blank
Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah bersama Dinas Pendidikan Kota Semarang menggelar uji keterbacaan buku cerita anak dwibahasa Jawa-Indonesia bergambar. Foto: Dok/BBPJT

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) bersama Dinas Pendidikan Kota Semarang menggelar uji keterbacaan buku cerita anak dwibahasa Jawa-Indonesia bergambar di Hotel Amaris, Jalan Pemuda Semarang, belum lama ini.

Sebanyak 53 siswa dan 14 guru sekolah dasar di Kota Semarang dilibatkan dalam kegiatan uji keterbacaan tersebut. Kegiatan sendiri dilakukan untuk mengetahui tingkat keterbacaan buku yang dihasilkan komunitas-komunitas penulis di Jawa Tengah yang telah dinyatakan lolos dalam kegiatan seleksi buku cerita anak dwibahasa Jawa-Indonesia bergambar tahun 2023.

Dengan bimbingan dua narasumber, Dr. Heru Kurniawan dan Ginung Yogi Swastiko, serta para guru pendamping, peserta membaca dan mendiskusikan buku cerita terbitan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah ini.

Menurut Dr. Heru Kurniawan, bahwa instrumen uji keterbacaan mencakup pengujian ilustrasi, cerita, jenis huruf, dan tampilan buku secara keseluruhan.

“Sebagian besar peserta uji keterbacaan menyatakan bahwa buku terbitan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah tersebut sangat menarik bagi siswa, mengundang ketertarikan siswa, karena menampilkan cerita dalam dua bahasa (Jawa dan Indonesia), memiliki kualitas gambar yang bagus, mengangkat cerita yang beragam, dan alur cerita sesuai dengan kemampuan baca siswa sekolah dasar usia enam hingga delapan tahun,” ujar Heru, yang juga dosen UIN Saizu Purwokerto.

Heru berharap kegiatan ini menjadi alat ukur yang berguna bagi penerbitan produk Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah pada masa mendatang.

“Hasil uji keterbacaan buku cerita anak dwibahasa Jawa-Indonesia bergambar akan digunakan untuk bahan evaluasi penyelenggaran penulisan penerjemahan pada tahun 2023 dan perencanaan kegiatan yang sama pada tahun 2024,” jelasnya.

Gilbert (8) siswa SD Marsudirini Kota Semarang, menceritakan kembali buku cerita yang telah dibacanya di depan kelas. Buku cerita tersebut berjudul ‘Cukup Opo Ora’ (cukup atau tidak) yang ditulis oleh Dwi Astutik dkk.

Gilbert menceritakan ulang bagaimana Menik mengunjungi festival dhugdheran dan kirab warak ngendhog, tetapi sang Ibu lupa memberinya uang saku. Menik berinisiatif memecahkan celengan karena dia hanya memiliki uang 5.000 rupiah.

Dia mengambil selembar uang Rp50 ribu dan berangkat ke festival dhugdheran. Bersama teman-temannya ia menyaksikan maskot dhugdheran berupa warak ngendhog, hewan berkaki empat yang memiliki badan berwujud kambing dan berkepala naga. Dia lantas membeli mainan berupa mobil-mobilan, boneka warak ngendhog, dan seperangkat teko dan cangkir mainan seharga Rp50 ribu.

Kemudian dia berhitung, sisa uang Rp5.000 dia belikan jus buah. Dia bahagia bisa mengunjungi festival bersama teman-temannya.

Cerita yang dibawakan Gilbert merupakan upaya menceritakan kembali buku cerita yang telah dia baca, sebagai bagian dari kegiatan uji keterbacaan buku cerita anak dwibahasa Jawa-Indonesia bergambar yang diselenggarakan BBPJT.

 

Ning S