Tujuannya jelas mereka sama- sama ingin jagoannya terpilih dan menang kelak. Mereka yang terus berhimpun dalam satu dukungan luas itu berusaha meyakinkan calon pemilih bahwa jagoannya makin banyak dukungan, dan menurut mereka makin meyakinkan orang yang belum punya pilihan, bahkan mungkin merubah persepsi calon pemilih untuk mengganti pilihan.

Bahasa-bahasa universal seperti aspirasi rakyat, amanat rakyat, digunakan, karena secara teori diharapkan bahasa universal itu mudah difahami sekaligus mudah digunakan meyakinkan calon pemilih.

Upaya memainkan komunikasi dramitisme tersebut tidaklah salah, dengan catatan mereka sampaikan secara jujur dan menjaga etika.

Dalam komunikasi politik pun etika sangat diprasyaratkan. Memang etika itu sangat normatif, namun setidaknya komunikasi itu menjadi kurang etis, manakala ada pihak yang merasa terusik.

Meminjam bahasa iklan, pesan yang etik itu manakala tidak memanfaatkan popularitas pihak lain, atau sebaliknya menjatuhkan pihak lain. Persoalan yang nyata kita saksikan melalui media, utamanya media maya, saling serang , saling memanfaatkan,dan sejenisnya banyak kita saksikan.

Wacana Kritis

Karena di era reformasi ini kita cenderung lebih menganut Teori Penyalahan Individu, maka konsekuensinya misal ada  keberhasilan maka Top Manager yang dipuji. Terkait hal tersebut, maka tidak mengherankan bila tingkat kepercayaan terhadap Presiden Jokowi hingga mencapai lebih dari 80 persen.

Sebaliknya tatkala terkait dukungan terhadap salah satu calon Presiden Jokowi banyak menggunakan simbol- simbol bersayap, maka wacana  yang disampaikan Presiden yang kerena kedudukannya , dan secara kebetulan terkait dengan kerabatnya, maka terjadilah wacana kritis misalnya istilah politik dinasti, mahkamah keluarga, dan yang lainnya yang belum tentu sesuai dengan yang sesungguhnya.

Akhirnya, karena kondisi ini mungkin akan tetap berlangsung hingga pasangan capres- cawapres ditetapkan KPU, maka sebaiknya masyarakat tidak ikut larut ke dalam model-model komunikasi dramatisme para elit politik.

Demikian pula, bila telah ditetapkan kelak,masyarakat secara kritis bisa memilih jagoan yang akan mampu memajukan bangsa dan menyejahterakan masyarakat. Di era teknologi informasi saat ini sangatlah mudah mencari informasi terkait para jagoan yang berlaga melalui jejak digitalnya, dan tujuannya jelas memilih jagoan yang bukan  hanya pandai main drama semata.

Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si Dosen Ilmu Komunikasi USM