Oleh: Khomaru Zaman, S.Sos
Money politics atau politik uang selalu mewarnai setiap hajatan pemilu hingga pilihan petinggi di Indonesia dan bahkan menjadi budaya sampai sekarang. Pada saat perhelatan demokrasi , politik uang selalu dicaci, namun dicari. Dari mana asal usul budaya politik uang di Indonesia?
Politik uang di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Politik uang dimulai pada saat pemilihan kepala desa (kades) atau lurah pada zaman Pemerintah Hindia Belanda. Ketika itu jabatan kades/lurah dilakukan sesuai adat istiadat secara turun-temurun. Tidak ada pemilihan langsung oleh warga desa.
Karena banyak kades/lurah yang mbalelo terhadap perintah Hindia Belanda, seperti pengumpulan pajak, kerja paksa hingga tanam paksa, akhirnya Pemerintah Kolonial Belanda membuat aturan pemilihan kades/lurah dilakukan secara langsung oleh warga desa atas nama demokrasi di desa.
Demokrasi pemilihan langsung itu sebenarnya didesain untuk memuluskan kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap desa. Calon yang jadi kades/lurah dikondisikan oleh Belanda yang bisa dijadikan sebagai kepanjangan tangan dengan cara mengintervensi pemilihan dan juga memberi iming-iming uang kepada warga desa (pemilih). Disitulah akar budaya politik uang.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1955 Indonesia melaksanakan pemilu dengan suasana yang demokratis tanpa politik uang. Pemilu dilakukan secara bebas, jujur dan adil. Rakyat berpartisipasi aktif tanpa tekanan dari pihak manapun. Setelah orde lama berganti ke orde baru, pemilu dilakukan dan dikondisikan untuk memenangkan partai pemerintah. Pemilih dimobilisasi dan politik uang bersemi kembali hingga kini.
Budaya Negatif
Politik uang adalah sisi gelap pada pemilu di Indonesia. Pemilu dianggap tak ubah hanya mekanisme pasar, para pemilih adalah konsumennya dan para politisi adalah wiraswastawannya (Schumpeter dalam Urbaningrum, 2004). Mindset ini memunculkan praktik politik uang secara masif. Politisi berposisi sebagai patron, sedangkan pemilih menjadi klien. Akibatnya, pemberian uang dimaknai sebagai hubungan antara patron dengan klien secara wajar.
Ada beberapa pasal yang mengatur secara tegas tentang larangan politik uang, diantaranya Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523 pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Juga UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Namun, para aktor politik masih tetap melakukan praktik politik uang dimana-mana dan seakan tidak ada rasa takut terhadap ancaman hukuman pidana yang telah diterapkan.
Pasal 515 UU No. 7 Tahun 2017 secara tegas melarang praktik politik uang, bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000.
Praktik politik uang secara jelas telah mereduksi pemilu sebagai sarana mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran rakyat mengenai demokrasi. Menurut Estlund (2012), politik uang memiliki arti sebagai perbuatan curang dalam pemilu yang hakikatnya sama dengan korupsi.
Implikasi serius politik uang adalah jalinan politik antara pemilih dengan wakil-wakilnya memudar pasca-pemilu. Demokrasi dibajak elit politik, struktur organisasi partai lebih diarahkan sebagai alat tawar-menawar kepentingan politik elit untuk berburu kapital. Arena politik bukan lagi wilayah yang dipergunakan untuk memperjuangkan sebuah cita-cita, melainkan sekedar medan laga perjuangan elit berburu kekuasaan.
Melestarikan politik uang itu sama dengan melestarikan kekejaman Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengaburkan harapan dan cita-cita kita bernegara. Dan dampaknya sangat mengerikan. Sebab politik trensaksional berbiaya tinggi ini menyebabkan bangsa ini tak bisa keluar dari cengkeraman korupsi.
Penulis adalah pemerhati sosial dan politik di Jepara