SEMARANG (SUARABARU.ID) – PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX menjalin kerja sama dengan perusahaan penambang PT Ananda Pratama (AP) untuk meningkatkan produktivitas lahan yang dinilai kurang produktif.
Kerja sama ini berlangsung selama lima tahun dan ditandatangani sejak tahun 2021 lalu. Lahan milik PTPN IX yang dikerjasamakan, berada di Desa Leyangan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang tersebut, luasannya hanya 5 hektar dan tanaman yang ada di atasnya diganti nilai ekonominya.
Disampaikan oleh Senior Executif Vice Presiden (SEVP) PTPN IX Dr Budiono, setelah sebelumnya mempelajari aturan hukumnya dengan tim rensus (perencanaan dan sustainability) dan tim hukum, maka prinsipnya PT AP bisa menjalankan penambangan jika sudah memperoleh ijin dari PTPN IX (Ngobo) dan hal itu sesuai pula dengan anggaran dasar di PTPN IX.
“Dari anggaran dasar PTPN IX khususnya, itu boleh untuk dioptimalkan. (seperti) membangun mart (toko modern), rumah sakit bahkan tambangpun boleh. Itu dalam anggaran dasar perusahaan. Karena area itu berbatu, tanaman karet kurang produktif. Dengan pertimbangan dari rensus, itu layak untuk dikerjasamakan,” jelasnya di kantor PTPN IX Jalan Mugas, Kota Semarang didampingi Kasubag Perencanaan Totok Indarto.
Dengan kerja sama tersebut, lanjut Budiono, keuntungan yang dihasilkan bisa melebihi dari hasil sebelumnya, ketika area lahan tersebut masih ditanami pohon karet. Selain itu, tanaman yang ada di area kontrak seluas 5 hektar tersebut, seluruhnya juga diganti oleh investor atau perusahaan tambang.
Dengan perhitungan per pohon dihargai Rp 1,5 juta dikalikan rata-rata tiap 1 hektar, diperkirakan ada kurang lebih sebanyak 300 pohon.
“Dalam surat perjanjian kerja sama, juga diatur (perusahaan) penambang ini memberikan kontribusi kepada PTPN IX, sebulan kalau tidak salah Rp 200 juta minimal. Itu sesuai dengan yang dia (penambang) hasilkan. Dari PTPN IX itu sudah dilakukan sesuai prosedur, ketentuan hukum yang berlaku. Termasuk ada izin dari pemegang saham (negara), sehingga perjanjian kerjasama itu bisa berlangsung,” ungkap Budiono.
“Hitungannya (pergantian tanaman) per pohon Rp 1,5 juta, dihitung sampai habis nilai ekonomisnya sampai usia (pohon) 30 tahun itu diganti total. Dilihat dari sisi perusahaan tidak rugi, itu masuk ke rekening perusahaan. Kalau idealnya jumlah pohon per hektar itu 555 pohon. Karena areanya tidak produktif, taruhlah satu hektar ada 300 (pohon) dikalikan 5 hektar dikalikan Rp 1,5 juta,” imbuhnya.
Dikatakan pula oleh Budiono, dalam proses perijinan penambangan di area PTPN IX itu tidak akan berjalan seperti sekarang ini, jika pihak PTPN IX tidak memberikan ijin. Jadi terkait perijinan dari negara, sudah lengkapi dan dimiliki PTPN IX dalam pengembangan usaha.
:Kalau tidak ada izin itu, ya kita tidak berani. Perkara nanti dalam perjalanannya kok ada izin yang belum dipenuhi, itu tanggungjawab penambang. Ada evaluasi. Makanya dalam kontrak itu, jika timbul permasalahan seperti dampak sosial menjadi tanggungjawab penambang,” tegasnya.
Sudah Memiliki IUP
Kasubag Perencanaan Totok Indarto PTPN IX pada kesempatan itu juga menyampaikan, jika sebenarnya sebelum melakukan kerjasama dengan PTPN IX, PT Ananda Pratama sudah memiliki Ijin Usaha Pertambangan (IUP), yang diperoleh dari Kementerian ESDM seluas 60 hektar, di lokasi PTPN IX.
“IUP itu bayar per meter persegi dan resmi (dari) Negara. Yang bayar itu yang minta IUP, resmi bayar ke Negara. Setelah punya IUP, dilanjut ke ijin eksplorasi. Kalau pemilik lahan tidak memberikan ijin, ya tidak terjadi penambangan,” urainya.
Diuraikan pula oleh Totok, kenapa (PTPN IX) memilih PT Ananda Pratama, karena sudah memegang atau memiliki kontrak PSN (Proyek Stratigis Nasional), pembangunan Waduk Jlagung, Karangjati, Ngobo, Kabupaten Semarang.
“Jadi kenapa kemudian kita memlih, karerna yang pasti batu-batu itu sudah pasti dimanfaatkan untuk itu (pembangunan waduk Jlagung). Kalaupun nanti potensinya kurang banyak, berate harus mencari dari temppat lain,” tandasnya.
Absa