Oleh: Amir Machmud NS
KEKUATAN magnetis, bisakah diciptakan? Atau ia memancar sebagai daya tarik yang beraura intrinsik?
Politik citra mengusung ide-ide branding untuk membentuk, menguatkan, merawat, atau mengubah performa personal seseorang.
Branding bisa menegaskan karakteristik, atau menciptakan tampilan seseorang secara berbeda. Dia bisa membentuk citra seseorang semakin menjadi diri sendiri, atau tiba-tiba mengubah “bukan sebagai dirinya”. Dia bisa memperlihatkan daya tarik jatidiri, atau malah mempertontonkan image sifat yang bertolak belakang. Kata Walter Lippman, citra merupakan persepsi tentang apa yang ada dalam benak seseorang, yang tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya.
Politik pencitraan mencoba memersuasi publik dengan menyembunyikan sebagian atau seluruh bentuk asli seseorang, walaupun terkadang manusia tak mampu menolak pemunculan “wajah” atau “karakter” asli secara bawah sadar.
Respons audiens tak mudah secara sederhana dimanipulasi. Acap kali publik paham siapa sosok yang dihadapi lewat sifat yang orisinal, tidak dibuat-buat. Keaslian sifat terungkap sebagai pancaran ekstrinsik dari kenyataan jiwa intrinsik. Walaupun teori framing dipercaya mampu membentuk realitas, namun tidak semua realitas bisa diangkat atau sebaliknya digempur, termasuk oleh kerja masif para endorser, influencer, atau buzzer.
Paman Pemersatu
Menyambung artikel Melirik “Paman Pemersatu Bangsa” (suarabaru.id, Selasa 15 Agustus 2023), fenomena penyatuan persepsi lewat konten-konten viral Tante Ernie di media sosial maupun pemberitaan masif media massa, menarik untuk dianalogikan dengan tawaran performa tiga calon presiden dalam kontestasi 2024 nanti.
Dalam konteks Tante Ernie, yang oleh energi viralitas media diberi predikat sebagai Tante Pemersatu Bangsa, mengetengahkan gravitasi “naluri purba” manusia (laki-laki) lewat magnet body goals.
Artifisial-kah kekuatan daya tarik itu, atau orisinal sebagai kenyataan bahwa seperti itukah elemen-elemen yang dipersepsikan sama oleh publik? Artinya, memuat gravitasi berdasarkan usikan basic Instinct manusia?
Dalam politik citra, yang sejak 2004 menjadi tren ikhtiar pemenangan dan diakui menjadi kekuatan penyuksesan pencapresan Susilo Bambang Yudhoyono, melekat mobilisasi pembentukan segi-segi positif yang menjaring potensi simpati dan impati, juga kekaguman.
Pada momen keterpilihan Joko Widodo pada 2014, tampilan orisinal mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai sosok sederhana, “dikelola” secara simulatif menjadi modal dekonstruktif kepemimpinan nasional. Kegiatan “blusukan” saat menjadi Gubernur DKI adalah antitesis dari lazimnya sakralitas kepemimpinan yang terkesan elitis, menjaga jarak, di belakang meja, dan “sangar”.
Artinya “penyatuan” persepsi publik dikelola lewat mobilisasi citra. Lompatan teknologi informasi makin memosisikan image sebagai produk pembentukan, pengelolaan, dan tujuan yang diberi arah. Setting dan framing makin mudah diagendakan dengan masivitas simulasi.
Tak ayal, tulis Jacko Ryan (detik.com, 20 Oktober 2022), bentuk-bentuk lain politik pencitraan akan semakin beragam hingga 2024. Walau tidak sedikit pula tindakan politik pencitraan berujung ejekan. Ketidaksesuaian gaya politik elite justru menjadi cibiran, sehingga semakin membuktikan tindakan yang dilakukan sekadar skenario.
Aura Orisinal
Orisinalitas tampilan, bagaimanapun adalah bawah sadar yang tidak selalu bisa dikendalikan dengan simulasi political branding. Aura “asli” sifat melekat dalam mimik, gestur, dan pilihan diksi dalam narasi interaksi sosial yang memperlihatkan orisinalitas karakter.
Dalam kondisi tertentu, Anda tidak bisa menyembunyikan gestur kesal, tidak nyaman, “manyun”, atau benar-benar dekat dengan wong cilik. Sifat itu bisa mudah diamati, karena boleh jadi ada yang luput dari coverage simulasi tampilan. Beberapa kali “insiden” paradoks terjadi pada pemimpin yang maunya ditampilkan atau muncul sebagai sosok merakyat.
Media sosial yang dikelola sebagai peranti memperpendek jarak pemimpin dengan rakyat juga bisa menunjukkan jatidiri: apakah dia pemimpin pemersatu yang orisinal, yang berpihak kepada rakyat; atau yang hanya berjargon dan berbaju realitas artifisial.
Di Jawa Tengah, dalam rentang 10 tahun kepemimpinan Ganjar Pranowo, media sosial cukup membantu short cut birokrasi agar alur pelayanan publik tidak mengesankan berbelit-belit, formalistis, dan seram. Citra birokrasi kasual lewat kanal aduan publik dan eksekusi permasalahan mengartikulasikan penggunaan media sosial secara fungsional dan tidak dibuat-buat.
Kunci untuk mendekat, memersuasi, dan menunjukkan komitmen menyatukan persepsi publik pada akhirnya adalah pembuktian orisinalitas sikap yang dirasakan sebagai aura intrinsik, bukan performa bentukan yang hanya merupakan produk simulasi keseolah-olahan.
Dalam contoh sederhana, apakah Tante Ernie Sang Pemersatu Bangsa tampil tersimulasi seolah-olah berbadan bagus, berkulit mulus, dan berparas elok? Nyatanya, dia berhasil membentuk image sebagai sosok yang mendatangkan respons fisik yang sama dari setiap orang.
Nah, siapa di antara ketiga calon presiden: Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto yang sejauh ini telah mengusung kesan dari tampilan aura mereka?
Apa yang sementara ini disodorkan dalam “road show citra”, itukah gestur intrinsik ketiganya? Penampilan siapa yang terbungkus oleh sampul keartifisialan? Siapa pula yang menjadi korban endorser, influencer, atau buzzer yang bekerja untuk sang kompetitor? Atau sebaliknya, siapa yang mampu memanfaatkan kinerja para pendorong opini citra itu sekaligus membenamkan segi-segi positif para rival?
Diksi “pemersatu bangsa” akan membawa nilai maslahat yang besar andai lebih beraksen pada substansi kapabilitas, dan bukan lantaran pandangan instan hanya tentang performa. Pada akhirnya, siapa yang memenangi rivalitas citra: “Paman Pemersatu” yang orisinal versus yang artifisial?
— Amir Machmud NS; dosen Ilmu Jurnalistik Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —