Oleh: Dr. Muh Khamdan
Pada 30 Desember 2009, bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya, KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur. Lima belas tahun setelah kepergiannya, nilai-nilai yang beliau wariskan tetap relevan, terutama dalam mengatasi tantangan kemanusiaan dan geopolitik Indonesia di kancah global.
Sebagai seorang pemikir, negarawan, pemimpin spiritual, dan Presiden Indonesia keempat, Gus Dur tidak hanya memengaruhi dinamika politik dalam negeri, tetapi juga membawa Indonesia ke panggung dunia dengan pendekatan yang mengedepankan prinsip kemanusiaan, inklusivitas, dan dialog.
Gus Dur dikenal sebagai pelopor pembela hak asasi manusia (HAM). Dalam pandangannya, nilai kemanusiaan melampaui sekat-sekat agama, suku, dan ideologi. Beliau adalah presiden yang berani meminta maaf kepada komunitas-komunitas yang selama ini terpinggirkan, seperti keturunan Tionghoa dan korban pelanggaran HAM masa lalu.
Komitmen Gus Dur terhadap pluralisme dan toleransi membentuk landasan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Sikapnya ini menjadi teladan dalam menghadapi ancaman intoleransi yang hingga kini masih mengintai bangsa. Gus Dur mengajarkan bahwa menjaga kemanusiaan adalah tanggung jawab kolektif yang harus dijunjung tinggi oleh setiap lapisan masyarakat.
Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur berhasil memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang berperan aktif dalam diplomasi global. Salah satu warisan pentingnya adalah penguatan hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan, terutama melalui pendekatan kebudayaan dan Islam moderat.
Gus Dur juga aktif mendorong kerja sama lintas negara untuk menyelesaikan konflik, seperti di Palestina, Afghanistan, dan Philipina Selatan. Pendekatan diplomasi berbasis nilai ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang dihormati di komunitas internasional.
Tahun 2024 menjadi momen penting bagi Indonesia, yang kini memimpin sejumlah inisiatif perdamaian dunia, termasuk di forum ASEAN, G20, dan D-8. Di tengah ketegangan geopolitik global, seperti persaingan AS-Tiongkok, perang Rusia-Ukraina, dan konflik di Timur Tengah, Indonesia memiliki tanggung jawab besar sebagai mediator.
Prinsip-prinsip Gus Dur dapat menjadi panduan untuk memperkuat peran ini. Dengan menekankan dialog, inklusivitas, dan solidaritas global, Indonesia dapat mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik melalui jalur diplomasi yang manusiawi.
Diplomasi peradaban yang digagas Gus Dur menempatkan nilai-nilai budaya dan agama sebagai jembatan untuk membangun perdamaian. Pendekatan ini relevan di tengah meningkatnya xenofobia dan eksklusivitas di berbagai belahan dunia.
Sebagai contoh, Indonesia dapat mempromosikan moderasi beragama dan nilai-nilai Pancasila dalam forum global sebagai solusi atas radikalisasi dan konflik berbasis identitas. Dengan mengambil peran ini, Indonesia tidak hanya mempertahankan warisan Gus Dur, tetapi juga membuktikan bahwa kemanusiaan adalah kekuatan diplomasi yang tak tergantikan.
Gusdur dan Penolakan PLTN
Wafatnya Gus Dur mengingatkan kita bahwa tantangan bangsa tidak hanya soal politik, tetapi juga kemanusiaan. Di saat dunia menghadapi fragmentasi dan ketegangan geopolitik, Indonesia harus tetap menjadi jangkar perdamaian yang kukuh. Mengenang Gus Dur adalah mengenang keberanian untuk berpihak pada yang benar, meski melawan arus. Semangatnya harus menjadi inspirasi bagi generasi pemimpin saat ini dan masa depan dalam membangun bangsa yang adil, damai, dan bermartabat di tengah percaturan global.
Salah satu momen penting yang menggambarkan empati dan kepedulian Gusdur adalah keterlibatannya dalam demonstrasi menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Jepara, Jawa Tengah. Aksi tersebut tidak hanya mencerminkan kepeduliannya terhadap masyarakat lokal, tetapi juga menunjukkan pandangan politiknya yang berlandaskan keberpihakan terhadap keberlanjutan hidup masyarakat luas.
Dukungan Gus Dur terhadap gerakan anti-PLTN juga mencerminkan pandangan kritisnya terhadap kebijakan pembangunan yang cenderung top-down. Ia mempertanyakan logika pemerintah saat itu yang mengedepankan proyek besar tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat terdampak.
Dalam perspektif Gus Dur, pembangunan PLTN bukan hanya persoalan teknologi, tetapi juga menyangkut risiko keamanan, keberlanjutan lingkungan, dan hak masyarakat untuk hidup bebas dari ancaman bencana nuklir. Pendekatannya menggarisbawahi pentingnya humanisasi dalam kebijakan publik, di mana suara masyarakat lokal harus menjadi pertimbangan utama.
Gus Dur memahami bahwa pembangunan tidak bisa dilakukan dengan mengorbankan keberlanjutan lingkungan. Dalam kasus PLTN, risiko limbah radioaktif dan potensi bencana nuklir menjadi isu yang sangat relevan. Ia memandang bahwa investasi energi harus diarahkan pada sumber energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, seperti energi matahari, angin, atau air.
Kepedulian ini sejalan dengan nilai-nilai Islam yang dianut Gus Dur, yang menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi dengan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan. Dengan memimpin demonstrasi langsung, Gus Dur menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi partisipatif.
Baginya, kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dirumuskan melalui dialog antara pemerintah dan rakyat. Demonstrasi ini bukan sekadar aksi protes, tetapi juga upaya Gus Dur untuk mengingatkan bahwa rakyat harus dilibatkan dalam setiap keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Gus Dur pernah berkata, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Kalimat ini bukan hanya refleksi dari pribadinya, tetapi juga harapan bagi Indonesia sebagai pemimpin koalisi perdamaian dunia.
Dalam era modern ini, nilai-nilai yang diusung Gus Dur tetap relevan, terutama ketika menghadapi tantangan perubahan iklim dan kebutuhan akan kebijakan pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan secara global. Gus Dur mengajarkan kita bahwa pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang tidak mengorbankan manusia dan lingkungannya.
[ Dr. Muh Khamdan Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan Instruktur Nasional Moderasi Beragama]