SEPULUH tahun silam, saat lebaran di tetangga desa, saya melihat tingkah kakak-beradik usia tiga dan lima tahun dengan perangai yang berbeda. Yaitu, saat saya dan teman-teman membuka tutup toples dan kaleng tempat hidangan lebaran, yang kakaknya menangis.
Dia menunjukkan sikap tidak rela ketika suguhan di ruang tamu itu diambil tetangga yang sedang silaturahmi, berlebaran dan saling maaf memaafkan. Sikap itu sangat berbeda dengan adiknya yang justru membukakan tutup toples, mengambilkan suguhan kue, kacang goreng, dsb.
Karena saya kenal baik dengan keluarganya, kejadian itu sayang untuk dilupakan, karena ada nilai-nilai yang layak diambil sebagai pelajaran pelajaran dalam kehidupan.
10 tahun kemudian, saya mengamati kedua kakak beradik itu. Hasil pengamatan saya, anak yang dulu menangis ketika melihat suguhan lebaran di rumahnya diambil dan dimakan tamu, itu sifat pelit alias bakhilnya masih melekat hingga usia dewasa.
Sedangkan kakaknya dikenal dermawan, dan adiknya wataknya masih seperti zaman kecilnya. Tentang watak bawaan yang sudah ada pada usia kanak-kanak hingga usia dewasanya itu di Jawa disebut dengan gawan bayi atau bawaan lahir yang tetap melekat.
Yang menjadi pertanyaan, bukankah mereka berdua itu lahir dan dididik pada lingkungan yang sama? Lalu siapa yang membentuk mereka? Jawaban atas pertanyaan itu ditentukan dari keilmuwan yang menjawabnya.
Yang pasti, semua lingkungan berperan membentuk dan mengajarkan nilai-nilai, secara langsung atau tidak langsung. Ada juga keyakinan adanya perbedaan asal yang dibawa saat kelahiran, tentu saja setiap orang memiliki perbedaan pada hari, tanggal, bulan dan waktu kelahiran.
Dan perbedaan itu oleh sebagian orang diyakini memengaruhi karakter asli seseorang, sedangkan lingkungan hanya faktor pendukung. Namun ada yang bependapat bahwa yang berperan mewarnai seseorang dalam kehidupannya itu lingkungan terdekatnya.
Termasuk perilaku dan kejiwaan orangtua saat mengandung juga sangat berpengaruh pada karakter, rupa dan perilaku anak.
Pada masyarakat tradisional, membaca watak dan perjalanan masa depan bayi itu berdasarkan ingatan dan keadaan di sekitar lingkungannya, termasuk yang apa yang diyakini sebagai mitos yang berkembang di masyarakatnya.
Orang Jawa meyakini, misalnya, jika ada ayam jantan berkotek (Jawa : Kluruk) sekitar jam 9, 10, 11, 12 biasanya pada lingkungan itu akan ada anak gadis hamil sebelum menikah. Jika ada kilat mengarah ke atas atau bawah, dan ada yuyu atau kepithing sawah berjalan naik ke jalan, diyakini dalam waktu dekat akan turun hujan.
Dan itu tanda-tanda itu sering terbukti. Misalnya, jika ada kilat mengarah samping kanan dan kiri, walau mendung tebal, biasanya tidak jadi hujan. Seandainya terjadi pun hanya grimis kecil.
Yang saya amati termasuk prilaku dan kejiwaan kedua orangtua. Karakter anak bisa berbeda yang disebabkan ada perasaan cemburu karena orangtua dianggap pilih kasih. Orang tua terkadang tidak menyadari telah melakukan itu semua sehingga tersimpan dalam memori anak.
Keluarga punya peran besar dalam membentuk anak-anaknya. Namun demikian ada juga anak yang menemukan dirinya sendiri. Namun sesuai zaman, anak-anak sekarang ini sebagian (malah) lebih banyak berguru dengan televisi, media sosial, dibanding dengan keluarga dan lingkungannya.
Semestinya, orang tua adalah pribadi yang paling penting bagi anak-anaknya. Mereka adalah “dunia sang anak”. Si kecil melihat dunia realitas melalui kehidupan kedua orangtuanya. Karena itu, jika orangtuanya baik, kemungkinan besar kepribadian anak itu juga cenderung baik.
Karena apa yang dekat dengan kita, itu pula yang membentuk kepribadian kita. Orangtua adalah pribadi yang sangat dekat dengan anak, sehingga dapat dikatakan pengaruhnya membentuk sekitar 75 – 80 persen dari corak kepribadian anak-anaknya.
Maka, warisan perilaku, kebiasaan, cara bicara, corak emosi dari orang tua itu juga dapat mewarnai jiwa anak-anak hingga usia dewasanya. Maka alangkah indahnya jika yang diwarisi oleh anak-anak itu kepribadian orangtuanya yang baik. Dan watak orangtuanya yang kurang baik, buang ke laut!
Ada perilaku yang dapat mendatangkan cinta-Nya kepada seorang hamba, yaitu sifat dermawan. Nabi SAW bersabda : “Orang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang bakhil jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka. Sesungguhnya orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah daripada orang yang pintar yang bakhil” (HR. Tirmidzi).
Masruri, penulis buku praktisi dan konsultan metafisika tinggal di di Sirahan Cluwak Pati