blank
Ilustrasi. Reka: wied SB.ID

blankSUATU hari datang pembaca buku yang juga aktif disuatu aliran beladiri. Selain ingin kenal, juga ingin mempertahankan keyakinannya bahwa fungsi dari amalan rohani, seperti mantra, doa, wirid, asma, dsb, itu tidak lebih dari media penghantar keyakinan saja.

Dia menunjuk beberapa perguruan beladiri yang tidak mengajarkan hal-hal yang bersifat metafisik, namun pada kenyataannya mereka juga mampu memperagakan atraksi tenaga dalam yang spektakuler.

Tamu itu mengutip pendapat yang pernah saya tulis di media cetak,  yang intinya ketika seseorang sudah bangkit rasa percaya dirinya, itu adalah proses awal bangkit daya linuwihnya.

Kesimpulannya, posisi mantra, amalan-amalan, dsb itu menjadi tidak berfungsi seseorang telah mencapai tahap yakin. Dan dalam hal-hal  tertentu, pendapat itu ada benarnya juga. Dan apa yang saya ungkapan ini berdasar atas pengalaman pribadi saat melakukan uji coba.

Misalnya, saat demo bergulir pada hamparan duri salak. Dulu, awal kali belajar dengan guru, sebelum melakukan itu oleh guru saya dan kawan-kawan menjalankan laku batin, puasa dan membaca mantra kombinasi Jawa – Arab.

Namun ketika jenis demontrasi yang terkesan ngeri-ngeri sedap itu  saya amati sehingga  duri salak yang panjang dan berjajar rapat dengan bagian ujung yang tidak mengarah satu arah.

Bagi saya dan kawan-kawan bergulir pada hamparan duri itu,  tidak membahayakan, dalam artian, hanya ada satu dua duri yang bagian ujungnya masuk kulit. Guru saya memang pintar cara memberi keyakinan kepada murid-muridnya.

Baca juga Mengantisipasi Gangguan Genderuwo

Caranya dengan memprovokasi murid, “Jika nanti ada ujung  duri salak yang masuk kulit, itu menjadi susuk, dan itu menambah kesaktianmu.”

Tentang kenapa duri salak itu tidak menusuk kulit, setelah saya analisa, akhirnya  ketemu jawabannya. Yaitu, karakter dari duri salak itu panjang dan lembek. Dan ketika ditekan dengan beban tubuh dari arah samping, posisi durinya rebah.

Dapat disimpulkan, modal utama melakukan atraksi tidur atau bergulir pada hamparan duri salak itu bukan pada mantra, ilmu kekebalan, namun pada keyakinan atau modal nekatnya.

Timbul pertanyaan, kenapa metode tempo dulu menggunakan mantra, bahkan puasa walau itu hanya satu hari? Jawabnya, itu untuk  menyesuaian zaman dan pola pikir pada saat itu.

Metode harus menyesuaikan zaman, dan siapapun tahu, orang zaman kita itu keyakiniannya masih memerlukan pendekatan mistis (gaib) dan pendekatan budaya.

Maka, tanpa bermaksud memandang sebelah mata metode tempo dulu, dunia kanuragan, beladiri, dsb jika masih menggunakan pendekatan konsep lama, secara bertahap perlu ada perubahan sesuai dengan perkembangan pola pikirnya.

Karena, bagaimanapun bentuknya, warisan metode tempo dulu  adalah “cikal bakal” dari apa yang sekarang kita kenal dan kita manfaatkan dan itu bagian dari  proses alamiah sejarah dan peradaban kita.

Adalah benar jika ada pendapat bahwa amalan, mantra itu diibaratkan bunga yang pada proses selanjutnya bisa berubah menjadi buah, yaitu keyakinan.

Perbedaan

Jika ada perberbedaan antara kalangan awam dengan anggota suatu perguruan beladiri tenaga dalam, itu terletak pada faktor keyakinannya. Ada kisah nyata pernah saya alami.

Tahun 1993 saya menyelenggarakan pertandingan sepak bola api yang melibatkan enam perguruan beladiri tenaga dalam. Tim saya menang pada babak pertama, hingga tim saya bertemu lawan tangguh di final, yaitu perguruan yang rata-rata berfisik tinggi besar.

Melihat itu saya siasati. Saya menghubungi pemain asli sepak bola untuk memperkuat perguruan saya. Ketika saya ajak untuk memperkuat tim saya, tiga pesepakbola itu gemetar dan berkata “Maaf, Pak, nanti kaki saya bisa luka dan luka bakar.”

Lalu saya jawab,”Gampanglah, nanti sampeyan saya isi ilmu kebal api.” Malam menjelang pertandingan, sudah saya siapkan  botol air meneral. Di depan meraka saya komat-kamit seolah membacakan mantra pada botol air mineral itu. Karena tersugesti melihat saya “komat-kamit” mereka lalu berganti kaos perguruan.

Amalan yang bersifat metafisis, selain berperan sebagai ikhtiar, juga sekaligus untuk mengusir “setan” yang ada dalam jiwa manusia. Karena rasa takut, waswas, ragu, itu “bawaan” setan.

Amalan rohani (doa) adalah bentuk permohonan kepada-Nya. Menurut psikolog, tidak ada kekuatan yang lebih unggul daripada keyakinan, karena keyakinan dapat mendatangkan keajaiban.

Masruri, penulis buku, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati