blank
Lestari Moerdijat saat memberikan sambutannya secara daring, dalam diskusi dengan tema 'Perbaikan Kualitas Udara di Kota-kota Besar Indonesia'. Foto: lmc

SEMARANG (SUARABARU.ID)– Masalah pencemaran udara merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pelibatan publik diperlukan, agar kebijakan strategis yang dicanangkan dapat terlaksana dengan baik dan berdampak luas.

”Masalah pencemaran udara bukan tugas pemerintah saja, tapi menjadi tugas kita semua. Dalam hal ini, bagaimana pelibatan publik atau masyarakat, untuk bisa secara aktif bersama-sama mengatasi masalah yang ada,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat secara daring, dalam Forum Diskusi Denpasar 12 Edisi Ke-158, dengan tema ‘Perbaikan Kualitas Udara di Kota-kota Besar Indonesia’, Rabu (22/8/2023).

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Erni Pelita Fitratunnisa (Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta).

BACA JUGA: PAC Candisari Siapkan Massa Ratusan Orang Apel Siaga Pemenangan Pemilu di Stadion Jatidiri

Ada juga Cucu Mulyana (Direktur Lalu Lintas Jalan Kementerian Perhubungan RI), Made Yusadana (Vice President Lingkungan PLN), dan Sigit Reliantoro (Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI).

Selain itu, hadir pula Nova Harivan Paloh (Anggota DPRD DKI Jakarta) dan Zenzi Suhadi (Direktur Eskekutif Nasional Walhi) sebagai penanggap. Diskusi ditutup analisa dari wartawan senior, Saur Hutabarat.

Menurut Rerie, sapaan Lestari, masalah polusi udara merupakan masalah klasik yang terus dihadapi kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta. Berdasarkan catatan Air Quality Index (AQI), Kamis (10/8/2023), Jakarta menduduki posisi pertama sebagai kota dengan udara terkotor di dunia, yakni pada angka 156.

BACA JUGA: SD Muhammadiyah Kriyan Torehkan Prestasi Gemilang di MAPSI Tingkat Kabupaten, Apa Saja Prestasinya?

”Situs pemantau beberapa minggu ini juga menunjukkan kualitas udara makin bertambah buruk. Akibatnya, gangguan kesehatan sudah mulai terjadi,” imbuh Rerie.

Alih-alih menemukan solusi, lanjutnya, masyarakat justru terbiasa memaklumi, karena beragam alasan, seperti memasuki musim kemarau, terbatasnya ruang hijau, industri, dan pembangunan infrastruktur yang kerap meniadakan pertimbangan akan pentingnya reboisasi.

Tanpa sadar, tegas anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu, masyarakat berhadapan dengan masalah yang selalu sama, tanpa solusi pasti. Dia pun mempertanyakan bagaimana monitoring, evaluasi, dan kebijakan strategis untuk mengatasi masalah yang terjadi hampir tiap tahun ini.

BACA JUGA: Nyaleg Pindah Partai, Nurhudi Harus Mundur dari Anggota DPRD Kudus

Menurut Legislator dari Dapil II Jawa Tengah (Kabupaten Kudus, Jepara, dan Demak) itu, diperlukan sinergi yang kuat antarlembaga, organisasi, dan masyarakat terkait dalam mewujudkan kualitas udara yang baik.

”Marilah kita mengedepankan kehidupan publik, dalam upaya menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi. Kita berharap, sinergi antara lembaga dan organisasi terkait, termasuk masyarakat, dapat terwujud menuju Indonesia sehat. Marilah kita mulai dari Jakarta,” tukas Rerie.

Sementara itu, Erni Pelita Fitratunnisa menyatakan, Pemprov DKI Jakarta kini mempunyai lima Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU), baik fix station dan mobile station. Masyarakat dapat melihat pantauan kualitas udara di Jakarta, melalui aplikasi JAKI.

BACA JUGA: Lestarikan Negeri, Polres Kebumen Tanam 1.000 Pohon di Karanggayam

Dijelaskan dia, memburuknya kualitas udara di Jakarta disebabkan banyak faktor, seperti kondisi cuaca, arah angin, hingga suhu udara. ”Memasuki Mei hingga Agustus ini kualitas udara memang memburuk, di mana konsentrasi polutan udara meningkat. Kondisi akan membaik saat musin hujan pada September hingga Desember,” ujarnya.

Berdasarkan analisa Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, lanjut Erni, penyebab memburuknya kualitas udara di Jakarta, dipengaruhi sektor transportasi sebesar 44 persen, industri energi 31 persen, perumahan 14 persen, manufaktur 10 persen, dan komersial satu persen.

Erni menegaskan, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi pencemaran udara. Di antaranya, mengeluarkan berbagai peraturan pengendalian kualitas udara, uji emisi, hingga pedoman angkutan berbasis listrik. Yang terbaru, Pemprov DKI tengah menggodok grand design pengendalian pencemaran udara berbentuk Pergub.

BACA JUGA: Pemberdayaan Masyarakat Tentang Kelas-kelas Jalan di Jawa Tengah 

Sedangkan Cucu Mulyana menyampaikan, tingginya angka kemacetan di DKI Jakarta, berkorelasi dengan tingginya pencemaran udara. Berdasarkan study World Bank tahun 2019, Jakarta menempati posisi ke-10, sebagai kota termacet di dunia. Selain menyebabkan kerugian Rp 65 triliun per tahun akibat kemacetan Jakarta, masyarakat juga dirugikan dengan pencemaran udara.

Diungkapkan Cucu, masih tingginya angka kemacetan di Jakarta, disebabkan masih enggannya masyarakat menggunakan transportasi umum, dan tingginya penggunaan kendaraan pridadi.

Berdasarkan data Kemenhub, pengguna transportasi umum di Indonesia masih di bawah angka 20 persen. Di sisi lain, pertumbuhan kendaraan pribadi naik delapan persen per tahun.

Riyan