blank
Ilustrasi. Foto: markus winkler

Oleh: Amir Machmud NS

REALITAS respons yang berbeda saya temui ketika menyampaikan kuliah jurnalistik, dan menjadi narasumber di forum-forum yang diikuti wartawan angkatan 1990-an.

Dari para mahasiswa milenial 2000-an, saya memeroleh kesan, pemahaman tentang produk teks jurnalistik identik dengan yang biasa mereka akses sekarang. Ringkas, to the point, eye catching, berpijak pada kata kunci dan search engine optimazion (SEO).

Tak ada eksotika teks yang meninggalkan jejak “kesan mendalam”. Ketika ditanya tentang idolatrika wartawan-wartawan unggul, rata-rata mereka menyatakan lebih mengenal presenter televisi seperti Najwa Shihab, Aiman Witjaksono, Andy Noya, atau Karni Ilyas.

Generasi ini “belum sempat berkenalan” dengan wartawan yang melahirkan karya-karya “elok merak ati” seperti Gunawan Mohamad, Leila S Chudori, Sumohadi Marsis, Budy Shambazy, Hendry Ch Bangun, atau Triyanto Triwikromo.

Sebaliknya, respons lain saya dapatkan ketika menyampaikan materi di hadapan para wartawan generasi 1990-an.

Kata mereka, dunia media kita telah kehilangan sebagian besar atmosfer jurnalistik dengan teks-teks unggulan, berbasis jurnalisme sastrawi, dan mengalirkan eksotika yang memikat sebagai magnet.

Pragmatisme gaya penulisan media digital dalam portal-portal berita saat ini, seolah-olah membenamkan kepedulian pada keindahan teks jurnalistik yang — dulu — menjadi salah satu kekuatan pemikat.

Rata-rata, realitas gaya penulisan sekarang menegaskan nuansa kelugasan informasi, mewakili simbolisasi ungkapan perasaan ala emoticon (emoji). Menulis dengan kekuatan “memotret suasana” tidak lagi menjadi passion, karena boleh jadi dipandang tidak efektif di era kecepatan kebutuhan akses informasi. Juga kenyataan penggambaran fakta dan berbagai momen sudah diwakili oleh platform audiovisual.

Tidak sedikit yang mengungkapkan harapan dalam keprihatinan, “Akan adakah masa-masa kita kembali ke khitah jurnalistik indah?”

Dalam pendalaman analisis, eksotika itu juga terkait dengan ekspresi politik pemberitaan media yang idealnya membutuhkan keseimbangan penyajian berdasarkan kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik.

Ketika wartawan dan media punya kehendak untuk menjaga etika jurnalistik, sebagian dari pancaran eksotika tampilan bakal dapat dirasakan. Sebaliknya, eksotika jurnalistik akan makin terbenam manakala transformasi etika dalam praktik bermedia diabaikan.

Basis Rasionalitas
Sebelum menelaah sampai ke basis bisnis sebagai rasionalitas kehidupan media kita sekarang, praksis jurnalistik diwarnai oleh basis-basis rasionalitas yang berkembang sebagai percampuran rasa, hati, kehendak bersama, strategi rezim untuk mempertahankan kekuasaan, serta realitas wartawan dan media sebagai entitas bisnis.

Pertama, Basis Kebinekaan. Media seharusnya menjadi refleksi dari sunnatullah tentang kebinekaan yang “dari sono-nya” melekat sebagai hati dan rasa kehidupan bangsa ini.

Kedua, Basis Kebangsaan. Media kita mengarungi pengalaman berbagai periode kebangsaan, mulai dari perjuangan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, era Demokrasi Terpimpin Orde Lama, era Orde Baru, hingga era Demokratis-Partisipatif Reformasi.

Ketiga, Basis Kemerdekaan Pers. Periode ini merupakan produk transisi perundang-undangan, dari UU 21/1982 ke UU 40/1999. UU Pers layak disebut sebagai “karya agung reformasi” yang secara ekstrem membuka pintu kebebasan pers.

Keempat, Basis Bisnis. Periode ini merupakan “pengisian” era kemerdekaan pers dengan revolusi teknologi informasi dalam bentuk new media yang berbasis internet. Lahir akselerasi penyelenggaraan media yang bertarget pada pengakumulasian google adsense.

Basis rasionalitas tersebut berlandaskan pada ideologi viralitas, yang tidak menyaring kebajikan-kebajikan nilai informasi sesuai fungsi media (UU Pers), dan mempertimbangkan etika jurnalistik.

Kehilangan eksotika teks pun semakin diperkuat oleh pilihan isu yang lebih beraksen pengagungan ideologi viralitas. Pada sisi lain, tidak memedulikan kebajikan (fungsi pers) untuk memberikan informasi, memberi edukasi, memberi hiburan, dan menjalankan kontrol sosial.

Dari sisi Kode Etik Jurnalistik, rambu-rambu pornografi, juga sensitivitas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) seakan-akan sudah tidak lagi dijadikan pengendali dan diniatkan menjadi “penjaga bangsa”.

Di Mana Posisi Eksotika?
Jadi, di mana posisi estetika di tengah kemeruyakan bias basis bisnis seperti itu?

Apakah ini sekadar fenomena “tren” yang dalam khazanah budaya pop pada saatnya akan disusul dengan tren-tren lainnya secara siklistik?

Bagi saya, jurnalistik adalah ruang untuk menyampaikan informasi. Setiap zaman punya cara dengan segala dukungan peranti, mungkin juga gaya untuk merespons tingkat keberterimaan karya-karya jurnalistik itu.

Artinya, apakah kita menerima “kehilangan” atau “pemudaran” eksotika yang diperparah oleh pengabaian etika?

Tentu tidak. Jurnalistik, sesuai khitah dan sejarahnya, adalah penyampaian kabar melalui tulisan. Pemaknaan teks yang berkembang dalam formulasi infografis, audio, dan audiovisual; dengan aneka platform penopang new media, tetap memosisikan teks sebagai “pembahasaan pesan” yang utama.

Rasanya perlu digaungkan sikap kembali ke khitah eksotika jurnalistik. Kita kembangkan spirit praksis bahwa keindahan narasi tulisan pun bisa mengikuti tuntutan ideologi viralitas.

Amir Machmud NS; dosen jurnalistik di Fiskom UKSW Salatiga, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah