blank
Timnas U23 Indonesia. Foto: dok/pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// seperti angin yang menebar kesejukan/ seperti cahaya mencerahi mayapada/ seperti langit yang memayungi cinta/ benar-benar menggeliatkah kita/ menyatu dalam kekuatan semesta?//
(Sajak “Garuda Muda”, 2024)

DALAM bahasa “dunia persilatan sepak bola”, tak pelak lagi Korea Selatan adalah “pendekar kelas utama”. Bahkan di level Asia berhak disegani sebagai “datuk of the datuk”-nya sepak bola.

Memang ada Jepang, Iran, Irak, Arab Saudi, juga Qatar sebagai barisan elite benua ini; namun Kesatria Taeguk punya “maqam” tersendiri yang selalu menebar inferioritas bagi siapa pun lawannya.

Maka ketika tim nasional Indonesia mampu lolos ke semifinal Piala Asia U23 dengan mengalahkan Korea, pada dinihari WIB 26 April kemarin, renungan kebanggaan pun patut kita ajukan: benar-benar telah naik kelaskah timnas Garuda kita?

Menundukkan Australia 1-0 dan Yordania 4-1 di babak grup menjadi indikator penguat, bahwa kelolosan ke empat besar bukan sekadar keberuntungan. Bukan pula kejutan sesaat yang dibuat Rizky Ridho dkk.

Saya lebih memaknai langkah-langkah di Qatar 2024 ini sebagai refleksi cahaya “naik kelas”, dengan level yang setahap demi setahap dibangun oleh pelatih Shin Tae-young.

Skor 2-1 sebagai keunggulan di babak pertama, lalu 2-2 hingga selesainya waktu reguler, dilanjutkan dengan drama adu penalti, menunjukkan rangkaian unjuk ketahanan fisik dan mental, dengan sikap dingin dalam menuntaskan kesempatan.

Dan, ketika “datuknya sepak bola Asia” telah bisa dilewati, inferioritas macam apa lagi yang harus menjadi penghalang pasang naik Timnas Garuda?

Mentalitas dan Konfidensi
Kita runut ke belakang untuk mencermati sejumlah kilas balik dari performa anak-anak Garuda Muda.

Tanpa kekuatan percaya diri, semantap itukah Marselino Ferdinand mengeksekusi penalti, dan berikutnya mengemas gol lewat sontekan yang berkelas?

Tanpa konfidensi, senyaman itukah Witan Sulaeman mengirim bola dengan placing indah ala Robin van Persie, dengan kaki kiri ke pojok gawang Yordania?

Pun, tanpa keyakinan tinggi, bisakah Pratama Arhan mengirim umpan lemparan maut yang direruskan oleh tandukan Komang Teguh sebagai gol yang memastikan kemenangan 4-1 atas Yordania di babak penentuan grup Piala Asia U23 di Stadion Al-Khalifa, Doha?

Ya, performa menonjol Garuda Muda pada 21 April lalu itu memperlihatkan aksen konfidensi, yakin akan kekuatan diri, ekspresi kepercayaan bahwa “kita bisa” dan “kita mampu”.

Bukankah telah cukup lama tim nasional sepak bola kita terhinggapi persoalan mental inferioritas?

Budaya Shin Tae-yong
Pelatih asal Korea Selatan Shin Tae-yong secara nyata menorehkan catatan kualitatif: membawa timnas senior lolos ke 16 besar Piala Asia 2023 yang mengerek signifikan peringkat FIFA kita, dari 142 pada Februari 2024 ke tangga 134.

Dia melengkapi prestasi itu dengan mengantar Rizky Ridho dkk lolos ke semifinal Piala Asia U23. Catatan manis ini diukir dalam keikutsertaan yang pertama sejak turnamen AFC tersebut digelar pada 2013.

Sejauh ini, sejumlah pengamat mengkritisi coach Shin yang sejak menangani timnas pada 2019 belum sekalipun mempersembahkan prestasi kuantitatif dalam hal raihan trofi juara. Akan tetapi, tak kurang pula yang mengakui keberhasilannya membangun “budaya sepak bola” yang berbasis disiplin profesional.

Keseharian pemain dalam hal gaya hidup, pola makan, dan merawat kondisi fisik betul-betul dia “cereweti”. Disiplin ditransformasi menjadi menu sikap para pemain kita.

Perlahan tapi pasti, rata-rata pemain timnas mulai mampu bermain dengan standar kebutuhan spartanitas dua kali 45 menit. Kesiapan fisik untuk bertarung dalam pertandingan yang ketat, merupakan modal kesegaran mental.

Kondisi bugar bakal menopang tuntutan bagaimana memahami dan menerjemahkan taktik pelatih, tidak mudah menyerah, mampu berpikir jernih, dan tidak mudah terbawa provokasi lawan.

Yang tampak menonjol, transisi bermain dari situasi menyerang ke bertahan dan dari bertahan ke menyerang mulai terlihat berubah. Dahulu, baik di timnas senior maupun kelompok umur, transisi permainan ini menjadi problem celah yang sering dimanfaatkan tim lawan. Kita banyak mengalami ketergopoh-gopohan dan kerepotan menghadapi serangan balik cepat.

Pada bagian lain, pemaksimalan proyek naturalisasi pemain pada periode coach STY dan kepemimpinan PSSI di bawah Erick Thohir, secara nyata juga menyuntikkan kualitas timnas.

Walaupun secara visioner kehadiran mereka harus dijadikan pelecut peningkatan standar kompetisi liga, untuk sementara berkah pragmatis itu kita nikmati sebagai penambal celah kekurangan timnas. Termasuk menjadi contoh bagi para pemain lokal dalam hal merawat profesionalitas.

Pengakuan Kemajuan
Apa pun, performa Timnas U23 di Doha tetap patut kita lihat sebagai kemajuan. Peningkatan konfidensi tak akan dicapai tanpa fisik dan mental kuat.

“Euforia” ini, kalau disebut demikian, kita harapkan merembes ke perilaku tim-tim kelompok umur lainnya.

Kemenangan atas Australia dan Yordania, lewat pemampilan yang penuh determinasi dan percaya diri, menjadi bukti transformasi budaya mengikis tirai buram yang selama ini membebani.

Dengan kata lain, STY adalah sosok yang tepat mendampingi para pemain kita, membentuk timnas ke standar mentalitas yang selama ini menciptakan kondisi inferioritas.

Dan, selanjutnya, transformasi ini harus menjadi sikap, karakter, dan budaya dari cahaya naik kelas sepak bola Indonesia…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah