blank
Salah satu gambaran pada materi Webinar Nasional yang diselenggarakan SCU. Foto: riyan

SEMARANG (SUARABARU.ID)- Kepala Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL), Dr Florentinus Budi Setiawan ST MT mengatakan, krisis air terjadi, ketika kebutuhan akan sumber air lebih tinggi dari tingkat ketersediaan. Pertumbuhan populasi dan perubahan iklim, menambah tekanan pada terbatasnya pasokan air.

Hal itu seperti yang disampaikannya kepada sejumlah awak media, sesaat sebelum pelaksanaan Webinar Nasional dengan tema ‘Strengthening Sustainable Water Resources to Support Quality of Live Improvement’, di Kampus Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, Rabu (25/10/2023).

Tampil sebagai narasumber pada acara yang digelar Program Doktor Ilmu Lingkungan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Lingkungan, SCU Semarang ini adalah, Alexander Aur SS MHum (Dosen Universitas Pelita Harapan, Jakarta/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan SCU).

BACA JUGA: Sunscreen Azarine Raih Penghargaan Top Halal Award 2023

Ada juga Purwanta ST (BBWS Pemali-Juana/Kementerian PUPR) dan Prof Dr Ignasius Dwi Atmana Sutapa MSc (Vice Chairman of UNESCO IHP IX On Ecohydrology and Water Quality/Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Lingkungan SCU).

Dalam kesempatan itu, Dr Budi juga menyampaikan, air selalu dianggap sebagai sumber daya terbarukan, karena Indonesia selalu mengalami musim hujan setiap tahunnya. Namun dalam beberapa tahun terakhir, curah hujan di Pulau Jawa cenderung menurun. Peningkatan suhu, penguapan, atau penguapan air yang tinggi, menyebabkan defisit air.

”Belum lagi faktor antropogenik, yang semakin memperparah krisis air saat ini. Di negara berkembang seperti Indonesia, limbah industri dibuang ke perairan tanpa pengolahan, sehingga menimbulkan polusi, dan mengancam akses terhadap air minum, ketahanan pangan, dan kesehatan secara keseluruhan,” terang dia.

BACA JUGA: Sambut Hari Sumpah Pemuda, SMP Kristen Satya Wacana Gelar Lomba Kebahasaan dan Seni

Menurutnya, beberapa pemicu krisis air yakni, perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, hingga konversi lahan. Selain itu juga, adanya industri dan rumah tangga yang mengambil air dalam skala besar, bahkan mengubah penggunaan lahan, dan menyebabkan pencemaran air. Hal ini akan terus menurun, hingga mencapai titik kritis.

Ditambahkan dia, potensi krisis air terjadi akibat masyarakat tidak bijaksana dalam menggunakan sumber air, dan tidak meratanya distribusi air. Sebagian warga mengambil air tanah melalui sumur bor. Selain merusak air tanah, hal ini juga menyebabkan ketersediaan air semakin berkurang, akibat ekstraksi yang tidak terkendali.

”Untuk itu, pemerintah sedang membangun sistem penyediaan air minum dan pembangunan bendungan di sejumlah wilayah, terutama di Pulau Jawa. Kemungkinan terjadinya krisis di Pulau Jawa, juga yang mendorong wacana pemindahan ibu kota, guna mengurangi beban di Pulau Jawa,” ulas Dr Budi.

BACA JUGA: Sambut Hari Sumpah Pemuda, SMP Kristen Satya Wacana Gelar Lomba Kebahasaan dan Seni

Diterangkan juga, upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga dan melestarikan ketersediaan air bersih di antaranya, melaksanakan program penghematan air di lingkungan sekitar, agar penggunaan air tetap efisien dan menjaga ketersediaan sumber daya air.

Langkah berikutnya, membuat tempat penampungan air seperti waduk, bendungan dan danau, untuk menjaga keberadaan air guna memenuhi kebutuhan hidup.

”Hal yang tidak kalah pentingnya, menciptakan teknologi yang dapat mendaur ulang air. Gerakan mengumpulkan dan mengelola limbah pabrik dan rumah tangga, serta perilaku tidak membuang sampah atau limbah ke sungai, juga patut diapresiasi,” tukas dia.

Riyan