Keadaan ini, disadari tidak sehat buat KPK. Kalau ada urusan perilaku, etika dan kelemahan tak ada yang dapat memantau dan mengawasinya. Tak ada yang bisa mengoreksinya. Maka dibentuklah Dewan Pengawas KPK.

Sejak dibentuknya Dewan Pengawas KPK, terbukti, KPK pun tidak sesempurna dibayangkan umum. Ditemukan, baik personilnya maupun sistemnya, masih ada yang perlu diawasi dan dikoreksi.

Setidaknya, sejak adanya Dewan Pengawas KPK, lembaga pemberantasan korupsi ini lebih hati-hati dan lebih profesional. Hal ini lantaran setiap penyimpangan kini sudah  dapat “dipelototi” Dewan Pengawas.

Dengan kata lain, hadirnya Dewan Pengawas KPK, memberikan efek positif bagi KPK sendiri. Selain KPK tak lagi jadi “superbodi, ” pengawasan terhadap KPK membuat KPK lebih dipercaya. KPK tak lagi menjadi lembaga “raja tanpa kesalahan,” sekaligus membumikan lembaganya.

Posisi Dewan Pers

Kemerdekaan pers harus dilindungi. Ini jelas benar. Pers harus independen. Itu pun benar. Ruang redaksi harus bebas dari intervensi pihak ketiga manapun. Ini juga tak salah.

Oleh karena itu, pers memiliki Dewan Pers yang kuat, yang independen dan memiliki mekanisme swaregulasi. Sampai sini  tak ada yang keliru. Benar semua adanya.

Pertanyaaannya: apakah Dewan Pers merupakan lembaga “suci “ yang tak mungkin dapat berbuat salah? Apakah Dewan Pers suatu saat pada suatu kasus tidak mungkin miss manajemen? Apakah Dewan Pers pasti terhindari dari problem-problem pelik dirinya? Bagaimana jika ada anggota Dewan Pers

memiliki perilaku yang menyimpang atau tidak sesuai dengan statuta Dewan Pers dan kepatuhan dalam masyarakat pers?

Selama ini,  tidak ada yang dapat menditeksi. Tak pernah ada pemantauan, pengawasan dan pemeriksaan terhadap Dewan Pers. Jadilah Dewan  Pers semacam “superbodi” yang masih tersisa.

Padahal dari pengalaman dan pengelihatan penulis, Dewan Pers  pun memiliki beberapa hal yang perlu kehadiran lembaga pemantau, pemeriksa dan pemutus terhadap urusan internal Dewan Pers.

Pada zaman saya menjadi anggota Dewan Pers, sempat gaduh soal “saham garuda.” Ditenggarai urusan saham maskapai Garuda yang waktu itu mau IPO juga mencipratkan soal ke Dewan Pers.

Saya sendiri ketika itu sebenarnya mau “ngotot” menuntaskan persoalan ini: ada masalah terkait dengan  IPO saham Garuda  atau tidak Dewan Pers? Tapi tidak ada mekanisme yang melibatkan lembaga pengawas Dewan Pers. Kasus ini  pun lenyap begitu saja.

Sewaktu ketua Dewan Pers dijabat Azyumardi Azra meninggal dunia, sempat  muncul masalah, siapa penggantinya sebagai ketua, dan siapa penggantinya sebagai anggota.

Statuta menegaskan, anggota yang meninggal diganti dengan nomer urut berikutnya dari unsur yang sama. Sedangkan jabatan ketua, meskipun tidak diatur di statuta, berlaju konvensi “ketua Dewan Pers tidak berasal dari lingkungan pers tapi dari tokoh masyarakat.”

Keadaan ini sempat menimbuklkan silang sengketa di masyarakat pers, ternasuk di internal Dewan Pers. Problem ini lalu diselesaikan melalui “kesepakatan konstituen Dewan Pers” sampai terpilih ketua baru dan anggota baru.

Jika ada lembaga yang memantau, mengawasi dan memeriksa di Dewan Pers, boleh jadi kasus ini dapat segera dituntaskan dengan cepat sesuai dengan Statuta.

Badan Pertimbangan

Sejatinya dalam statuta Dewan Pers sudah ada lembaga yang “memantau”  dan mengawasi mekanisme  dan tata laksana Dewan Pers, termasuk memberikan pendapat, solusi dan sanksi-sanksinya.

Manakala saya menjadi anggota Dewan Pers priode pertama, sayalah orang yang “memasukan” adanya lembaga semacam ini. Namanya Badan Pertimbangan. Dan semua anggota waktu itu dengan suara bulat sepakat dan mendukung pembentukan serta pencantuman Badan Pertimbangan Dewan Pers di Statuta Dewan Pers.

Pada era Dewan Pers dipimpinan Prof. Bagir Manan sebagai ketua, pelaksanaan pembentukan lembaga ini sudah mulai didiskusikan. Saat itu sudah dirasakan perlu sebuah lembaga yang dapat memantau Dewan Pers, tetapi lembaga itu harus independen, di samping tentu berkualitas.

Sayangnya,  belum sempat lembaga ini terwujud, priode Pak Bagir Manan sudah berakhir lebih dahulu.

Pada era Stenly, tak ada kabar berita sama sekali soal proses pembentukan Badan Pertimbangan Dewan Pers. Boleh jadi kelahiran Badan Pertimbangan Dewan Pers pada saat itu dipandang bukan prioritas utama Dewan Pers.

Barulah pada era kepemimpinan Dewan Pers di bawah Prof. Azumardy Azra, Badan Pertimbangan ingin segera diwujudkan. Azumardy sudah berdiskusi  dan konsultasi dengan banyak pihak, termasuk dengan saya, soal pembentukan Badan Pertimbangan Dewan Pers ini.

Dia bertekad secepatnya membidani kelahiran Badan Pertimbangan Dewan Pers. Almarhum merasa butuh adanya badan ini.

Calon anggotanya, lengkap dengan ketua dan sekretarisnya, sudah disusun. Bahkan beliau sudah mempersiapkan draf SK untuk memperlakukan Badan Pertimbangan.

Tapi sejarah berkata lain. Belum sempat dokumen-dokumen itu ditandatangani, Azumardy telah lebih dahulu dipanggil oleh Sang Mahapencipta manakala  sedang berkunjung ke Malaysia. Badan Pertimbangan Dewan Pers pun urung lahir.

Pergeseran Makna

Badan Pertimbangan Dewan Pers mengalami berbagai perubahan makna. Ketika awal saya ikut mengusulkan dan membentuk  Badan Pertimbangan ini serta mencantumkannya di Statuta Dewan Pers, awalnya dimaksudkan untuk mengawasi memeriksa dan memutuskan persoalan etik yang mungkin terjadi di lingkungan Dewan Pers.

Keputusannya berupa rekomendasi ke Dewan Pers serta para pihak yang terkait. Dengan demikian, berbagai persoalan yang ada di Dewan Pers tidak perlu dibawa keluar Dewan Pers, melainkan cukup diperiksa oleh Badan Pertimbangan Dewan Pers.

Masalahnya, belum lagi lembaga ini terbentuk, fungsinya dalam statu sudah bergeser.  Tahun 2016, tak ada catatan yang jelas mengapa, pada perubahan Statuta Dewan Pers tahun itu, Badan Pertimbangan “dikerdilkan” hanya  sebagai lembaga pemberi nasehat saja.