Oleh: Amir Machmud NS
// raciklah irama serancak orkestrasi bunyi/ ia akan menghasilkan melodi/ suntiklah dengan ideologi/ ia akan menghadirkan kesetiaan/ pada elok rasa dan indah hati/ tunggulah waktu/ yang akan membawa rindu/ mengharu-biru…//
(Sajak “Sepak Bola Indah”, 2023)
PERCAYAKAH Anda, sepak bola indah adalah produk kreatif perputaran siklus? Dia romantisme yang tak sembarang ditemui pada setiap musim; bahkan dengan kendali para genius yang punya jejak reputasi untuk menyajikan eksotika dari wayang-wayang yang mereka mainkan.
Bukankah kini Pep Guardiola tak sepenuhnya menghadirkan sepak bola seni di Manchester City? “Muridnya”, Xavi Hernandez yang gilang-gemilang mentransformasi tiki-taka saat menukangi Al Sadd di Liga Qatar, belum pula menghasilkan simfoni estetis di Camp Nou, seelok masa emas Barcelona.
Lalu siapa? Juergen Klopp-kah, Mikael Arteta, Eddie Howe, atau nama baru yang mencuat: Roberto De Zerbi?
Pep dengan “pasukan exellent” memang membentuk The Citizens sebagai tim yang siap menguasai Inggris, Eropa, dan dunia. Akan tetapi, setarakah perfeksionitas permainan Kevin de Bruyne dkk dengan keindahan Barcelona pada masa-masa emasnya?
Barca 2007-2012 boleh dibilang sebagai “karya agung sepak bola indah”. Pep sukses meraciknya sebagai padu padan kemampuan para pesepak bola unggul menjadi melodi nan elok “merak ati”.
Masa-masa emas Blaugrana memang bergelimang cahaya bintang. Dengan sederet nama fantastis seperti Ronaldinho, Deco, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Lionel Messi, Sergio Busquets, Carles Puyol, Dani Alves, David Villa, Gerard Pique, Jordi Alba, juga Cesc Fabregas dan Pedro Gonzales, kejayaan itu masih berlanjut ketika sederet pelatih menjadi suksesor, yang berpuncak ke pengulangan treble di era manajer Luis Enrique pada 2014-2015.
City-nya Pep
Pada 2013, Pep mengusung gaya sepak bola indahnya yang posesif — menekankan dominasi penguasaan bola — ke Bayern Muenchen, namun tidak maksimal menjadi filosofi yang memberi kejayaan Eropa. Rupanya, ada penghayatan karakter yang tak bisa dipertemukan secara kultural di Bundesliga.
Di Manchester City, sejak 2016, dia membangun tim dengan keleluasaan rekrutmen bintang-bintang yang dia butuhkan. Dan, baru pada musim 2022-2023 menghasilkan trofi Eropa dalam romantisme treble yang akan selalu dikenang dalam kebesaran sejarah klub.
Hanya, apabila ditanya apakah City versi Pep memainkan sepak bola secantik Barcelona produk kejeniusannya, saya memilih menyimpulkan, “Tak semudah itu menjajari performa Barca pada masanya, ketika gairah, keindahan, dan kekuatan filosofi disatukan oleh kejeniusan menjadi ideologi…”
Maka, ketika City yang seperkasa itu pun tak bisa dibilang menghadirkan eksotika yang artistik, klub mana pula yang menjadi alternatif untuk menyimak aplikasi keindahan skematika di kanvas permainan?
Atau memang sepak bola indah tak bisa dijamin muncul dalam siklus waktu tertentu?
Sejak musim kemarin, dari “pemagangan” di Liga Qatar, Xavi Hernandes membawa Barcelona dalam pemulihan tradisi kemenangan di La Liga, namun “Barca Xavi” masih jauh dari sepak bola merangsang dengan gairah tiki-taka. Padahal sejatinya, filosofi ini melekat dalam penjiwaan pelatih yang berjejuluk “The Puppet Master” itu. Xavi pernah disebut-sebut sebagai sosok yang sangat memahami sepak bola indah itu.
Kalau dulu, Pep membawa Barca dalam sikap “menang saja tak cukup, melainkan harus dengan cara indah”, kini Xavi masih bergerak di level “kulit” – “apa pun, yang penting menang dulu”. Mindset yang agaknya juga ditempuh Pep dalam petualangannya di Liga Primer.
Pendekatan berbeda ditempuh dua pelatih di Liga Primer, yakni Mikael Arteta yang menukangi Arsenal, dan Roberto De Zerbi yang mengarsiteki Brighton Hove and Albion. Arteta membawa Meriam London ke mode bermain rancak nan indah, sedangkan De Zerbi memadukan gairah dan kecepatan bermain The Seagull yang merepotkan konsolidasi setiap lawan.
Di samping Eddie Howe yang mengawal kebangkitan Newcastle United, nama lain yang kini mencuat adalah Ange Pastecoglou. Arsitek asal Australia yang kini membawa Tottenham Hotspur ke pucuk klasemen ini mendoktrin timnya dengan spartanitas permainan menyerang.
Tanpa kapten dan bintangnya, Harry Kane yang hijrah ke Bayern Muenchen, Spurs dia bentuk menjadi kekuatan konsisten dengan permainan cepat, di bawah kepemimpinan Son Heung-min, mesin gol asal Korea yang semakin matang.
Haruskah kita menunggu raihan trofi liga Arsenal bersama Arteta untuk mengklaim kembalinya sepak bola indah? Atau Pep akan memformulasikan City perlahan-perlahan menjadi kekuatan eksotis?
Lalu Barcelona, akankah seniman sekelas Xavi mandek pada kemenangan-kemenangan yang tanpa menyajikan kembali eksepsionalitas cara bermain bola?
Pada akhirnya, elok sepak bola indah adalah kerinduan. Seni cantik menyajikan skema taktik adalah kejeniusan. Pertunjukan karakter para aktor hebat adalah “bahasa ideologis” yang mengalir sebagai darah dalam nadi sepak bola.
Akankah dalam sisa hari-harinya Pep mewujudkan tontonan yang berbeda? Atau musim ini sang penguasa panggung itu adalah Mikael Arteta?
Inilah siklus pergulatan tesis, antitesis, dan sintesis yang menandai perjalanan sepak bola indah sejak Brazil 1970, Belanda 1974, Brazil 1982, Brazil 1986, dan Spanyol 2012.
Catat pula sederet “klub indah” dari Ajax-nya Rinus Michels, Sao Paulo-nya Tele Santana, AC Milan-nya Arrigo Saccho dan Fabio Capello, Arsenal-nya Arsene Wenger, hingga Barcelona-nya Pep Guardiola.
Makin ditunggu, waktu makin membawa rindu mengharu-biru…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —