Oleh : M. Dalhar

Menghasilkan kebenaran sejarah merupakan proses penemuan fakta dan pendiskusian panjang. Ada tahap pencarian, verifikasi, dan menyusun bukti-bukti yang ditemukan sebagai bahan rekonstruksi. Hal tersebut biasanya tidak tampak dalam sejarah yang dituangkan dalam film, tari kolosal, atau teater.

Dalam pentas panggung, (kebenaran) sejarah ditampilkan “seperlunya”, bukan “seutuhnya”. Meskipun demikian, kebenaran cerita sejarah tidak boleh diabaikan. Hal ini penting karena pada dasarnya seni bernuansa berimajinasi tanpa batas, sedangkan sejarah dibatasi oleh bukti-bukti.

Belum lama ini, penulis berkesempatan hadir dalam jagong budaya tentang kiprah Ratu Kalinyamat dari berbagai sisi. Goal dari pendiskusian adalah sebagai bahan untuk memperkuat nilai kesejarahan Drama Tari Ratu Kalinyamat yang akan digelar di Lapangan Kembang, Jepara Sabtu 15 Juli 2023 pukul 20.00 Wib. Bagi penulis hal tersebut memang penting dilakukan sebelum dipentaskan tarian yang menggambarkan kebesaran sang Ratu.

Sebab ada ruang-ruang kosong yang belum tergali secara mendalam dari perjalanan Ratu Kalinyamat. Hal ini terjadi tidak lepas dari minimnya sumber primer akibat periode yang relatif tua, awal abad ke-16.

Melalui pentas seni, dalam hal ini adalah tari, sebenarnya kekosongan ruang dapat terisi dengan catatan tanpa mengabaikan unsur-unsur logika. Misalnya adalah ketika mewujudkan kembali sosok sang Ratu di atas panggung.

Sempat menjadi pendiskusian panjang di antara para peserta. Seperti apa penampilannya. Bagaimana tentang gambaran wajah sang Ratu yang ada selama ini. Juga mode dan warna pakaian yang dikenakan, rambutnya, senjata yang dibawa, dan masih banyak lainnya dapat saja dipertanyakan.

Tidak adanya bukti yang ditemukan berakibat cerita menjadi tidak utuh. Seringkali sejarah yang sudah sangat lama akan terdapat banyak kisah yang tidak utuh. Kekosongan itu adalah ruang tafsir untuk menyusun kisah.

Sebenarnya ratu Kalinyamat tidak sendirian. Jika kita membaca cerita sejarah, ada begitu banyak tokoh yang tidak diketahui secara persis tentang wajah atau penampilannya. Mereka tidak kehilangan eksistensi dalam panggung sejarah. Mereka dibesarkan oleh kiprah dan semangat untuk berjuang sesuai dengan zamannya. Sebut saja misalnya Walisanga atau Gadjah Mada.

Visualisasi tokoh dapat dimaknai sebagai upaya untuk memudahkan pemahaman. Menjadi lebih kongrit lagi dalam seni penggung. Perwujudan tokoh menjadi hal yang penting. Perawakan merupakan kunci untuk menampakkan keberanian dan kewibawaan ratu sebagaimana julukan Rainha de Japora Senhora Pederosa e Rica. Dalam konteks ini, tampaknya kronologi sejarah bukan yang menjadi penekanan utama.

Alangkah baiknya jika sebelum penampilan, dibacakan narasi singkat tentang biografi dan perjuangan sang Ratu untuk mengusir Portugis dari Nusantara. Alhasil, kiprah sang ratu tidak dipahami hanya sepotong, tetapi relatif untuh.

Sejarah dan seni merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Dengan seni menjadikan sejarah lebih hidup dan dapat mudah dipahami serta dapat dinikmati. Misalnya dalam bentuk cerpen, novel, film, teater, tari, dan masih banyak lainnya.

Dengan seni, fakta sejarah juga dapat diimajinasikan secara bebas dengan catatan tidak melampaui fakta-fakta atau malah berkebalikan dari kebenaran sejarah yang sudah didapatkan.

Tidak hanya sampai di situ, ketika sudah ditemukan rangkaian sejarahnya, yang tidak kalah penting adalah bagaimana mewarisi semangatnya. Sejarah bukan hanya serangkaian fakta-fakta atau kisah, tetapi bagaimana api semangatnya dapat terwarisi. Diharapkan dengan mengetahui sejarah akan muncul rasa bangga dan rasa memiliki (handar beni) bumi pertiwi.

Dari semangat itu, diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan hari ini dengan berbagai sector kehidupan. Oleh sebab itulah dengan belajar sejarah harapan besar seseorang dapat menjadi lebih arif, bijaksana.

Penulis adalah penulis dan Ketua Forum Pemuda Pelestari Budaya dan Sejarah (FPPBS) Jepara