Berkaca terhadap data tersebut, perlu langkah dan perencanaan matang agar Sumber Daya Manusia (SDM) produktif yang melimpah, bisa tertampung, tidak sia-sia (ro-ekonomi.jatimprov.go.id, 26/5/2023).
Masih banyak sarjana yang tidak bisa, atau masih menganggur karena ada missmatch. Tidak ada link and match. Tantangan ke depan adalah apakah jenis pekerjaan baru itu sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Sehingga yang perlu disiapkan adalah kompetensi tertentu sesuai dengan pasar kerja.
Dengan demikian, kebutuhan industri itu tersuplai oleh persiapan yang dilakukan selama mereka mendapatkan pendidikan dan pelatihan vokasi.
Itulah sepotong potret pengangguran kita dari level bawah hingga atas. Pengangguran terpelajar ini terjadi karena membengkaknya perguruan tinggi yang tiap tahun memproduksi sarjana, minusnya lapangan pekerjaan, rendahnya kompetensi sarjana maupun adanya ketimpangan atau tidak relevannya profil lulusan pendidikan tinggi dengan kualifikasi pasar kerja.
Memang, masa kuliah kita dekat dengan buku, jalan, nonton, pesta dan cinta. Itulah masa lalu yang tidak pernah hilang, ia selalu ada dan tidak melupakan jalan pulang. Untuk itu, ia menitipkan pesan yang disebut kenangan. Kini identitas baru telah disematkan pemerintah berupa gelar sarjana. Menjadi sarjana tidak salah. Menjadi salah ketika para sarjana ini banyak yang tidak bekerja alias menganggur.
Lalu, apa masih perlu mendidik mahasiswa selama empat tahun di kampus atau cukup memberikan pelatihan bersertifikat 5-6 bulan agar mereka bisa langsung laku di pasar kerja. Atau sarjana hanya cukup aktif bertanya, mengeluh, protes dan bergantung selamanya. Gelar sarjana, merupakan kunci utama untuk mendapatkan pekerjaan impian. Namun, seiring makin banyaknya sarjana yang diproduksi institusi pendidikan tinggi, selembar ijazah saja tak cukup. Rhenald Kasali pernah menulis buku cHaNgE! dengan tagline, “Tak peduli berapa jauh jalan salah yang anda jalani, putar arah sekarang juga.”
Untuk bisa survive dan tidak jadi parasit bagi masyarakat, sarjana perlu membekali diri dengan skill. Skill adalah langkah utama memasuki pasar kerja, setelah itu harus punya critical skill jika ingin berkembang dan masuk jajaran manajemen.
Era serba IT kini sarjana harus punya digital skills, yakni tahu dan menguasai dunia ke-internet-an. Agile thinking ability-mampu berpikir banyak skenario-serta interpersonal and communication skills-keahlian berkomunikasi sehingga berani berargumentasi bersilang pendapat. Sarjana juga harus punya global skills. Berkemampuan bahasa asing, bisa berkomunikasi aktif dengan relasi dari luar negeri dan punya kepekaan terhadap nilai budaya.
Hal terpenting adalah kompetensi menuju kemandirian dan daya saing dapat kita lihat dari bagaimana mereka mampu mengaktualisasikan dirinya dalam percaturan ekonomi.
Saat ini sarjana bersikap pragmatis, selalu mengejar tujuan secara instan, tak pernah berupaya meralat capaian yang diraih kearah yang lebih tinggi, bermental buruh tidak berani mengambil risiko dalam berwirausaha yang berkiprah membuka lapangan sebagai tuan rumah di negeri sendiri, sehingga mematahkan gelombang tenaga asing yang telah, sedang dan akan menyerbu pasar tenaga kerja kita dalam pusaran global.
Kata kunci selanjutnya adalah inovasi. Di sini perlu SDM yang mampu melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dengan jalan mengeksplorasi ide dan mengolah sumber daya yang ada untuk menemukan peluang usaha dan berani mengambil tantangan yang bakal melempangkan jalan sukses bahkan melampaui seluruh harapan.
Coba kita jalan-jalan ke Purbalingga, di sana ada pengusaha wig dan bulu mata yang bisa ekspor ke Hollywood. Tidak hanya itu, knalpot yang nempel di mobil Marcedez Benz itu juga produk Purbalingga. Tahukah, radio (kayu) magno yang terkenal di Jepang, Jerman dan Amerika, itu buatan Temanggung. Jadi jangan takut untuk berwirausaha. Kita akan digaji atas dasar apa yang kita kerjakan, bukan atas ijazah (sarjana).
Lifeskill
Berbekal kompetensi yang dimiliki, seseorang bisa memperoleh status setara dengan pemilik ijazah yang memperoleh lewat jenjang pendidikan tertentu. Ada anak-anak muda hebat dengan rerupa inovasinya.
Republik ini sarat dengan lahan pertanian, maka kemudian sebagai anak muda pun kita tak bisa berpangku tangan dan ongkang-ongkang. Kita bisa belajar kepada petani milenial lulusan sarjana yang sudah memiliki akses pasar baik domestik maupun mancanegara: kita punya SOM (Sayur Organik Merbabu), di sini ada pemukanya Shofyan Adi Cahyono, kemudian Rumah Mocaf, Riza Azyumarridha Azra, yang berhasil menjalin kerja sama dengan petani singkong dengan sistem kemitraan untuk dipasarkan secara online.
Kita juga punya Sutomo Priyo, bos CV. Central Agro Lestari ini berhasil memproduksi gula kelapa organik dengan omset penjualan yang terus menjulang. Luar biasa.
Itulah kemudian, hal terpenting bagi sarjana, yakni berjiwa mandiri atau berdikari. Spirit dan nilai keutamaan kemandirian itu harus dibangun, dipraktikan untuk memberikan nilai tambah lifeskill dirinya yang tak pernah diajarkan di ruang kuliah.
Itulah poin strategis dari kesarjanaan.
Yaitu bisa menambah ilmu dan keterampilan secara mandiri. Tanpa kapasitas itu seorang sarjana hanya akan menjadi Don Kisot, yang menyerang kincir angin yang dikira raksasa.
Jangan sampai berpuas diri dengan mengantongi sarjana pohon pisang, hanya menghasilkan satu karya ilmiah, setelah itu tenggelam, hanya membunuh waktu dan tak pernah memproduksi lagi karya yang bermaslahat hingga tutup usia.
Sarjana bodong, dengan membayar tinggi tanpa kuliah bisa mendapatkan ijazah, apalagi sarjana melompong, selalu memindai isi diktat atau modul kuliah ke dalam angka-angka akademiknya. IPK tinggi ada benarnya, tetapi bukan segala-galanya.
Tawaran lain, yaitu sarjana kembali ke desa. Tengok saja suntingan Mubyarto dalam buku Kisah-kisah IDT : Penuturan 100 Sarjana Pendamping (1997). Di desa memberikan peluang sukses yang besar bagi kaum muda kita, terutama sarjana. Ini bergantung pada kejelian dan keseriusan sarjana dalam membaca dan memanfaatkan potensi desa.
Di pedesaan masih banyak yang belum beruntung, masih banyak yang belum mendapat kesempatan menempuh pendidikan tinggi. Tapi mereka juga banyak yang sukses, sedangkan sarjana memiliki banyak kelebihan. Reorientasi pedesaan menjadi penting dalam upaya meretas sarjana pengangguran. Tak kurang baiknya, sarjana kita membuka kembali cerpennya Agus Noor, “Perihal Orang Miskin yang Bahagia.” Terakhir, sarjana itu tak boleh terbelah dan menyerah.
Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah