Oleh: Amir Machmud NS
// dewa-dewakah itu yang merambah mayapada?/ o, jangan silau oleh cahaya kahyangan/ cukup seraplah kedahsyatannya/ takkan ada yang sia-sia/ walapun tanpa sang mahadewa//
(Sajak “Dewa-dewa Kahyangan”, 2023)
MEREKA “dewa-dewa” yang turun ke mayapada. Bayangkanlah betapa dahsyatnya.
Sayang, di balik suasana terkesima, sang “mahadewa” dipastikan tak ikut meramaikan perjamuan di jagat Nusantara.
“Sang Hyang” Lionel Messi, bersama dua “dewa senior” Angel Di Maria dan Nico Otamendi telah terkonfirmasi tidak berbagi kehebatan kepada publik Gelora Bung Karno, Senin petang besok. Memang masih ada “Batara” Alexis Mac Allister, “Dewa Perang” Rodrigo De Paul, “Dewa Penjaga Benteng” Emiliano Martinez, juga para “pangeran” Julian Alvarez, Enzo Fernandez, dan Alejandro Garnacho; namun muhibah para dewa itu jelas tidak lengkap tanpa “Mahadewa” Leo Messi.
Lalu bakal mendapat apa sepak bola kita dari persinggungan dengan para penghuni “kahyangan”?
Suara nyinyir mungkin skeptik: tak sia-siakah Tim Nasional Merah-Putih menghadapi Argentina — juara dunia tiga kali — dalam FIFA matchday itu? Padahal Piala AFF di lingkup regional Asia Tenggara saja kita belum pernah meraihnya. Mimpi menjadi kekuatan utama di kawasan ini pun belum menemukan stabilitas eksistensi.
Medali emas ketiga SEA Games yang dirindukan selama 32 tahun baru bisa diraih 16 Mei lalu, untuk merintis pengakuan sebagai bagian kekuatan sepak bola di region ini.
Melawan Argentina, yang peringkat pertama FIFA, setelah friendly match melawan ranking 93 Palestina yang berakhir 0-0, 14 Juni lalu, seperti menjamu rombongan dewa dengan “daya linuwih” yang jauh berbeda.
Kondisi Pemacu
Peningkatan kapasitas timnas, bagaimanapun membutuhkan kondisi “pemacu”, tak cukup hanya bertanding melawan tim-tim yang setara.
Logikanya, menghadapi kekuatan-kekuatan dunia bakal merembeskan “hawa” transfer of experiences, transfer of knowledge, dan transfer of technology. Para pemain kita akan ter-“geret” untuk melayani, mengimbangi, dengan mengerahkan kemampuan ekstra.
Pelajaran dalam skill, teamwork, dan sikap profesional, betapa pun tipis pasti akan didapat.
Saya mengenang, betapa Timnas U19 kita, yang hadir sebagai tim pengganti, tampil patriotik menghadapi tim-tim kelas dunia — Argentina, Polandia, dan Yugoslavia — dalam Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo.
Kalah jauh dalam segala segi tergambar dari skor 0-5, 0-6, dan 0-5. Namun para pemain seperti Bambang Sunarto, Subangkit, David Sulaksmono, Mundari Karya, Arif Hidayat, Pepen Rubiyanto, Bambang Nurdiansyah, Imam Murtanto, atau Endang Tirtana seperti ter-“geret” oleh kualitas lawan. Tim racikan Sutjipto Soentoro itu bermain gigih, berani, pantang menyerah, dan tak terlihat inferior.
Standar Kompetisi
Dalam perspektif pembinaan, level pemain dan permainan terbentuk oleh standar mutu kompetisi yang akan meng-“kawah candraimuka”-kan teknik, fisik, dan psikis. Makin bagus standar kompetisi, makin berkemungkinan melahirkan pemain-pemain unggul dalam level yang kompetitif.
Suplemen berikutnya adalah sikap profesional, yang antara lain tercermin dari pemahaman tentang gaya hidup, pola makan/asupan nutrisi, jam terbang, dan “pergaulan” dalam laga-laga internasional berkualitas.
Memperbanyak pertandingan dengan level kompetitif bagi timnas menjadi indikator komitmen untuk memacu kualitas.
Langkah ini banyak dilakukan oleh PSSI di era 1970-an, yang saat itu belum bertajuk FIFA matchday. Kedatangan klub-klub Eropa dan Amerika Latin, ketika itu mewarnai atmosfer sepak bola nasional.
Pada era 1960-an, tercatat Lokomotif Moskwa dan Grassopher Swiss yang menghadapi Ramang cs. Lalu era 1970-an ada Esbjerg Denmark, Kristiansen Norwegia, Brno Cekoslovakia, Hajduk Split Yugoslavia, Timnas U23 Yugoslavia, Santos FC, Atletico Miniero, dan Sao Paulo Brazil, juga Lech Poznan Polandia.
Pernah datang pula Manchester United, dan Ajax Amsterdam untuk bertanding dengan PSSI Tamtama dalam sebuah turnamen segitiga.
Arsenal juga tak ketinggalan berkunjung ke Jakarta dan Surabaya. Lalu dua klub top Belanda, Feyenoord dan PSV Eindhoven.
Klub-klub Liga Amerika Utara: Cosmos FC yang diperkuat Franz Beckenbauer, Pele, Eskandarian, dan Bogicevic; lalu Washington Diplomat dengan Johan Cruyff-nya juga merasakan atmosfer Stadion Senayan.
Pada 1990-an, Sampdoria dan AC Milan dipertemukan dengan Liga Selection. The Samp, yang bermitra dengan PSSI untuk menjadi home training PSSI Primavera, diperkuat oleh Kurniawan Dwi Yulianto dan Anang Ma’ruf. Juga pernah datang, Lazio, Internazionale Milan, dan Liverpool.
Untuk level timnas, juara dunia dua kali Uruguay bermuhibah ke Jakarta pada 2009. Luis Suarez dkk menguji Timnas Piala AFF 2010 kita. Ponaryo Astaman cs kalah 1-6 di GBK Senayan. Gol Indonesia dicetak oleh Boaz Solossa.
Apa Manfaatnya?
Manfaat apa yang didapat?
Transformasi mind set, setidak-tidaknya itulah yang bisa dipetik, karena “pergaulan” internasional merupakan cara terbaik agar timnas kita tidak “cupu” karena “kuper”.
Maka bertanding melawan Argentina tidak bisa dipandang dari sisi kesenjangan level. Pelatih Shin Tae-yong secara tidak langsung telah mengajarkan peningkatan konfidensi dengan memacu peringkat FIFA dari sejumlah matchday.
Mental dan kepercayaan diri Witan Sulaiman dkk tentu akan makin terasah ketika berkesempatan bertarung melawan dewa-dewa dari “kahyangan sepak bola”. Ukurannya bukan semata-mata hasil dari laga itu. Transformasi mental dan transfer of experiences menjadi sisi penting dalam pembangunan mentalitas.
Para penggawa timnas akan merasakan dan mencari cara bagaimana membendung serangan Garnacho dkk, mengimplementasi taktik untuk membuka pertahanan lawan, mengatasi rasa gugup, dan akhirnya berani bersikap, “Mereka bukan alien. Kami siap melayani dengan segala kemampuan…”
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —