blank
Suasana pedagang kecil yang berjualan di Alun-Alun Wonosobo. Foto : SB/Muharno Zarka

Oleh Idham Cholid

Sembari momong cucu, saya berkesempatan melihat langsung aktivitas para pedagang. Ketemu mereka, ngobrol, tentu ngopi, juga makan lupis kesukaan saya.

Sudah tiga hari para pedagang berkesempatan jualan di seputaran Alun-alun. Jumat, Sabtu, Minggu: 7-9 Juli. Ada gelaran Festival Sentra Industri, dalam rangka Hari Jadi ke-198 Kabupaten Wonosobo. Diselenggarakan Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, dan Transmigrasi (Disnakerintrans).

Banyak group band yang tampil. Baik dari Wonosobo sendiri maupun luar kota. Full musik. Cukup ramai juga. Apalagi hari Minggu ini berbarengan dengan Riyaya Unduh-unduh atau Syukuran Hasil Bumi.

Acaranya jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) itu sepertinya memang diikutkan rangkaian kegiatan Hari Jadi. Mereka menampilkan beragam atraksi seni, seperti tarian barongsai dan naga. Ratusan peserta berbaris rapi, dijaga Banser, berjalan dari GKJ Jl. Bhayangkara menuju Gedung Sasana Adipura.

Pedagang Senang

blank
Idham Cholid, Pembina Komunitas Pedagang Kecil (Kompak) Wonosobo. Foto : SB/dok Pribadi

Yang pasti, cucu saya yang baru berumur 18 bulan itu ceria sekali. Dia memang sangat senang setiap kali diajak main ke Alun-alun. Bagi dia, mungkin ada pemandangan beda. Bisa jalan lebih panjang, lebih lama. Maklum, lagi seneng-senengnya jalan. Di rumah, baru jalan beberapa meter sudah ketemu dinding, mentok tembok.

Kalau batita –atau bayi (di bawah) tiga tahun– saja senang, bahagia, para orang tua macam kita juga tak jauh beda. Apalagi para pedagang. Mereka jelas sangat senang. Kebahagiaannya tak terkira.

Bisa berjualan di tengah kota, pengunjungnya ramai, tentu lebih membahagiakan daripada jualan keliling. Bayangkan, keliling berjualan, tiap hari, tak jarang sampai dini hari juga, bagaimana rasanya?

Maka, kesempatan bisa berjualan di seputaran Alun-alun bagi para pedagang keliling itu menjadi berkah tersendiri. Boleh dikata, inilah berkah hari jadi. Sesuai “janji” Bupati Afif Nurhidayat sendiri.

Secara terbuka, dia pernah sampaikan janji tersebut saat Halalbihalal bersama para pedagang, beberapa waktu lalu. Intinya, mempersilahkan para pedagang berjualan di tempat favorit tengah kota itu setiap kali ada event.

Terbukti, sudah beberapa kali sejak setahun terakhir ini para pedagang leluasa. Setiap kali ada agenda kegiatan, perayaan, dan atau pertunjukan, apalagi yang diselenggarakan pemerintah, mereka bisa mengais rejeki juga. Tidak jadi penonton belaka.

Bagi para pedagang, kesempatan bisa menggunakan Alun-alun untuk berjualan, tentu sangat mahal harganya. Mahal, bukan berarti mereka (harus) membeli. Itu jelas aset pemerintah yang tak mungkin diperjualbelikan. Pemerintah hanya berkeharusan memberi “penghargaan” yang sama dan setara kepada seluruh warganya. Tanpa pilih kasih!

Lansekap Kota

Sebenarnya, bukan setahun terakhir ini saja para pedagang bisa berjualan dengan leluasa. Mereka sudah lama juga mengais rejeki di sana. Yang cukup terorganisir rapi sejak 2008. Bertahun-tahun sebelumnya masih sporadis.

Fenomena menggunakan pusat kota sebagai tempat berjualan, di banyak daerah juga bisa kita temukan. Di Kebumen, misalnya. Berjualan di seputaran Alun-alun bahkan sampai tiga shift: pagi, siang, malam. Sudah diatur kayak minum obat saja.

Namun, kita tentu tak sepakat jika menyulap Alun-alun sebagai tempat berjualan begitu saja. Mana mungkin tempat indah nan “agung” itu hanya dijadikan pusat keramaian. Alun-alun jelas bukan pasar. Ia harus menjadi lansekap kota.

Adalah suatu pendekatan dalam mendesain kota yang memberikan dampak positif bagi seluruh warganya. Inilah lansekap kota dimaksud. Ia dihadirkan dalam beragam bentuk. Salah satunya, ya Alun-alun itu. Taman kota yang asri, tempat bercengkerama, bertemunya seluruh warga. Siapa saja!

Dengan maksud itulah gagasan revitalisasi dilakukan. Tepatnya, pada pertengahan 2018. Tak butuh waktu lama. Kurang dari setahun sudah selesai. Ketika dibuka, wajahnya sudah berubah total. Perubahan aturan pun kemudian diberlakukan: dilarang berjualan!

Bahkan sejak Alun-alun mau didesain ulang itu para pedagang juga sudah dilarang. Tidak langsung memang. Boro-boro diajak berembug, ngobrol sambil makan-makan layaknya pak Jokowi mengajak rembugan para PKL yang akan direlokasi, hingga berpuluh kali, saat dia jadi Walikota.

Tanpa “ba-bi-bu” para pedagang ujug-ujug hanya melihat ‘banner cloth’ ukuran besar, melingkari Alun-alun. Tertulis: SEDANG DIREVITALISASI. Sejak itulah mereka tersingkir, tak jelas nasibnya, hingga waktu yang cukup lama.

Tiga tahun mereka terkatung-katung hingga menemukan tempat di sepanjang jalan Soekarno Hatta, depan gedung wakil rakyat yang terhormat itu. Pas satu tahun setelah meledaknya Pandemi Covid-19, tepatnya tanggal 3 Januari 2021, hari Minggu Wage, mereka mulai berjualan di sana.

Memang hanya tiap hari Minggu. Dulu, mereka berjualan di seputaran Alun-alun juga tidak setiap hari seperti di Kebumen itu. Hanya hari Minggu. Makanya mereka mengorganisir diri dalam wadah “Paguyuban Pedagang Mingguan Alun-alun Wonosobo” atau disingkat PPMAW.

Secara pribadi, saya sangat bisa memahami, bagaimana kesungguhan dan perjuangan mereka. PPMAW, atau apapun namanya, adalah bukti bahwa para pedagang itu mempunyai kesadaran tinggi dalam berorganisasi. Mereka adalah para pedagang kecil yang sangat taat aturan.

Jika akhirnya mereka harus menggunakan trotoar, atau sebagian ruas jalan, tiap hari Minggu, misalnya, apakah itu pelanggaran? Tentu, sudut pandang dan persepsi kita semua tentang “jalan” itu sendiri yang harus direvisi.

Selama jalan masih dipahami hanya sebagai “road,” tentu alat transportasi saja yang bebas melintas. Segala aturan yang ada sejatinya hanya dibuat dan diberlakukan untuk menguntungkan mereka yang berkendara.

Pahamilah juga jalan sebagai “street” yang tak lain merupakan area pemukiman dan pusat kegiatan publik: sosial, ekonomi, budaya. Di sinilah bedanya.

Sebagai road, jalan semata laluan yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya. Namun tidak demikian dengan street. Ia menjadi wahana yang bisa menghubungkan antar sesama, membangun keharmonisan seluruh warga. Dengan tidak menghilangkan fungsi ekonomi tentunya.

Itu juga seharusnya yang menjadi agenda revitalisasi untuk mewujudkan lansekap kota Wonosobo tercinta. Lebih utuh, lebih menyeluruh. Tak cukup Alun-alunnya saja. Semoga hari jadi tahun ini benar-benar menjadi berkah untuk kita bersama. Perbaikan seluruhnya. Semuanya!

Wonosobo, 10 Juli 2023

Idham Cholid
Pembina Komunitas Pedagang Kecil