Oleh Marjono
TIDAK usah bersenang-senang di awal, jika beberapa waktu silam, Mas Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi sangat permisif atas kelulusan mahasiswa. Tak perlu sedih juga, jika yang mau lulus kuliah telah, sedang dan akan membuat skripsi. Ini hanya perkara pilihan saja bagi mahasiswa dan utamanya kebijakan lokal kampus menghadapi regulasi dari Jakarta.
Isunya bukan soal bikin skripsi itu komoditas lama atau baru. Tapi kemudian, kebijakan Mas Menteri seolah mendua, ambigu. Antara wajib dan tidak wajib. Dalam kamus lainya, mungkin kebijakan tersebut secara implisit membawa arus muatan gegeran dulu, gergeran kemudian. Pro dan kontra lalu-lalang.
Kala ada yang gampang, mengapa kita fokus pada soalan yang tak mudah-mudah juga. Jika demikian seorang penebang pohon dengan durasi 10 jam, hanya butuh waktu dua jam untuk menumbangkan pohon itu, dan jika delapan jam sebelumnya dimanfaatkan untuk menyiapkan dengan baik, seperti mengasah parang agar kualitas tebasannya jauh lebih baik. Maka kemudian, yang namanya prepare itu, saat ini barangkali tak dibutuhkan lagi. Cukup hore dan menjadi pasukan tepuk belaka.
Menurut hemat penulis, skripsi masih perlu, sebagai ilustrasi struktur kerangka berpikir mahasiswa dalam memecahkan satu problema penelitiannya. Atau sekurangnya melalui penyusunan skripsi, mahasiswa bisa mendokumentasikan alur nalar publik bahkan sebaliknya di luar nalar publik maupun logika ilmiah. Barangkali tak ada ruginya jika pilihannya tetap menulis skripsi.
Karena skripsi dalam bentuk narasi tulisan (softfile dan hardfile) menjadi dokumentasi abadi, sewaktu-waktu kita dapat menarik kembali tentang konsep atau pengetahuan maupun hasil riset yang barangkali jika masih relevan untuk turut menyelesaikan PR bangsa. Bahkan sekarang model skripsi yang mungkin saja banyak menuangkan angka-angka kuantitatif bisa diubah menjadi paraphrase (narasi tekstual yang mudah dipahami dan informatif bagi khalayak). Inilah transfer pengetahuan, skill dan sikap kita atas negeri yang bernama Indonesia.