Ilustrasi. Foto: dok/mb

Oleh: Amir Machmud NS

// raihlah sepenuh cahaya/ kau akan terpantul terangnya/ bila tak mampu menyalakan pelita/ lorong muram pun menganga/ hari-hari bagai tanpa permakluman/ hanya menang dan menang/ dalam gumam impian/ yang kadang melayang mencari ruang//
(Sajak “Jalan Sang Pelatih”, Mei 2024)

BETAPA berbeda jalan terbentang untuk mereka dari dunia yang sama. Inikah jalan keniscayaan: antara bebas memilih, dan terpaksa memilih?

Juergen Klopp, Pep Guardiola, Xavi Hernandez, Eric ten Hag, dan Mauricio Pochettino berada di lorong yang sama, namun ada titik yang tak dapat dihindari memaksa mereka saling bersimpang tujuan.

Klopp telah memutuskan untuk meninggalkan Anfield, musim ini, menandai perpisahan yang mengharu-biru dengan Liverpool. Pep juga tersirat menyatakan sudah saatnya pergi setelah delapan tahun mengawal dinamika Manchester City.

Setelah tahun lalu meraih trofi Liga Champions yang menandai sejarah treble untuk City di Istanbul, Pep menyatakan, “So, what next?”

Nyatanya untuk kali keempat beruntun, pada 2024 dia mendapat titel Liga Primer yang merupakan rekor di Inggris. Bahkan, Sir Alex Ferguson yang 13 kali juara pun tidak memperolehnya empat kali berurutan. Kini Pep pun mengulang isyarat tahun silam, “Apa lagi?”

Xavi Hernandez, sementara itu berada di simpang pikiran. Dari rencana awal meninggalkan Barcelona, dipertahankan manajemen, dan belakangan malah berfriksi dengan petinggi klub, lalu akhirnya terpental.

Sedangkan Ten Hag tinggal menunggu keputusan. Akankah tetap menjadi komandan di Old Trafford, atau hengkang lantaran dilepas oleh manajemen klub untuk digantikan dengan orang lain? Peringkat delapan klasemen sungguh tak bisa diterima oleh keluarga besar MU.

Nasib Mauricio Pochettino lebih benderang lagi. Dia dilepas Chelsea, kendati klub London itu menempati ranking keenam klasemen dan keluar dari keterpurukan. Manajemen menilai, belanja besar pemain tidak sebanding dengan capaian The Blues, dan bagaimanapun pelatih asal Argentina itu dilepas penuh respek, karena dalam beberapa segi mampu membangkitkan konfidensi Chelsea.

Pertaruhan Jalan
Pelatih bagai mengarungi hidup dalam tantangan pertaruhan jalan. Setiap saat ibarat meniti jembatan dalam titian serambut dibelah tujuh.

Segenius apa pun Pep, sefilosofis apa pun Klopp, semendalam apa pun pemahaman Xavi, seberpengalaman apa pun Ten Hag, dan seimpresif apa pun Pochettino; semua akan bergantung pada “kecocokan” dan chemistry pelatih dengan ekosistem klub.

Artinya, faktor nasib akan mengintervensi kemampuan manajerial seorang pelatih, ditambah ketajaman intuisi dalam beradaptasi dengan lingkungannya.

“Kenyataannya, saya lebih dekat dengan pergi ketimbang bertahan. Sudah delapan tahun saya di sini, dan sekarang tahun kesembilan,” ungkap Pep kepada Sky Star setelah memenangi gelar untuk The City.

Apakah bakal seperti di Barcelona pada 2012, ketika tiba-tiba Pep menyatakan mundur dan sementara “menyepi” dari sepak bola, lalu mendadak berlabuh di Allianz Arena?

Kontrak Pep baru akan berakhir 2025, dan diperkirakan dengan pertimbangan personal, dia akan memilih mencari petualangan baru.

Persoalan Xavi lain lagi. Dia menyulut kemarahan Presiden Barca Joan Laporta tentang kondisi finansial klub. Akhirnya dia tak lagi dipertahankan. Manajemen sudah memilih pengganti, Hansi Flick. Boleh jadi, dia akan bernasib seperti Paolo Maldini, legenda yang disingkirkan oleh manajemen AC Milan.

Sedangkan penerus Juergen Klopp sudah lebih jelas, Arne Slot di tengah gambaran betapa Klopp akan menghadirkan kerinduan bagi banyak orang, termasuk Pep Guardiola sebagai rival utama yang memicu motivasi bersaing.

Di Arsenal, Mikael Arteta bisa saja lebih tenang ketimbang sejawatnya seperti Xavi, Ten Hag, dan Poch; walaupun untuk kali kesekian meratapi kegagalan di momen terakhir oleh City. Dia “murid” Pep Guardiola, yang bagaimanapun masih punya masa depan bersama The Gunners.

Tampaknya, Eric ten Hag boleh berbangga pada hasil final Piala FA, akhir pekan lalu, meraih trofi juara dengan mengalahkan Manchester City 2-1 di Wembley.

Di klasemen akhir, MU menduduki urutan kedelapan, capaian terburuk sejak 1990 untuk klub bertradisi besar seperti Manchester Merah. Posisi itu tak bisa diterima pemilik saham mayoritas terbaru: Jim Ratcliffe, meskipun MU sukses di ajang yang lain.

Pelatih asal Italia, Roberto de Zerbi, yang cukup sukses membentuk karakteristik impresif Brighton Hove and Albion, digadang-gadang menjadi pengganti Ten Hag. Dia bersaing dengan Thomas Tuchel, Mauricio Pochettino, dan Thomas Frank sebagai calon yang juga disebut diminati manajemen Old Trafford.

Hari-hari pelatih seperti napas yang berembus riuh. Antara bertahan atau hengkang, antara tetap atau pergi. Takkan pernah ada yang bisa memastikan kau akan berada di mana, kapan, dan dengan cara apa.

Dia bisa bersiremang di jalan muram, bisa pula bersiterang di lorong benderang…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah