blank

Oleh Djoko T. Purnomo

Sebagai netizen atau warga internet, kita dapat sering menemukan adanya hate speech atau ujaran kebencian bertebaran di berbagai platform media sosial internet seperti facebook, instagram, twitter dan lain sebagainya. Disamping itu kritik juga membanjiri media sosial kita.

Kritik dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Kritik merujuk pada pengertian tersebut dapat berupa ucapan atau tulisan yang merupakan pendapat sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang dianggap belum sesuai.

Kritik berupaya mengarah pada usul kebaikan akan suatu hal. Meskipun terkadang berbeda pendangan dan penilaian hingga memunculkan pertentangan. Namun kritik sejatinya berupaya mengarah pada sesuatu agar bisa lebih baik. Kritik juga tidak ada unsur hasutan dan ajakan agar tidak menyukai atau membenci sesuatu.

Sedangkan Ujaran Kebencian (hate speech) menurut Wikipedia adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnik, jender, cacat, orientasi seksual, warga negara, agama, dan lain-lain.

Makna ujaran kebencian merujuk pada konsep ini lebih mengarah pada ucapan atau tulisan yang sifatnya mengajak atau menghasut untuk membenci sesuatu. Konsepnya juga lebih jelas, yaitu ingin merendahkan objek yang dibenci. Dapat juga diartikan sebagai ejekan akan sesuatu. Ujaran Kebencian menunjukkan ketidaksukaan terhadap sesuatu dengan tujuan merendahkan. Ruang lingkupnya juga sudah jelas terkait dengan perbedaan yang sifatnya tidak umum seperti yang lainya. Tentang warna kulit misalnya yang berbeda dengan yang lainya hingga berujar merendahkan dan menimbulkan kebencian terhadapnya. Ujaran Kebencian tidak ada upaya untuk membangun atau mengarahkan objek kepada hal yang lebih baik.

Perlu diketahui bahwa setidaknya terdapat tiga klasifikasi ujaran kebencian, yaitu penyampaian pendapat yang harus diancam pidana; penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata; dan penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun namun dapat ditangani dengan pendekatan lainnya melalui kebijakan pemerintah.

Memaknai implementasi kritik dan ujaran kebencian yang sering terjadi di tengah masyarakat yang beragam latar belakangnya haruslah bijak. Pemerintah dan penegak hukum seyogyanya jangan membawa kepentingan dalam menyelesaikan permasalahan ini sehingga mempengaruhi objektifitas keputusan yang diambil. Kembalikan kepada konsep yang ada sehingga akan terlihat jelas antara kritik dan ujaran kebencian. Jangan malah sebaliknya, jika menguntungkan dianggap kritik dan jika merugikan dianggap ujaran kebencian meskipun kegiatanya sama atau sejenis.

Mengartikan kritik dan Ujaran Kebencian memang cukup sulit dan perlu ketelitaan dan pemikiran yang melihat persoalan tersebut dari berbagai prespektif. Secara sederhana kritik mengarahkan ke hal yang lebih baik tanpa ada tendensi kebencian. Sedangkan Ujaran Kebencian mengarah pada hasutan atau ajakan yang bertujuan untuk merendahkan dan membenci sesuatu.

Apa yang mendorong terjadinya ujaran kebencian dilihat dari berbagai sudut :
Pertama, ujaran kebencian bisa terjadi karena dalam pribadi netizen ada prasangka negatif kepada kelompok tertentu. Misalnya ada penilaian bahwa sebuah kelompok, agama, atau etnis tertentu tidak beradab, pelit, sangat ekslusif dan lain sebagainya. Oleh karena adanya prasangka tersebut, para netizen mendapati perasaan jijik terhadap kelompok lainnya, kondisi ini senantiasa mendorong mereka melontarkan ujaran kebencian.

Kedua, ujaran kebencian bisa jadi terjadi dari perilaku trolling. Orang yang berprilaku trolling ini berbeda dengan orang dengan prasangka buruk. Bahwa pelaku-pelaku ujaran kebencian dari kategori trolling ini tidak didorong oleh perasaan benci kepada kelompok tertentu. Melainkan, mereka melontarkan ujaran kebencian malah untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan pribadi.

“Jadi mereka itu (pelaku trolling) memperoleh kenikmatan dengan membuat orang lain susah….. (Dalam perilaku) trolling ini, mereka melakukan itu karena (hal) itu menyenangkan, itu menghibur bagi mereka. Jadi bukan karena mereka ingin memperoleh status yang lebih tinggi, bukan masalah uang atau bukan masalah apapun, (tapi) niatnya itu murni untuk menghibur diri mereka sendiri,”

Mengacu kepada keilmuan psikologi, para pelaku trolling tersebut diklasifikasikan kepada bentuk kepribadian sadism, dimana mereka memperoleh kesenangan dari kegiatan membuat orang menderita.

Ketiga, ujaran kebencian juga didorong oleh kondisi dalam dunia internet/maya memungkinkan seorang untuk mendapati anonimitas. Dengan kondisi anonimitas tersebut, seseorang akan menjadi lebih berani dan leluasa melontarkan ujaran kebencian. Oleh karena dapat anonim, maka para netizen lebih berani untuk dan lebih mungkin untuk menyampaikan pandangan dan perasaan mereka.

Terkait dengan pasal ujaran kebencian berupa penghinaan dapat dilihat dari buku , R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225), menerangkan bahwa terdapat enam macam tindak pidana penghinaan, yaitu: Menista (smaad); Menista dengan surat (smaadschrift); Memfitnah (laster); Penghinaan ringan (eenvoudige belediging); Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht); dan Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking).

Apa saja yang termasuk dalam ujaran kebencian? berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong.

Berbagai komentar negatif yang memojokkan kelompok di media sosial sebenarnya tidak bisa dikatakan ujaran kebencian. Akan tetapi, melalui dukungan analisis linguistik suatu ujaran bisa dibuktikan kebenarannya merupakan ujaran kebencian yang memiliki dampak hukum.

Mengenai contoh ujaran kebencian, dapat Anda simak dalam Putusan PN Stabat No. 451/Pid.Sus/2021/PN Stb. Dalam putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana diatur di dalam Pasal 16 jo. Pasal 4 huruf b ayat (2) UU 40/2008 dengan pidana penjara selama 1 bulan, dengan masa percobaan selama 3 bulan (hal. 28).

Hal ini karena terdakwa terbukti mengatakan “Hai Cina anjing, kontol, Cina pukimak” kepada saksi korban sebab emosi karena merasa keinginan terdakwa selaku kepala desa mewakili masyarakat tidak ditanggapi oleh saksi korban tidak suka, atau netral. Dari aspek psikologi, bahwa pendapat adalah ekspresi sikap dan terkadang mengekspresikan sikap itu kadangkala mengganggu orang lain. Ia melanjutkan tidak ada satu pun pasal yang melarang mengekspresikan sikap setuju dan tidak setuju

Pada akhir tulisan ini mari sama-sama kita sadari bahwa kita semua adalah manusia yang tidak sempurna sehingga diperlukan kritik yang sifatnya membangun guna perbaikan diri. Begitu juga dalam sebuah kelompok atau organisasi. Kebijakan menyampaikan kritik baik secara lisan maupun tulisan juga perlu diperhatikan. Jangan sampai kritik yang disampaikan malah ditanggapi sebagai bentuk ujaran kebencian yang dengan kepentingan tertentu, penyampai kritik dapat dipidanakan sebagai bentuk kesalahan.

Dengan demikian kesalahan menilai terhadap kritik dan ujaran kebencian tidak terjadi dan kelompok-kelompok tertentu juga jangan memanfaatkanya. Karena dengan kebebasan dalam berpendapat dengan bebasnya bersosial media bisa jadi demi kepentingan individu atau kelompok tertentu, kritik menjadi ujaran kebencian hingga menimbulkan konflik dan merugikan pihak-pihak tertentu

Referensi
1] Ahmad Budiman. Ujaran Kebencian dalam Perkembangan Demokrasi di Indonesia. Info Singkat: Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis, Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian DPR RI. Vol. XV, No. 8/II/PAK/April/2023, hal. 2
[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana