blank
Ilustrasi BMKG. Foto: Dok/BMKG

BALI (SUARABARU.ID) – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendorong komunitas internasional untuk mempersempit kesenjangan gender dalam hal aksesibilitas sistem peringatan dini.

Menurutnya, isu ini sangat penting untuk diperjuangkan jika ingin mewujudkan peringatan dini untuk semua (early warning for all).

Hal tersebut disampaikan Dwikorita dalam Gender Conference yang dihelat bersamaan dengan “The Third Session of the Commission for Weather, Climate, Water and Related Environmental Services & Applications” (Sercom-3), diikuti oleh 139 peserta dari 94 negara secara hybrid.

Sercom-3 berlangsung pada 4-9 Maret 2024 di Bali International Convention Centre (BICC), Nusa Dua, Bali. Acara yang digelar bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional tersebut mengusung tema “Promoting Gender Equality and Women’s Empowerment and Leadership in climate issues and through the Early Warnings for All initiative”.

“Mitigasi kesenjangan gender ini mendesak untuk dilakukan sehubungan dengan derasnya arus perubahan iklim,” ungkap Dwikorita yang juga merupakan Wakil Tetap Indonesia untuk World Meteorological Organization (WMO) melalui keterangan tertulisnya, belum lama ini.

Dwikorita mengatakan, untuk mencapai keseimbangan dan inklusivitas gender, penting untuk memastikan bahwa perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan kelompok paling rentan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh akses yang equal terhadap early warning for all, tumbuh, dan menyumbangkan perspektif unik mereka kepada masyarakat.

“Kita harus memasukkan pengarusutamaan gender dalam semua aspek strategi, inisiatif, dan kegiatan WMO, terutama yang berkaitan dengan layanan dan infrastruktur, pada tingkat implementasi global, regional, dan nasional,” tuturnya.

Dwikorita menyampaikan, guna mewujudkan peringatan dini untuk semua (EW4ALL), sangat penting untuk menyadari bahwa perempuan memainkan peran penting dalam menjangkau kelompok yang paling rentan. Kemampuan dan perspektif unik perempuan memungkinkan mereka untuk secara efektif terlibat dan mendukung komunitas yang terpinggirkan selama masa krisis.

Di Indonesia sendiri, kata dia, populasi perempuan hampir mencapai setengah dari total penduduk, sementara populasi anak mencapai sepertiga dari total penduduk. Maka dari itu, penting untuk memastikan bahwa seluruh kelompok rentan tersebut dapat mengakses sistem peringatan dini untuk meminimalisir risiko akibat perubahan iklim, termasuk MHEWS (Multi-hazard Early Warning System).

“Kita perlu terus menutup kesenjangan antara perempuan, laki-laki, penyandang disabilitas, dan kelompok paling rentan, dalam hal tanggung jawab yang diberikan, kegiatan yang dilakukan, akses dan kontrol terhadap sumber daya, informasi, dan media, serta pemberdayaan mereka dalam pengambilan keputusan,” imbuhnya.

Dwikorita menekankan pentingnya strategi manajemen bencana yang proaktif dan upaya ketangguhan masyarakat untuk mereduksi potensi dampak bencana akibat perubahan iklim. Menurutnya, langkah-langkah pencegahan, respons darurat, dan pemulihan pasca bencana yang melibatkan perempuan dan anak menjadi sangat penting. Keterlibatan mereka dalam kajian risiko bencana, mitigasi, penyusunan rencana pemulihan, dan rehabilitasi membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil.

Sementara itu, Sekjen WMO Celeste Saulo menekankan bagaimana perempuan memainkan peran penting dalam sektor terkait cuaca dan iklim, sangat efektif dalam memobilisasi masyarakat saat terjadi bencana, dan berada di garis depan pemulihan. Namun, mereka sering kali menghadapi hambatan sistemik terhadap partisipasi penuh dan kepemimpinan.

“Dengan mendobrak hambatan tersebut, kita membuka potensi besar mereka (perempuan) untuk membangun masyarakat yang berketahanan,” tegasnya.

Ning S