luar negara yang bertradisi besar sepak bola itu.

Sederhana saja pendekatannya. Dan, itu bisa disimak dari basis pemikiran yang dia tuang dalam kertas kerja untuk studi kepelatihannya di Coverciano, “Il Futuro del Calcio Piu Dinamicita” atau “Masa Depan Sepak Bola: Lebih Banyak Kedinamisannya”.

Dari sejak 1993, Carlo Ancelotti telah bergulat di banyak klub. Dari Reggiana, Parma, Juventus, AC Milan, Chelsea, PSG, Real Madrid, Bayern Muenchen, Napoli, Everton, dan kembali ke Madrid hingga sekarang.

Mula-mula dia meyakini skema 4-4-2 dengan menolak playmaker ofensif. Maka ia kurang membutuhkan fantasista bertipe Roberto Bggio. Namun sejak mengakomodasi Zidane di Juventus pada 1999, dia mulai mencoba-coba formasi dengan mengutamakan dinamisasi lini tengah.

Apalagi setelah di AC Milan. Dia menjawab kritik sang pemilik, Silvio Berlusconi yang tidak suka timnya berskema defensif. Carlo menemukan formasi “pohon natal” dengan Filippo Inzaghi sebagai tombak penyelinap. Dari lini tengah kreatif ala Rivaldo – Rui Costa ke duet Clarence Seedorf – Kaka, ditopang metronom yang jempolan mengatur permainan, Andrea Pirlo.

Pencoba dan Penemu
Tak pelak, Carlo Ancelotti adalah pencoba dan penemu skematika, yang dimulai dari kiprahnya di Parma, Juventus, dan AC Milan.

Lalu apa yang dia lakukan di Real Madrid?

Dia mewarisi tradisi semangat kebesaran klub yang memudahkannya menyuntikkan motivasi. Dia juga sukses menstabillisasi permainan Los Blancos yang boleh dibilang musim ini tak terongrong oleh Barcelona.

“Kompetisi ini memberikan kebahagiaan buat saya sebagai pelatih dan pemain. Saya beruntung bisa bekerja sama di klub terbaik dunia setiap hari,” ungkap Don Carlo seperti dikutip dari situs UEFA.

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah