blank
Ilustrasi. Foto: istock/mihajlo maricic

Oleh: Amir Machmud NS

blankSEBAGIAN dari kita yang berprofesi sebagai wartawan tentu menyimak sebuah video viral dengan penuh keprihatinan, belum lama berselang. Sekelompok wartawan (atau oknum wartawan) menyampaikan kekecewaan lantaran hanya menerima Rp 10 ribu ketika meliput Musrenbang Desa di Tangerang.

Ketika video tersebut masih hangat dibicarakan, menyusul berita yang tak kalah seru, 23 September 2023. Di Brebes, tiga orang yang mengaku sebagai wartawan media online ditangkap massa dan diarak ke balai desa karena mengancam dan memeras para petani.

Di luar peristiwa dari Tangerang dan Brebes itu, banyak beredar kisah setereotipe, yakni curhat para kepala sekolah dan aparat desa yang didatangi oleh orang-orang berlabel wartawan dan “mentransaksikan” tuduhan-tuduhan tertentu. Curhat itu banyak disampaikan dalam diskusi atau pertemuan-pertemuan organisasi profesi kewartawanan dengan para pemangku kepentingan.

Berita-berita tersebut memuat kesalingterkaitan antara elemen kemartabatan manusia dan profesi, serta upaya unjuk kesangaran sebagai pilihan jalan membangun eksistensi. Ujungnya, apa lagi kalau bukan untuk memperkuat posisi tawar?

Membangun Kesangaran
Tak sekali-dua kali saya bertemu dengan mobil yang bertuliskan kata berhuruf besar: PERS. Tak jarang pula dengan sukukata ini: WARTAWAN.

Saya juga sering berpapasan atau bahkan ditemui orang yang memakai atribut-atribut kewartawanan. Di topinya, jaket, kaos, atau rompi; lengkap dengan kalung ber-ID-card media tertentu.

Jadi ingat pula pengalaman yang meribetkan, ketika pada 2016 unit usaha Bidang Kesejahteraan PWI Provinsi Jawa Tengah menggagas ide pendanaan untuk kas organisasi dengan memasarkan jaket berlogo PWI Jateng.

Laris manis jaket itu. Tetapi ekses kurang mengenakkan membuat usaha itu segera kami evaluasi. Dari satu daerah kabupaten kami mendapat laporan (keluhan) kawan-kawan pengurus PWI setempat, bahwa banyak orang yang petentang-petenteng memakai jaket PWI itu. Reputasi mereka, kata teman-teman pengurus, masuk dalam kategori “tidak kompeten sebagai wartawan”.

Artinya, betapa atribut-atribut kewartawanan merupakan “modal” bagi sejumlah orang atau wartawan untuk unjuk diri seolah-olah “kompeten” sebagai wartawan.

Simbol-simbol itu menunjang rasa percaya diri mereka dalam “melanglang dunia”, tentu dengan tujuan agar disegani oleh masyarakat atau kalangan yang didatangi. Atribut-atribut itu pun terasa “mengintimidasi”.

Sebagai refleksi sosiologis dan psikologis relasi bermasyarakat, hal-hal demikian memang berpotensi muncul, dalam bidang profesi apa pun. Bidang kewartawanan tak terkecuali. Selalu ada dinamika “pemanfaatan kesan” dengan berlaku menebar keseganan atau ketakutan melalui atribut-atribut wartawan dan organisasi profesi.

Sedemikian “sangar”-kah profesi wartawan, sehingga aneka simbolnya ditonjolkan untuk menebar atmosfer keseganan?

Refleksi Inkonfidensi
Bukankah sejatinya, itu adalah pantulan ketidakpercayaan diri (inkonfidensi) dari orang-orang yang terobsesi menjadi wartawan tetapi sebenarnya minim kompetensi?

