Makam Ki Hajar Saloka adalah sebuah jejak sejarah yang berkaitan dengan keruntuhan Majapahit. Dikisahkan, Ki Hajar Saloka adalah termasuk salah seorang Senopati Kerajaan Majapahit saat menjelang keruntuhan Majapahit.

Masa keruntuhan Majapahit, terjadi eksodus penyelamatan ke berbagai arah terutama ke wilayah pegunungan Selatan.

Demikian juga Ki Hajar Saloka yang dalam pelariannya sampailah di Gunung Kidul Wonosari dan mendirikan sebuah padepokan bernama Padepokan Ki Hajar Saloka.

Kemudian Ki Hajar Saloka melanjutkan perjalanan ke pegunungan pegunungan kembali dan sampailah di sebelah utara Gunung Merapi hingga Ki Hajar Saloka meninggal dan dimakamkan di puncak bukit ini, yang kemudian menjadi cikal bakal dari kompleks pemakaman.

Makam Berupa Gundukan Pasir

Di kompleks makam itu, terdapat sebuah pohon besar yang diperkirakan umurnya sudah ratusan tahun. Kemudian ada bangunan baru, berupa cungkup, yang di dalamnya ada prasasti berangka tahun 2013.

Berarti cungkup ini memang bangunan baru, yang dibangun sekitar 11 tahun lalu. Di dalam cungkup besar inilah, makam Ki Hajar Saloka berada.

blank
Bentuk makam unik berupa gundukan pasir, yang hingga kini masih ada. Foto: R. Widiyartono

Makam Ki Hajar dibatasi dengan dinding kayu setinggi kira-kira 1 meter. Kemudian di sampingnya, inilah uniknya, ada gundukan-gundukan pasir yang juga merupakan makam. Memang tidak dijelaskan ini makam siapa. Tetapi sebelum makam Ki Hajar dibangun, sekitar tahun 90-an akhir, penulis berkunjung ke sana, gundukan pasir menyerupai tumpeng itu tidak kecil-kecil seperti sekarang.

Dulu gundukan pasirnya sangat tinggi, termasuk gundukan pasir pada makam Ki Hajar Saloka. Ketinggian bisa mencapai sekitar dua meteran. Menurut keterangan warga, gundukan-gundukan pasir ini, tidak pernah terkikis oleh air. Jadi ajeg saja tetapi berupa gundukan meski tertimpa hujan.

Ngargaloka

Kisah Ki Hajar Saloko juga berkaitan dengan wilayah Ngargaloka yang berada di lereng timur Gunung Merbabu. Nama Ngargaloka terbentuk dari dua kata “arga” (gunung) dan “loka” (tempat).

Dalam kisahnya, ada dan dua laki-laki dan perempuan pengembara dari Majapahit. Keduanya adalah Ki Hajar Saloka dan Nyai Margowati, yang keduanya merupakan prajurit Majapahit.

Karena perjalanannya dalam mengembara begitu jauh maka keduanya beristirahat di sebuah hutan yang terletak di lereng gunung Merbabu sebelah timur karena terlalu letihnya dua pengembara tersebut tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan.

Oleh karena itu kedua pengembara tersebut membuat sebuah gubuk dan bertempat tinggal di situ. Namun belum lama mereka bertempat tinggal kedua pengembara itu meninggal dunia di tempat tersebut.

Sebelum akhir hidupnya mereka meninggalkan tongkat yang ditancapkan di tanah tersebut yang mana tongkat tersebut tumbuh menjadi sebuah pohon nangka yang besar dan berkata, “Suk yen tekan rejaning jaman, desa iki bakal tak jenengi Ngargaloka” atau “besok bila kelak terjadi keramaian zaman, des aini aku namakan Ngargaloka”.

Sampai saat ini, petilasan dan makam Ki Hajar Saloka tersebut masih sering dikunjungi rang yang berziarah. Ada yang memang tujuannya berziarah ke makam ini, tetapi ada yang tertarik untuk sekadar mampir.

Seperti dituturkan Nurcholis asal Tlogosari Semarang. “Saya kebetulan habis kondangan di Boyolali, pulang lewat Selo. Ketika lagi ngopi kok melihat ada patung kereta kuda. Saya naik ternyata ada makam Ki Hajar Saloka, Makamnya unik sekali,” ujar pensiunan TNI ini.

Selo memang dikenal sebagai daerah tujuan wisata. Selain petilasan Ki Hajar Saloka, juga ada petilasan Kebo Kanigara yang berkaitan dengan Sejarah Majapahit dan Demak.

blank
Patung Paku Buwana VI di Selo, tak jauh dari makam Ki Hajar Saloka. Foto: R. Widiyartono

Banyak juga yang berkunjung ke petilasan Kebo Kanigara ini, selain sekadar berziarah, ada juga yang punya niat tertentu. Misalnya tertulis dalam buku tamu, serang pengunjung menyebutkan, niat kunjungannya itu karena hendak mencalonkan diri sebagai bupati.

Selain menikmati kesejukan udara dan keindahan Gunung Merapi-Merbabu, juga bisa menikmati jajanan khas yaitu jadah-bacem. Yaitu ketan dan tempe atau tahu bacem yang khas.

Kemudian dari Selo, kita juga bisa melanjutkan perjalanan ke Ketep Pass, sebuah destinasi penting di Kabupaten Magelang.

R. Widiyartono