blank
Pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong (pakai topi), memberikan arahan pada anak-anak asuhnya, usai melakukan latihan fisik di Antalya, Turki. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// kita bukan siapa-siapa/ o, tak beranikah menegaskan/ : kita adalah sesiapa?/ yang bertarung atas nama keyakinan/ tentang kekuatan/ tentang modal/ tentang masa depan…//
(Sajak “STY dan Garuda Kita”, 2023)

SAUDARA-SAUDARA, apa hubungan unggahan soal mi instan di media sosial dengan ikhtiar transformasi mental dan kultural sepak bola Indonesia?

Postingan Marselino Ferdinand tentang Witan Sulaeman yang sedang “mencuri-curi” memasak mi instan di tengah pemusatan latihan tim nasional Piala Asia 2024 di Turki, suka atau tidak suka adalah pukulan menyedihkan bagi proyek disiplin Shin Tae-yong.

Pelatih asal Korea Selatan itu, sejak menangani timnas pada 2020, ketat menerapkan disiplin pola makan. Gorengan dan mi instan — camilan kultural masyarakat kita — distop keras. Para pemain dibiasakan dengan standar menu gizi sehat atlet.

Maka ketika fokus mental sedang terarah ke Qatar, 12 Januari s.d 10 Februari 2024, rasanya sikap “curi-curi” itu merupakan bentuk pelanggaran serius.

Sesederhana itukah para pemain memaknai transformasi profesionalitas yang ditegakkan coach STY?

“Grup Gila”
Padahal, bukankah timnas menghadapi tantangan yang tidak tanggung-tanggung: “grup gila” Piala Asia?

Bagaimana tidak “gila”? Dua tim kelas atas Asia: Jepang sebagai kekuatan utama Asia Timur, dan Irak salah satu ikon Asia Barat, tergabung di satu grup.

Dua lainnya di Grup D adalah raksasa Asia Tenggara, Vietnam, dan Indonesia yang sedang memperjuangkan eksistensi di kawasan regionalnya.

Logikanya, dua tiket ke 16 besar terpatok untuk Jepang dan Irak. Vietnam dan Indonesia menunggu keberuntungan: siapa tahu satu dari dua tim unggulan itu terpeleset? Pembuktian siapa lebih baik, Garuda dan Golden Stars juga bakal menjadi warna sengit grup ini.

Rivalitas khusus Indonesia vs Vietnam melanjutkan perseteruan yang dipersubur oleh aneka pemicu. Walaupun memberi perlawanan sengit, sejak 2020 tim racikan coach Shin Tae-yong masih sulit membangun keunggulan atas Vietnam, baik ketika masih diarsiteki Park Hang-seo, maupun setelah dipegang Philippe Troussier.

Realitas Vs Pembuktian
Sejak menangani timnas Indonesia, catatan kualitatif Shin Tae-yong terutama untuk medali emas SEA Games dan trofi Piala AFF, belum terpenuhi.

Pelatih yang membawa sensasi Korea Selatan menggulingkan Jerman 2-0 di Piala Dunia 2018 itu, baru membenahi sisi kultural berupa karakter, kesiapan fisik, pola makan, dan konfidensi kenaikan peringkat dunia dari sejumlah FIFA matchday.

Dia mengukir catatan impresif: meloloskan tim U23 dan tim senior ke putaran final Piala Asia.

STY mentransformasikan karakter, namun belum medali dan gelar.

Sejumlah gelar formal malah dipersembahkan oleh pelatih lokal: Indra Syafri di SEA Games 2023, dan trofi Piala AFF U17 lewat Fakhri Husaini.

Di Piala Asia nanti, bicara trofi tentu bukan angan yang realistis, walaupun sepak bola bukan matematika. Yang paling patut adalah “berjuang lolos dari babak grup”, karena kenyataan lawan-lawan yang memang berada di level atas Asia.

Dari tiga calon lawan di Grup D, yang paling mungkin adalah memetik angka penuh dari Vietnam. Itu menjadi “target wajib”, meskipun STY punya rekor buruk melawan tim ini.

Menghadapi Irak dan Jepang, coach STY boleh saja berpikiran seperti ketika Korea mengalahkan Jerman di Rusia 2018, walaupun konstelasinya jelas berbeda. Bisa meraih poin, artinya mendapat satu angka adalah pilihan target paling wajar.

Perbaikan-perbaikan
Perbaikan performa yang diharapkan bukannya tidak ada. Hanya, ketika produk perubahan itu dipertanyakan ketika kalah 1-5 dari Irak dan seri 1-1 melawan Filipina di ajang Pra-Piala Dunia, apa yang bisa diandalkan di Qatar nanti?

Dalam evaluasi sementara, “fasilitas mewah” STY dari program naturalisasi pemain baru dalam tahap membuncahkan gebyar, belum menghadirkan performa.

Pelatih Irak Jesus Casas yang mengalahkan Garuda 5-1 pun mengingatkan, keberlimpahan pemain naturalisasi itu seharusnya meningkatkan performa tim Indonesia sebagai kekuatan yang disegani.

Catatlah: Jordi Amat, Elkan Baggot, Marc Klok, Shayne Pattinama, Rafael Struick, Ivar Jenner, Justin Hubner, dan Sandy Walsh; mereka punya kapasitas untuk memperkuat pilar-pilar domestik seperti Rizky Ridho, Asnawi Mangkualam, Pratama Arhan, Ricky Kambuaya, Rachmat Irianto, Marselino Ferdinand, Saddil Ramdani, Witan Sulaeman, Egy Maulana Vikri, dan Ramadan Sananta.

Jadi kurang apakah ketercukupan fasilitas materi pemain dari sisi ini?

Kalaupun akumulasi pemain cedera menjadi justifikasi celah tim ketika dikalahkan Irak 1-5, maka pasukan yang beraklimatisasi di Antalya, Turki sebelum menuju Qatar itu diharapkan menampilkan kekuatan yang berbeda.

Alur permainan pendek – cepat yang merupakan “core of power” sepak bola Indonesia, dalam racikan taktik coach STY, tentu kita harapkan bisa tuntas tertuang di Piala Asia nanti.

Janganlah sampai pada kesimpulan yang satiris, bahwa pelatih kelas dunia dari mana pun takkan ada yang mampu membawa timnas Indonesia keluar dari barrier klasik: masalah mental dan kulturalnya.

Tentu menyedihkan bukan, ketika ikhtiar profesional penegakan disiplin masih “disiasati” pemain dalam bentuk mendasar: mencuri-curi makan mi instan?

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah