blank
Prepekan atau prepegan, dikenal sebagai tradisi keramaian pasar pada saat menjelang perayaan Hari Raya Lebaran Idul Fitri. Bagi masyarakat Jawa, pasar tradisional dimaknai secara dimensional, tidak sekadar tempat transaksi jual beli.(SB/Bambang Pur)

MENJADI tradisi tahunan bagi masyarakat Jawa, bahwa setiap menjelang datangnya hari H perayaan Lebaran Idul Fitri, selalu terjadi keramaian pasar yang disebut Prepekan atau Prepegan. Para bakul mengatakan, untuk tradisi prepekan kali ini, akan jatuh pada Hari Selasa (9/4) mendatang.

Tradisi Prepekan, ditandai banyaknya warga masyarakat yang berbelanja aneka kebutuhan untuk kepentingan perayaan Lebaran ke pasar-pasar tradisional. Mulai dari kebutuhan pokok sehari-hari, kebutuhan untuk kenduri selamatan Riyayan, sampai pada pembelian busana baru dan bahkan membeli perhiasan emas untuk dikenakan saat merayakan Lebaran Idul Fitri.

Dalam Buku Adat Tata Cara Jawa Karya Drs R Harmanto Bratasiswara (Yayasan Suryasumirat, Jakarta 2000), disebutkan, Prepekan merupakan kesibukan berbelanja menyongsong datangnya Lebaran. Banyak kegiatan dilakukan oleh masyarakat untuk menyambut Lebaran. Puncak aktivitas mereka berbelanja tersebut, disebut sebagai Prepekan.

Budayawan Jawa peraih anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, mengatakan, Prepekan sebagai keramaian pasar menjelang Lebaran telah mentradisi secara turun temurun. ”Tradisi prepekan terjadi sekali dalam setiap tahun, saat menyongsong perayaan Lebaran Idul Fitri,” ujar Pranoto yang juga abdi dalem Keraton Surakarta ini.

Bagi umat Islam, Lebaran Idul Fitri merupakan hari istimewa, merupakan hari kemenangan setelah usai menjalani ibadah puasa sebulan di Bulan Ramadan. Saat datang Hari Lebaran Idul Fitri, mereka berusaha merayakan kemenangannya.

Setelah keramaian Prepekan berlangsung, sehari kemudian, tepatnya pada Hari H Idul Fitri, biasanya akan terjadi apa yang dinamakan tradisi Pasar Mati. Yakni para bakul pasar (tradisional) menghentikan kegiatan niaganya, untuk istirahat sehari tidak melakukan kegiatan jual beli.

Cari Jodoh

Pada saat hari Pasar Mati tersebut, para bakul mementingkan acara silaturahmi halalbihalal ke rumah saudara snak famili handai tolan, untuk saling memohon dan memberi maaf secara lahir batin.

Bagi masyarakat Jawa, pasar tradisional tidak sekadar sebagai tempat melakukan aktivitas transaksi jual beli. Tapi ada yang memahaminya secara spiritiual, pasar dapat untuk media ritual midang dan ruwatan. Midang, dipahami bahwa pasar tradisional dapat menjadi arena menemukan calon jodoh. Kemudian ruwatan, dapat dijadikan sarana membebaskan lilitan sukerta atau sebel sial (kesialan).

Abdi Dalem Keraton Surakarta, Raden Tumenggung (RT) Purnomo Tondo Nagoro, menyatakan, sesebutan midang populer di sejumlah pasar tradisional di Wonogiri. Diantaranya di Pasar Pracimantoro yang memiliki hari Pasaran Legi. Para wanita lajang, datang ke pasar dengan berdandan istimewa. Harapannya, dapat dilirik calon jodohnya.

Terkait dengan Ruwatan, pasar tradisional dapat dijadikan wahana meruwat lilitan sukerta sebel sial. Termasuk dapat menjadi sarana bagi pengantin pria yang akan berjodoh ke arah Ngalor Ngulon (barat laut). Ada pemahaman, arah ngalor ngulon memperoleh pengaran-aran (sebutan) Nyampar Maejan (nyandung patok kuburan) atau pertanda buruk bagi kehidupan mempelai.

Cara meruwatnya, pengantin pria dapat mengawali pemberangkatannya dari dalam pasar, ditandai dengan berbelanja di pasar tradisional. Tujuannya, agar tidak terlilit aura sukerta dengan sesebutan Nyampar Maejan.

Bambang Pur