blank
Ilustrasi. Reka: wied

JC Tukiman Tarunasayogablank

TERIMA kasih teman-teman, nampel pulukan minggu kemarin memeroleh banyak apresiasi dan tanggapan.  Ada juga semacam koreksi bagus, menarik, bahkan memerkaya tentang Kekayi yang saya “tuduh” telah melakukan tindak nampel pulukan, padahal senyatanya  ia sedang menuntut tegaknya keadilan karena Kekayi merasa telah terjadi  pengingkaran janji.

Nah, ………….. tentang  ingkar janji,  ini mari  kita  bahas untuk melengkapi ungkapan yang terasa kurang tegas dalam  nampel pulukan kemarin;  dan setelah saya renungkan,  saya temukan salah satu jawabannya mengapa saat ini serasa ada pengingkaran janji, bahkan para tokoh politik pun melakukannya. Inilah yang sedang heboh saat ini, amit-amit jabang bayi, sejumlah tokoh jebul malik.

Sesuatu disebut malik atau bisa juga kewalik, ketika faktanya memang telah terjadi kang jero (dhuwur) dadi ana jaba (ngisor); kemarin-kemarin ada di dalam atau di atas, namun saat ini lho lha kok berada di luar atau di bawah.

Kemarin ngomongnya selalu “aku cinta dan bersamamu,” ehhhhhh sekarang malik: “Emang lu siapa, emang gue pikirin lagi?” Kata-kata itu meluncur dengan sangat enteng pada saatnya.

Baca juga Nampel Pulukan

Pada saat sama-sama sedang pdkt, tawa ceria senyum merekah tersungging sepanjang jalan; namun pada saat lain, karena ada ingkar janji (?????)  segala senyum itu kini tinggallah kenangan. Sepanjang jalan kenangan yang tidak ingin dikenang lagi.

Dinamika perpolitikan kita saat ini sedang seperti ini. Mengherankankah atau jelehi? Apa pun yang akan dikatakan khalayak, faktanya sejumlah tokoh perpolitikan (nasional) kita memang sedang menempuh proses itu.

Seluruh proses malik yang serem,  heboh, dan mungkin oleh beberapa pihak disebut jelehi ini,  dilukiskan oleh khasanah Jawa dengan ungkapan malik tingal.

Malik tingal

Ada tiga makna sangat mendalam tentang malik tingal ini dan sangat kontekstual sesuai dengan kondisi perpolitikan nasional saat ini; pertama, malik tingal itu menunjukkan adanya ganti penemu, berubah pendapat.

Terbukti, dalam dunia politik, yang namanya berubah pendapat (termasuk berubah pikiran??) itu “barang biasa saja,” sementara bagi khalayak dipersepsi kok molak-malik, kok berubah begitu?  Awalnya memulai dengan I love you full, di perjalanan ganti penemu menjadi “Ah, EGP!!” Awaknya postingannya penuh dan serba “ada dia,” dan karena ganti penemu, semua yang serba dia, dihapus.

Kedua, malik tingal bermakna nyelaki kaantepan, maksudnya, kemarin-kemarin sih mantap surantap dengan doi; namun kemantapan itu sekarang ini ditepisnya, dikibaskannya, diingkarinya; bahkan kalau mungkin di-punah-musnah-kan sehingga  tak berbekas lagi.

Dan, makna ketiga ini sangat spektakuler saat ini, yaitu malik tingal berarti mbalik ngeloni mungsuh. Awas, harus tepat betul membaca ngeloni ini. Dalam ungkapan mbalik ngeloni mungsuh ini, artinya berbalik dan memihak/ikut yang dulunya dianggap sebagai musuh/lawan. Ngeloni harus dibaca seperti Anda mengucapkan nama Elon Musk.  Ketika Anda mengucapkannya betul seperti mengucapkan Elon itu, artinya ngeloni ialah ikut, mengikuti.

Dan itu betul! Namun berubah makna,  ketika ngeloni Anda baca seperti mengucapkan kelola atau kelana; blaikkkkkkk…..karena artinya meniduri. Bahwa nantinya fakta akan benar-benar terjadi, misalnya, kemarin-kemarin  dianggapnya lawan, ehhhh berubah menjadi kawan berkomplot, mitra bahkan sebagai  sparing partner, itulah fakta lain tentang politik praktis.

Ajakan dan ajaran moral tentang malik tingal ada pada dua kata kunci ini: pertama, dinamika politik berikut politisi dan parpolnya,  jika sudah sampai pada waktunya, ternyata sangat fluktuatif.  Silahkan saja kalian menjalani hal-hal seperti itu, asal saja, -kedua- , Anda  jangan berubah menjadi malik srengat.

Malik srengat

Apa itu malik srengat? Maaf seribu maaf, malik srengat itu bermakna owah, atau dengan kata lain dadi edan, menjadi gila. Ungkapan ini dapat diartikan bahwa  betul-betul telah terjadi perubahan drastis (owah) menjadi serupa orang kehilangan akal sehatnya. Jangan, dan sekali lagi jangan sampai terjadi seperti itu.

Kalau pun proses selanjutnya nanti masih akan ada/terjadi sejumlah keputusan malik tingal menerpa parpol atau pun politisinya; harus tetap diingat jangan ada satu pun (parpol atau politisi) yang terjangkit malik srengat.

Fluktuasi kondisi dan komunikasi antar parpol dan politisi saat ini memang sedang “mengancam” bagaikan virus yang bukannya tidak mungkin menyerang tiba-tiba.  Secara individual, para politisi umumnya sedang siap-siap bertempur dalam proses pencalonannya di lembaga legislatif, sementara secara kelembagaan mereka ditarget oleh partai politiknya untuk  terlibat all out dalam pencapres/cawapres. Ingat, jangan malik srengat ya kawan-kawan. I love you full.

Pada sisi yang lain, dorongan atau godaan untuk malik srengat itu betul-betul nyata; baik terkait dengan pengadaan amunisi yang harus ada/dimiliki dan akumulasinya pasti akan semakin besar/tinggi; sedang di sisi lain masyarakat pada umumnya sedang  berada dalam “klas penikmat.”

Apa saja yang terjadi, silahkan, yang terpenting:  “Aku dapat menikmati, apa?” Dalam kondisi ingin hanya menikmati saja, inilah sangat besar peluang dan godaannya bagi kedua belah pihak untuk malik srengat.

Oleh karena itu, masyarakat hendaklah terus berusaha untuk tidak owah dadi edan. Kalau mau menabuh genderang, tabuhlah wajar-wajar saja; kalau mau meniup seruling, tiuplah tetapi tetap lihat-lihat waktu dan kondisinya, jangan asal.

JC Tukiman Tarunasayga, Ketua Dewan Penyantun Segijapranata Catholic University