Dibandingkan dengan wartawan-wartawan profesional yang telah teruji dengan karya-karya jurnalistik berkualitas, para pengusung atribut kewartawanan itu justru mencoba tampil lebih “menonjol”.

Wartawan kompeten lebih menampilkan eksistensi dengan unjuk produk jurnalistik. Mereka membangun pengakuan dengan aksen kepercayaan publik.

Bukankah informasi yang dipercaya oleh masyarakat adalah yang akuntabel? Dan, akuntabilitas hanya didapat apabila berita itu dibuat melalui mekanisme verifikasi yang berdisiplin.

Profesionalitas wartawan pun akhirnya termaknai sebagai sikap profetik yang komprehensif. Secara skill (teknis) dia oke, secara etis juga oke.

Mudah pula dipahami, etika jurnalistik akan mengalir secara natural dalam ekspresi sikap yang jauh dari kesan mengintimidasi, menekan, menggiring ke ending negosiasi, dan membangun kesangaran tampilan.

Kompetensi akan mentransformasikan konfidensi tampilan wartawan. Selain memahami dan menguasai bidang liputan, juga menghayati hukum pers dan etika jurnalistik. Inilah mengapa aksen Uji Kompetensi Wartawan yang diselenggarakan oleh Dewan Pers melalui sejumlah lembaga uji ada pada titik komprehensivitas kompetensi teknis dan penghayatan etis.

Lalu bagaimana seharusnya mekanisme pengawasan terhadap praktik pelanggaran etika jurnalistik seperti yang terjadi di Tangerang dan Brebes itu? Tentu menjadi coverage Dewan Pers dan aparat hukum, dalam kolaborasi dengan organisasi profesi kewartawanan. Peran pelaporan elemen-elemen masyarakat sudah saatnya dikuatkan.

Iktikad
Pemahaman dalam Kode Etik Jurnalistik bahwa wartawan tidak beriktikad buruk, sejatinya memuat makna menyeluruh dalam penjiwaan etika profesi ini.

Artinya, yang tersubstansi adalah etika substantif, yakni mendahulukan kepentingan umum ketimbang kepentingam pribadi atau golongan. Etika substantif ini menjiwai etika operasional, yakni serangkaian nilai berjurnalistik yang merumuskan kepatutan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Roh “iktikad” inilah yang rupanya sering kurang dihayati oleh sebagian mereka yang memilih menjadi wartawan. Jadi untuk apa sebenarnya kita menekuni profesi ini? Apa tujuan berjurnalistik kita?

Pertanyaan ini akan menggugah apabila sikap kewartawanan kita berangkat dari passion penghayatan nilai-nilai. Awalnya hanya menampilkan “wajah” permukaan atau syariah, selanjutnya bergerak ke relung hakikat, dan syukur apabila kita iktikadkan menjadi sikap makrifat.

Kebanggaan profesi akan sampai ke muara ketika kita tidak memilih berada di level menyimpang dengan unjuk kesangaran, lebih menebar suasana ketakutan.

Dua kejadian di Tangerang dan Brebes itu telah memberi perspektif pentingnya masyarakat “bersikap” untuk ikut “mendidik” wartawan atau orang-orang yang mengaku wartawan. Keberanian warga untuk “melawan” dengan cara mereka akan menginspirasi untuk menghadapi momen-momen ketidakbenaran yang seolah-olah berpayung tugas dan profesi wartawan.

Pesan merawat kehormatan profesi juga menjangkau ke wilayah yang “high level”, yakni tidak beriktikad masuk ke godaan wilayah yang mengundang potensi konsesi “kesejahteraan”. Ya, bukankah selalu ada peluang atribut kewartawanan dan kemediaan masuk ke pusaran manuver wilayah kekuasaan? Apalagi ketika dalam berbagai level struktur pemerintahan, bangsa ini sedang menuju ke kontestasi politik seperti sekarang?

Amir Machmud NS; dosen Ilmu Jurnalistik Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Jawa Tengah