SUARABARU.ID Pemberian bantuan tunai bersyarat, atau disebut conditional cash transfers merupakan sebuah strategi yang populer di dunia untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan akses pendidikan, dan penggunaan layanan kesehatan. Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan strategi berskala besar ini dalam sebuah program dengan nama Program Keluarga Harapan (PKH), sejak tahun 2007, oleh Kementerian Sosial dengan pendampingan dari Bank Dunia (World Bank).
Tujuan penyelenggaraan PKH di Indonesia khususnya adalah memberikan kemampuan kepada keluarga sangat miskin untuk meningkatkan pengeluaran konsumsi, mengubah perilaku keluarga sangat miskin untuk memeriksakan ibu hamil / ibu nifas / balita ke fasilitas kesehatan, dan mengirimkan anak ke sekolah dan fasilitas pendidikan.
Sejak diluncurkannya PKH, kajian evaluasi pemanfaatan program terhadap target tujuan terus dilakukan. Program Keluarga Harapan ini disebut-sebut telah efektif dengan ditunjukkannya jumlah peserta graduasi mandiri sejahtera dan penerima PKH yang lulus alamiah di tahun 2020 mencapai target 10% dari 10 juta keluarga penerima PKH. Angka ini menunjukkan persentase keluarga penerima manfaat PKH dianggap sudah mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Program Keluarga Harapan juga dianggap telah memberikan dampak positif dalam mendorong angka tingkat pendidikan yang ditandai dengan peningkatan jumlah kehadiran siswa dari keluarga penerima manfaat PKH di sekolah.
Banyak evaluasi yang menyoroti keberhasilan program PKH pada domain kemiskinan dan pendidikan, namun potensi manfaat PKH pada aspek kesehatan anak 0-6 tahun nampaknya masih belum banyak diketahui dengan jelas. Kurangnya informasi yang menyajikan tentang perubahan kondisi kesehatan anak pada kelompok keluarga penerima manfaat PKH dapat menjadi pencetus lemahnya evaluasi kemanfaatan program untuk kemajuan kesehatan anak. Sebagai gambaran, data menunjukkan 73,1% angka kematian balita di Indonesia tahun 2021 terjadi pada masa bayi baru lahir usia 0-28 hari. Sebenarnya risiko ini bisa diminimalisir dengan kunjungan pemeriksaan bayi baru lahir secara lengkap. Program PKH sendiri sudah menetapkan kewajiban keluarga penerima PKH yang memiliki bayi baru lahir (0-28 hari) untuk memeriksakan kesehatan di fasilitas kesehatan sebanyak 3 kali.
Demikian pula, data indikator kesehatan balita lainnya menunjukkan persentase balita yang dipantau pertumbuhan dan perkembangan di Indonesia di tahun 2021 sebesar 69,6%. Kegiatan pemantauan tumbuh kembang anak sudah dimasukkan menjadi target hasil kegiatan PKH. Namun minimnya diseminasi hasil monitoring kesehatan Program Keluarga Harapan menjadi keterbatasan untuk membandingkan bagimana kondisi kesehatan anak dari keluarga penerima manfaat PKH dan anak keluarga tidak mampu yang tidak menerima manfaat PKH.
Mengingat bahwa kesehatan dan tumbuh kembang anak memiliki pengaruh sepanjang hayat kehidupannya, maka penting untuk menggalakkan perhatian pada monitoring pencapaian target kesehatan anak balita dari keluarga penerima PKH. Jika memang PKH ini mampu secara efektif meningkatkan derajat kesehatan anak, maka PKH dapat dijadikan acuan untuk keberlanjutan kegiatan yang lebih luas dan merata di wilayah Indonesia.
Disisi lain, kami juga menyoroti beberapa kemungkinan yang dapat menghambat ketercapaian PKH, baik dari pelaksanaan kegiatan PKH maupun pengguna manfaat PKH. Tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya hambatan dari individu dan lingkungan sosial juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam penggunaan bantuan PKH. Evaluasi dari beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa persepsi individu atau keluarga, pola pikir, dan paradigma yang menganggap melakukan pemantauan kesehatan anak dan balita di layanan kesehatan (posyandu) kurang dianggap penting. Jika persepsi dan perilaku kesadaran kesehatan masih rendah tentu saja mempengaruhi terlaksananya pemantauan kesehatan anak meskipun telah mendapatkan bantan PKH. Oleh karena itu, hingga saat ini penyuluhan tentang penggunaan PKH kepada penerima manfaat program terus digalakkan.
Bantuan Program Keluarga Harapan pada balita diberikan kepada keluarga balita dalam bentuk bantuan sosial tunai (BST) sebesar tiga juta rupiah per tahun yang disalurkan dalam empat tahap. Hanya saja, dengan metode ini nampaknya cukup sulit memastikan penggunaan dana yang diberikan benar-bear dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan balita. Dimungkinkan perlunya upaya lain untuk mereduksi potensi masalah tersebut. Adanya model pendekatan hibrida – kombinasi uang tunai (atau berupa voucher belanja kebutuhan pangan untuk balita) dengan distribusi barang dapat pilih menjadi sebuah pertimbangan. Model ini dapat mendorong kerjasama dari pemerintah dengan pedagang lokal sekitar wilayah tersebut untuk penyediaan bahan pangan dan sebagai tempat penukaran voucher belanja yang dibutuhkan. Kolaborasi dengan pedagang lokal memperbesar peluang untuk menyediakan bahan-bahan pangan yang diperlukan, mempermudah distribusi barang-barang kebutuhan ke daerah-daerah sulit terjangkau, dan sekaligus dapat mendukung ekonomi pasar lokal.
Keuntungan model hibrida ini ini adalah memastikan bahwa bahan pangan untuk mendukung pemenuhan nutrisi balita didalam keluarga tersedia, tercukupi, dan berkualitas. Bentuk bantuan kombinasi seperti ini diharapkan dapat membantu mengoptimalkan penggunaan dana bantuan secara tepat dan mempermudah monitoring asupan makanan yang tepat bagi pertumbuhan balita penerima Program Keluarga Harapan.
Oleh : Ika Yuli Ayuningrum, MPH ( Program Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret).