Untuk mencapai keberhasilan, harus berusaha melalui tangan, pikiran dan lisan (berdoa) yang disertai hati pasrah, tawakal. Jika itu dijadikan kebiasaan dalam keseharian, insya Allah kebal dari stres, hingga terhindar dari gangguan yang bersifat kejiwaan.
Sebagai penulis buku metafisika, sesekali saya kedatangan tamu yang mengadukan berbagai permasalahan, terutama yang berkaitan kegagalan karir, ekonomi, dsb. Dan pada umumnya kita itu ingin meraih apa yang diinginkan.
Padahal, optimistis yang berlebihan dan dipaksakan itu sumber permasalahan yang berkaitan dengan kejiwaan. Misalnya, karena terlalu yakin dengan ikhtiarnya hingga melupakan bahwa yang “mengetuk palu” (kepastian) itu Al- Muqtadir, Yang Mahamenentukan. Orang yang membiasakan berbaiksangka (husnuzon) dengan apa yang mereka alami itu jarang yang merasa kecewa.
Syukur atas Kegagalan
Belakangan, banyak orang yang bersyukur dengan kegagalan yang pernah dia alami. Ada teman yang gagal saat tes sebagai Satpam, beberapa tahun kemudian dia bersyukur, “Untung dulu saya gagal, andaikan dulu saya berhasil (jadi Satpam), mungkin saya belum punya perusahaan sendiri,” kata dia yang juga pemilik beberapa toko bangunan.
Ada pembaca buku yang karyawan bank, saat ke rumah, dia berkata, “Pak, untung dulu saya gagal daftar pegawai negeri, andai dulu diterima, mungkin saya belum punya rumah dan mobil seperti sekarang.”
Banyak ungkapan rasa syukur dialami orang yang dulu khawatir tentang kehidupannya. Padahal, kegagalan yang dia alami itu hakikatnya adalah cara Tuhan memberi dan memilihkan tempat yang lebih baik.
Dalam banyak hal, berpedomanlah, Ana inda zanni abdibi, (Tuhan mengikuti apa yang menjadi persangkaan hamba-Nya) karena prasangkamu adalah doamu.
Karena kita tidak mengetahui masa yang akan datang. Setiap keinginan yang ada dalam pikiran itu, sebatas analisa logika. Sedangkan pilihan Tuhan itu berdasarkan sifat Maha-Nya : Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan Maha Segala-galanya.
Maka, ibarat (dulu) kita minta singkong dan tidak diberikan, ya tidak perlu kecewa. Karena boleh jadi ketika Dia menunda pemberian itu karena jatah kita itu diberi buah apel. Karena itu, yakini apa pun pilihan Tuhan itulah yang terbaik.
Falsafah Untung
Selain berbaik sangka, cara ampuh yang dapat menghibur diri itu dengan cara menjiwai “falsafah untung.” Penerapannya? Selalulah berkata untung, untung dan untung, dan yang berkaitan dengan urusan dunia, lihat ke bawah, urusan akhirat melihat ke atas.
Misalnya, Anda gagal mencapai target biasakan seperti sahabat saya saat di perantauan. Agar tidak mudah kecewa, selalu berpikir positif. Saat dia gagal daftar CPNS, dia berkata, “Untung saya gagal, tetangga saya ada yang gagal, koneksinya tidak kembali.”
Tentang falsafah “untung”, orang kita itu pakarnya. Saat ada keluarga meninggal karena kecelakaan di jalan tol, keluarga yang dikampung, berkata,”Untung saya bawa KTP, kalau tidak…?”
Waalau falsafah “untung” itu bisa dijadikan sarana menghibur diri, jika penerapannya tepat, bisa mendorong sikap pasrah. Namun jika itu diterapkan berlebihan, tentu kurang baik, bisa kebal stres.
Saat banyak tagihan, dia merenovasi rumah. Kalau ada collector datang, diberi uang sekedar untuk transpor pulang. Jika ada yang ngeyel, dia berkata, “Besuk kalau ada rezeki, saya cicil.” Lain hari ada yang datang lagi, dia berkata, “Untung kamu masih saya beri janji, dan tidak saya tinggal minggat.”
Orang itu dua kali ikut pencalonan kepala desa dan selalu gagal. Kegagalan kedua mengundang senyum. Begitu sampai rumah, dia langsung tidur dan ngorok di ruang tamu. Padahal dia tahu ada orang yang dipinjami uang itu menunggu di ruang teras rumah.
Masruri, penulis buku, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati