Mbah Coro ketika membuka dialog budaya hari ini. Foto: eko

KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID) – Dialog budaya dan pentas seni dalam rangka pra kegiatan 22 tahun Ruwat Rawat Borobudur sebagai warisan budaya dunia digelar di Balaidesa Kenalan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, hari ini (Rabu 13/12/23).

Desa Kenalan berada di perbukitan Menoreh yang berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, sekitar 14 kilometer dari Candi Borobudur.

Pemrakarsa Ruwat Rawat Borobudur, Sucoro Setrodiharjo atau Mbah Coro ketika memulai acara tersebut mengatakan, menurut sejarah, dahulu Candi Borobudur berada di tengah danau purba. “Candi Borobudur yang merupakan bagian dari tujuh keajaiban dunia pasti ada yang membuat. Saat membuat, kalau ada yang sakit, ketika itu tidak ada dokter,” katanya.

Lalu dia mengajak peserta untuk bernyanyi bersama sebuah lagu Pramuka siapa yang punya. Tetapi syairnya diganti: Borobudur siapa yang punya. Syairnya menjadi: Borobudur siapa yang punya, Borobudur siapa yang punya, Borobudur siapa yang punya, yang punya kita semua. Lagu itu diulang tiga kali.

Kepala Desa Agus Waluyo mengatakan, Candi Borobudur merupakan warisan budaya yang mendunia. Warga Desa Kenalan ikut merawat bersama. “Bagaimana manfaat bagi kita ?. Selama ini manfaatnya belum bisa dirasakan warga Kenalan,” katanya.

Warga setempat, Supardi, ketika diminta komentarnya mengatakan, selama ini manfaat Candi Borobudur bisa untuk berjualan produk unggulan oleh pedagang yang berasal dari mana-mana. Harapan dia manfaatnya bisa dirasakan masyarakat di sekitarnya. Desa Kenalan sebenarnya memiliki objek wisata Gondopurowangi. Kendalanya, mobil wisata seperti VW belum bisa parkir di objek wisata tersebut.

Warga lain, Teguh, mengatakan, Desa Kenalan banyak potensi usahanya dan ada olahan ketela. Ada 170 pengolah ketela pohon skala lokalan, belum produktif. Ada juga anyaman pandan tikar yang penjualannya masih lokalan. Tikar ukuran panjang lima meter hanya seharga Rp 70 ribu.

Batik tradisional Desa Kenalan dipamerkan dalam dialog budaya hari ini. Foto: eko

Selain itu potensi jamu tradisional juga banyak yang belum dirawat. Ada jahe, kunyit, temulawak, temugiring dan lainnya. Batik tulis juga masih kembang kempis.

Sutoto warga setempat mengatakan, untuk naik ke Candi Borobudur dahulu gratis, sekarang ada tarifnya. “Masyarakat Desa Kenalan yang kangen Borobudur tidak memungkinkan ke sana,” keluhnya.

Ditambahkan, di sekitar Borobudur ada desa wisata. Sementara Desa Kenalan masih ketinggalan. Di desa itu ada berbagai potensi, tetapi kondisi jalannya sulit dan daya tariknya kurang. “Memang ada beberapa seni budaya seperti Rebana dan Jatilan. Itu semua belum bisa produktif. Kendalanya karena sumber daya manusia atau pelakunya sudah banyak yang tua, upaya regenerasi masih kurang,” ujarnya.

Sebagai contoh, seni karawitan, belum punya pembimbing.
“Kawula mudanya belum banyak yang tertarik,” katanya.

Acara diskusi budaya dengan topik: Marwah Air dalam Kehidupan itu menghadirkan narasumber Prof Muji Susanto, Dr Budiana Setiawan, Dr Wiliem Chan, Novita Siswayanti dan Wardi dari Brin. Selain itu
Sri Wahyuningsih dari Sekolah Air Hujan Banyubening, Sleman, Yogyakarta.

Sri Wahyuningsih dalam acara itu mengatakan, air hujan di tempat dia untuk minum seperti wedang rempah dan lainnya. Dia prihatin warga Desa Kenalan tidak bisa ke Candi Borobudur. Menurut dia, bagaimana bisa menciptakan ikon sendiri, seperti di desa itu ada banyu rempah yang enak rasanya.

“Kalau mau belajar tentang air hujan datanglah ke tempat kami. Bagaimana bisa menjaga lingkungan dan kearifan lokal yang ada di sini. Misalnya setiap pagi ada orang ngarit rumput. Jangan jadi penontonnya penonton Borobudur saja,” katanya.

Eko Priyono