blank
Darwin Nunez mencungkil bola melewati kepala kiper Brentford, Mark Flekken. Foto: dailymail

blankOleh: Amir Machmud NS

// sesekali simaklah genderang perang/ akan kau dengar gempita tambur peremas sukma/ sesekali kau dengar pula lantun seni peradaban/ meniupkan gairah pertarungan//
(Sajak “Ekspresi Kompetisi”, Februari 2024)

SEPAK BOLA mengekspresikan tambur dinamis kegairahan; menyalakan hasrat bersaing; bersikutat membuktikan “kebenaran” pilihan jalan eksistensial; melantunkan musik kehidupan; menghadirkan pesona dari beragam seni ekspresi jiwa.

Segalanya seakan lengkap mengeram dalam bulat bola. Ada spirit perlawanan, ada sepoi lembut persaudaraan, ada intimidasi hati, ada intervensi rasa, pun ada luap seni yang membahasakan elok narasi-narasi.

Berjuta, dan berjuta. Dalam lembut kau bisa menemukan kegagahan, dalam gagah kau rasakanlah mengalir aurora kelembutan. Bukankah kau mengenal arogansi ala Jay Barton, Gennaro Gattuso, atau Zlatan Ibrahimovic? Tak kau rasakankah pancaran kekesatriaan ala Bryan Robson atau Paolo Di Canio? Keanggunan performa ala Franz Beckenbauer, Socrates, atau Paolo Maldini? Bisa pula terungkap kegilaan macam Eric Cantona, Paul Gascoigne, Edmundo, atau Luis Suarez. Pun ada kelembutan bintang sekaliber Lionel Messi atau Ricardo Kaka.

Hingga kompetisi liga-liga dunia bergulir untuk menyelesaikan musim, pada tahun ini, ekspresi-ekspresi seni memancar dalam terang cahaya. Genderang pertarungan bertalu-talu meronta di liga-liga dunia; eksplorasi seni tertuang tuntas mengekspresikan rasa; impresivitas mewujud dalam ungkapan totalitas bersepak bola.

Dan, sanggupkah kita menemukan pesan pencerahan di sana?

Seni, dan Seni
Di antara mata air seni yang mengalir, coba tandailah “kegilaan” striker Liverpool Darwin Nunez ketika mencetak gol pembuka dari kemenangan 4-1 atas Brentford di Liga Primer, pekan kemarin. Akankah kita melihatnya semata-mata sebagai “gol” dari proses reguler?

Penyelesaian gol gaya Nunez itu sampai membuat legenda Liverpool, Michael Owen mengulang-ulang menyaksikan. Nunez mencungkil bola melewati kepala kiper Mark Flekken dalam posisi satu lawan satu.

Owen menyebut ada kerumitan dalam cara berpikir Nunez sebagai seorang striker. Dalam kondisi skor masih 0-0, sewajarnya Nunez lebih memilih berpikir sederhana, yakni menempatkan bola ke pojok gawang atau melewati kiper terlebih dahulu. Eksekusi dengan “keisengan” men-chip bola, dalam gambaran Owen, hanya akan dipilih jika tim sudah unggul 2-0 atau 3-0.

Bukankah itu adalah ungkapan naluri seni? “Sungguh itu hal gila,” puji Owen.

Ya, bagaimana bisa terpikirkan menyelesaikan peluang dengan secara seperti itu? Seperti dulu, kita sering menyaksikan Ronaldo Luis Nazario memilih menerobos adangan dua pemain lawan ketimbang menggeser bola ke area yang lebih bebas.

Siapa pula yang tak ingat kenyentrikan Rene Higuita, “kiper gila” Kolombia yang lebih suka mengamankan gawangnya dengan gerakan kalajengking ketimbang penyelamatan yang normal? Juga kiper Jose Luis Chilavert yang memosisikan diri sebagai pengambil free kick utama untuk tim nasional Paraguay?

Semua lantaran dorongan seni. Hal yang tidak biasa menjadi luar biasa. Ekspresi Darwin Nunez justru muncul di tengah ketegangan berburu poin krusial. Sungguh, bukankah sepak bola menawarkan ungkapan-ungkapan kejeniusan dari ketidaklumrahan ide dan pikiran? Terkadang, para seniman bola memilih berpikir, “kalau bisa dibikin unik, mengapa harus disimplifikasi?”

Kita mengenal “pendekar gol” yang selugas Erling Halaand. Dengan cara-cara sederhana dia tampak kejam menghukum penjaga gawang lawan. Bandingkanlah, misalnya dengan “gaya gol puitis” Robin van Persie atau Thiery Henry pada masa jayanya. Gol kedua pemain ini merupakan kombinasi ide, presisi, naluri seni, instink membunuh, ketepatan waktu, dan positioning.

Dan, sekarang, ungkapan kejeniusan itu sering kita dapatkan dari gaya eksekusi Robert Lewandowski, Son Heung-min, Cristiano Ronaldo, Mohamed Salah, Vinicius Junior, atau Phil Foden.

Mereka mencahayai sepak bola sebagai pesona yang mencerahkan. Para peracik taktik mengandalkan seniman-seniman itu untuk mengarungi pertarungan ide, menaklukkan liga-liga, untuk menyisakan satu pasukan terbaik di pengujung musim. Dan, itulah hakikat dari puncak tujuan pengerahan sumberdaya yang dimiliki sebuah klub: dari deret pemain, kebrilianan pelatih, ekosistem klub, hingga infrastruktur yang memagari syarat berkompetisi.

Sejumlah liga arus utama masih menjadi semacam buku yang terbuka, belum terpastikan siapa yang akan menjadi “the last man standing” di pengujung kompetisi. Pernak-pernik peperangan masih mengetengahkan aneka keniscayaan.

Di tengah tambur yang masih bertalu, sudah ada “seniman” yang bakal meninggalkan gelanggang. Juergen Klopp tak akan lagi bersama Liverpool musim depan. Xavi Hernandez juga memilih pergi dari Camp Nou untuk tidak lagi mendampingi Barcelona. Dan, entahlah nanti apa yang akan terjadi dengan Mauricio Pochettino, Mikael Arteta, Eric ten Haag, atau empu-empu lainnya.

Industri sepak bola selalu berparameter profesional dalam aksen kapitalisme. Konsekuensinya, pencapaian seorang pelatih akan dikalkulasi dari produk akhir secara kuantitatif. Klopp dan Xavi boleh jadi berpikir dari standar kesenimanan: hati dan rasa lebih memahkota ketimbang ukuran capaian trofi.

Penikmatan penjiwaan sebagai bagian dari sebuah komunitas dan keluarga, lebih bermakna sebagai ungkapan seni dan cahaya pencerah. Segempita apa pun genderang perang memanggil dan menggoda…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah