blank
Pep Guardiola dengan trofi Liga Primer. Foto: dok/mc

blankOleh: Amir Machmud NS

// takkan ragu lagi mengatakan/ : manchester itu biru/ dia menjadi semesta bola/ dalam ungkapan rasa/ dan, tahukah kalian/ seorang genius menyulapnya/ dalam indah kekuatan/ dalam kuat berkeindahan…//
(Sajak “Manchester is Blue”, Mei 2024)

ANDA yang menekuni Liga Primer, pastilah tak luput mencatat: pergeseran peta sepak bola Kota Manchester sudah tak lagi berkutat di wilayah psikologi mind game.

Betul-betul terjadi pergerakan kultural. Ketika Manchester United bersikutat dengan problem-problem internalnya, Manchester City sudah mengokohkan kemaharajaan. City bukan sekadar gambaran simbolisme filosofi Jawa, “Petruk dadi ratu”…

Dalam tujuh tahun terakhir, The Citizens menjadi pusat sepak bola Inggris. Sedangkan The Red Devils, pasca-rezim Sir Alex Ferguson, sejak 2013 berada di luar atmosfer calon peraih titel.

Dulu, Sir Alex pernah berucap secara stigmatis bahwa The City hanya “tetangga yang berisik”. Ketika pada 2011-2012 Roberto Mancini mulai menyulapnya sebagai kekuatan yang terbukti mampu bersaing pun, City tetap “belum siapa-siapa”.

Era Pep Guardiola sejak 2016 mengubah semuanya, walaupun Mancini (2011-2012) yang menyingkap tirai juara City, dan Manuel Pellegrini meneguhkannya pada 2013-2014.

Kolaborasi finansial dengan pemilik City, Syekh Mansuour al-Suleymani, meleluasakan kreasi pelatih asal Spanyol itu. Pep menjadikan City sebagai ekspresi kegeniusan seperti ketika dia mewujudkan Barcelona sebagai kanvas seni dan imajinasi, dari 2007 hingga 2012.

Taktikus kelahiran 1971 itu jauh lebih leluasa dibandingkan dengan ketika bereksperimen mengubah gaya bermain Bayern Muenchen dari speed and power game menjadi tim tiki-taka yang posesif pada 2013-2016. Kendala psikologisnya, para petinggi dan legenda Bayern tidak menyukai permainan dengan dominasi penguasaan bola namun minim gol.

Membentuk Semesta
Di Etihad, Pep Guardiola betul-betul membentuk “semesta Manchester City”. Tim yang tidak hanya kuat, juga indah. Tim yang tak sekadar indah, juga tangguh.

Kekuatan tertuang dalam elok orkestrasi permainan. Impresivitas irama rancak terekspresi dalam ketangguhan. Pasukan Etihad menciptakan kelengkapan semesta sepak bola: kekuatan, taktik permainan, keindahan, mental, dan “kultur The Citizens”. Komprehensivitas City mencukupkan kebutuhan kompetensi klub juara.

Bagaimana kita tidak menyebutnya sebagai kekuatan mental? Dalam sejumlah musim, trofi juara baru terpastikan dari laga pekan terakhir. Rivalitas dengan Arsenal dan Liverpool membumbui magnet industri yang sungguh menegangkan bagai membetot sukma. Ketika City meraih gelar, selalu terefleksikan perpacuan juara yang mirip dengan lomba adu kuat jantung.

Padahal, secara akumulatif, keberadaan City di puncak klasemen selalu di bawah Arsenal dan Liverpool.

Pada musim ini, misalnya, City lebih banyak berada di posisi kedua dan ketiga. Baru pada pekan ke-33 dan 34 kembali ke atas. Jadi hanya 10 pekan menempati puncak, sedangkan Liverpool 12 pekan, dan Arsenal 11 pekan.

Kemampuan menembus kondisi demikian ini menunjukkan Phil Foden cs memiliki kekuatan mentalitas.

Realitas Kompetisi
Romantisme kompetisi tentu menarasikan, betapa indah andai Arsenal yang juara, untuk memberi suasana lain yang bukan “City lagi, City lagi”, namun realitas kekuatan akan menjustifikasi bahwa The Citizens-lah yang lebih punya kepantasan, walau hanya berbeda selapis tipis.

Ketika performa taktik, orkestrasi permainan, dan daya tahan mental bersaing menuju puncak, maka “the last team standing” akan ditentukan oleh kekuatan mental. City memenangi rivalitas itu di tengah keniscayaan yang sebenarnya juga memberi jalan bagi Arsenal maupun Liverpool.

Kini, Manchester Biru tak lagi inferior dalam pembandingan tradisi, statistika, dan proyeksi. Pep Guardiola telah mengantar klub ini ke “maqam” elite dengan pijar kekuatan cahayanya. City benar-benar telah membirukan langit Manchester, membangun semestanya sendiri, dan jauh dari sasaran bully sekadar sebagai “tetangga yang berisik”.

Bahkan boleh jadi, MU-lah yang sekarang tampak hanya berisik dalam kegaduhannya…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah