Oleh: M. Dalhar

Pancasila merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari kebudayaan luhur masyarakat Nusantara. Nilai-nilai tersebut kemudian diformalisasi untuk menjadi sebuah cita—cita di tengah masyarakat yang senantiasa berubah.

Perubahan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di belahan bumi manapun tidak akan dapat menghindari perubahan. Ada kalanya perubahan itu cepat ada pula yang lambat.

Jika kita mengamati, perubahan masyarakat di sekitar belakangan dengan adanya  intervensi teknologi menjadi sebuah revolusi. Seakan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Perubahan dari teknologi kemudian mempengaruhi keseharin masyarakat, sampai pada sesuatu yang bersifat privasi sekalipun.

Apabila kita menyandingkan dengan situasi hari ini, seakan nilai-nilai Pancasila menjadi asing. Atau hanya menjadi kata-kata Mutiara. Apakah dulu masyarakat Indonesia dulu tergambar dalam lima sila dalam Pancasila?

Jawabannya adalah iya. Nilai-nilai tersebut tumbuh di masyarakat kita tetapi dengan bentuk yang berbeda-beda. Nilai-nilai tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, perwakilan, dan keadilan ada di bumi Nusantara. Dengan nilai atau ajaran-ajaran tersebut masyarakat tetap dapat bertahan dengan dinamika setiap zamannya.

Melihat perjalanan sejarah itulah, maka para founding father yang diwakili oleh Ir. Soekarno dalam Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 menawarkan gagasan Pancasila. Isinya berbeda dengan Pancasila hari ini. Beberapa kali pertemuan dilakukan untuk menyempurnakan dasar sekaligus cita-cita bernegara.

Artinya, Pancasila bukan sebuah mantra ajaib yang dapat menjadikan masyarakat secara instan berubah sebagaimana cita-cita yang terkandung di dalamnya. Dibutuhkan perjuangan atau ihtiar untuk membumikan Pancasila.

Bukan hanya memperkenalkan sila-sila sebagai rukun Pancasila, tetapi bagaimana membumikannya, sehingga masyarakat secara keseluruhan dapat mewujdukannya.

Tidak mudah memang di tengah arus globalisasi dewasa ini. Nilai-nilai dalam Pancasila adalah saripati dari bumi Nusantara. Seringkali karena untuk kepentingan tertentu akibat perubahan pola pikir menjadikan nilai-nilai tersebut dikorbankan.

Barangkali yang perlu terus dilakukan adalah sosialisasi tentang pentingnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangasa, dan bernegara. Di samping sosialisasi, tentu yang lebih penting juga para pemangku kepentingan (pemerintah) mengambil kebijakan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Tidak mudah memang, tapi harus dilakukan.

Hasil survei Setara Institute dan Forum on Indonesian Development (INFID) pada Mei 2023 mencatat 83,3 persen siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti. Hal ini menunjukkan masih kurang pahamnya generasi muda tentang posisi Pancasila di negara ini.

Peringatan Hari Pancasila adalah momentum untuk melakukan refleksi. Bagian mana yang perlu dikoreksi dan diperbaiki. Sebuah peringatan sebisa mungkin bukan hanya dijadikan sebagai seremoni tanpa sebuah aksi. Pengetahuan adalah langkah awal untuk melakukan sebuah perubahan. Jangan sampai negara berasas Pancasila hanya sebagai bungkus atau kemasan, tetapi isinya masyarakat yang liberal, bebas tanpa aturan. Jauh dari nilai-nilai Pancasila. Wallahu a’lam.

Penulis adalah pegiat Sejarah, Ketua Forum Pemuda Pelestari Budaya dan Sejarah (PPBS) Jepara