Namun, karena kritikan itu tidak disertai data, maka selanjutnya dibantah baik oleh Presiden dan Bacapres Ganjar Pranowo, dengan menantangnya menunjukkan datanya, sekaligus siapa penitipnya.
Selanjutnya, karena yang ke dualah yang lebih dominan, justru meta komunikasi politik yang dilakukan menimbulkan efek bumerang bagi pelontar pertama. Sedang bagi masyarakat awam, kebingunganlah yang terjadi.
Meta komunikasi politik yang lain pun terus banyak bertebaran, sehingga selain membingungkan akar rumput, yang dikhawatirkan terjadinya konflik horizontal yang tentu sangat tidak diharapkan.
Memaksimalkan Fungsi
Menggunakan meta komunikasi politik sejatinya cukup tepat dan bagus. Syaratnya tentu komunikator perlu mengetahui kepentingan serta kebutuhan aktual masyarakat calon pemilih.
Contoh konkret menangnya Jokowi- Ahok di pilkada DKI dengan mengusung pesan Jakarta Baru, karena saat itu warga DKI memang butuh atau ingin Jakarta Baru.
Demikian pula dengan kemenangan SBY di periode dua yang mengusung pesan lanjutkan, karena saat itu calon pemilih butuh kepemimpinan SBY dilanjutkan, karena itulah persepsi mereka saat itu.
Singkatnya, saat ini penggunaan meta komunikasi politik dengan skala kecil banyak terlontar di media. Sayangnya para pelontar tidak menggunakan kebutuhan aktual masyarakat sebagai pijakan, melainkan hanya sekedar asumsi atau pun persepsi masyarakat menurut persepsi pelontar (percieved needs), bahkan tidak jarang menggunakan informasi hoaks sebagai pijakannya.
Tentu hal tersebut sangat tidak diinginkan pada calon pemimpin bangsa, dan para pendukungnya pun tanpa reserve harus mengerti dan mendukungnya.
Akhirnya kita tentu berharap iklim komunikasi politik melalui media makin apik, menarik, bergembira ria dan tidak saling menyerang. Semuanya itu tentulah hanya karena satu tekat, demi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi USM