Ilustrasi. Foto: dok/istock

Oleh: Amir Machmud NS

// sindroma, kau temuikah dia di bundar bola?/ berlaku pulakah mitos kutukan pembawa sial/ juga aura yang memancarkan keberuntungan?/ dalam lipatan selimut rahasia/ di balik teka-teki bulat bundarnya…//
(Sajak “Mitos-mitos Sepak Bola”, Mei 2024)

PERCAYAKAH Anda, dalam lipatan bundar bola, terselip ribuan ceritera?

Ada kesedihan, ada kegembiraan, ada ketidakmengertian, pun ada rasa kepenasaranan. Ya, karena hasil dan akhir takkan pernah bisa terpastikan oleh manusia.

Tak jarang pula sejuta rasa itu dihubungkan dengan nalar metafisika di luar bingkai logika.

Nah, ketika hingga pekan ini Arsenal berpacu poin dengan Manchester City dalam penentuan peraih trofi Liga Primer, berlakukah mitos-mitos berupa sindroma dan “kutukan” sepak bola?

Siapa yang bergumul dengan sindroma, siapa pula yang dengan penuh konfidensi melangkahi kendala?

Bisa dipahami bila Arsenal masih terbelit kegelisahan “sindrom nyaris juara”. Kekecewaan yang terus berulang dari musim ke musim sejak terakhir kali juara pada 2003-2004, sementara City menegaskan kehadiran sebagai kekuatan utama.

Dari sejak 2020-2021 hingga 2022-2023, Meriam London selalu dominan menjadi “penguasa” elite klasemen, namun selalu saja berubah “tergopoh-gopoh” di pengujung musim.

Dalam sentuhan atraktif filosofi permainan Mikael Arteta, selalu terjanjikan penyegaran kondisi. Akan tetapi, yang terjadi, “kenyarisan” itu mengetengahkan dialektika “memimpin”, “dikejar”, “terjajari”, ” lalu “tersalip”.

Martin Odegaard dkk kehilangan mentalitas sebagai “penantang trofi” justru di saat-saat menentukan. Dari kompetisi ke kompetisi, mereka bagai menunda kesempatan dalam rongrongan “sindrom nyaris”. Dan, sekarang inikah saatnya?

Hari menentukan sedang ditunggu dengan penuh ketegangan hanya dari satu pertandingan. Inilah vonis nasib yang juga menanti sebagian orang dalam dinamika industri kompetisi?

Arsenal-kah, kali ini? Atau tetap City? Mitos apa yang akan berlaku dan apa yang terjungkalkan?

Hingga pekan ke-38 atau laga terakhir liga, jawaban itu baru akan terkonfirmasi. Dan, bukankah ini menegaskan tentang kondisi tradisi bagi The Gunners?

Menundukkan Logika
Mitos dalam sepak bola seperti realitas yang menepikan logika dan dalil-dalil akademik.

Sering pula diyakini sebagai justifikasi. Sindroma dan kutukan bagai memperoleh tempat pembenar dalam khazanah analisis media. Mungkin atas nama viralitas, mungkin lantaran konsekuensi kemeruyakan budaya pop.

Kemenangan dikaitkan dengan faktor nonteknis. Kalah juga dihubungkan dengan pengaruh metafisika. Tak jarang hasil pertandingan ditentukan oleh kosmologi “langit”, “setengah langit”, atau “energi kuasa kegelapan”.

Bukankah hari-hari ini kita disodori penguatan opini mitos: Bayern Muenchen yang seperkasa itu di Bundesliga, dan malang melintang di pelataran Eropa, gagal total karena terefleksi “kutukan” Harry Kane?

Oo, betapa menyedihkan. Kane jadi pembawa sial? Dia dianggap mengusung aura negatif bagi Bayern, seperti halnya Tottenham Hotspur yang bertahun-tahun dia bela?

Kapten tim nasional Inggris itu boleh moncer secara individual. Produktivitasnya juga “menyala” setelah memutuskan pindah ke Muenchen. Namun untuk kepentingan Die Roten, aura “kegelapannya” masih menyelimuti, sama seperti ketika memimpin The Lilywhites.

Dia belum membendaharakan trofi hingga usia 31. Dan, tragisnya, kepindahan ke Muenchen antara lain dengan ambisi meraih piala pun ikut sirna. Bahkan Bayern dinilai terkena imbasnya!

Kutukankah ini, atau sindroma yang terbawa-bawa?

Padahal, bukankah Muenchen menghadapi “logika kompetisi” tentang performa Bayer Leverkusen yang memang “menyala” di Bundesliga dan Eropa di bawah sentuhan ajaib Xabi Alonso?

Akan tetapi, “olahan media” menemukan “aspek viral” pada Harry Kane, terkait realitas keabu-abuan penilaian tentang kiprah dan hasil, juga rentetan kenyataan yang tak sebanding dengan potensi seorang pemain.

Lalu bagaimana kita memosisikan Arsenal dalam konteks abu-abu itu, ketika logika statistika sulit menjelaskannya?

Berbeda dari Kasus MU
Persoalan Arsenal berbeda dari kasus Manchester United dan Barcelona. Dua klub terakhir itu sedang berjuang menemukan kembali tradisi yang hilang dalam sejumlah musim terakhir.

Di bagian lain, Manchester City menegaskan punya “tradisi” yang tak hanya berupa mitos. Yakni meraih titel juara melalui saat-saat kritis di pekan terakhir.

Penegasan lain dengan empat musim berurutan menjadi pemenang trofi Liga Primer adalah kenyataan yang menghadirkan tambahan tingkat kesulitan bagi Arsenal.

Penentuan gelar juara dengan kesengitan rivalitas hingga pekan terakhir adalah romantisme tersendiri dalam industri kompetisi. Kondisi itu berkebalikan dari dominasi klub tertentu yang sudah memastikan titel beberapa pekan sebelum musim berakhir.

Jadi, percayakah Anda pada mitos; sindroma, kutukan, dan tradisi-tradisi yang mewarnai sepak bola?

Atau, keunikan-keunikan dan usikan tanda tanya itu bagian alamiah dari permainan pop yang sekadar bermakna fana?

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah