Oleh: Amir Machmud NS
// masih adakah yang dia cari?/ sekadar naluri tertantang/ dan rasa memenuhi tantangan?/ semua sudah dimiliki/ dia hanya mengejar bukti/ yang takkan ada habisnya…//
(Sajak “Jalan Takdir Pep”, 2023)
BERTAKDIRKAH Pep Guardiola meraih trofi Eropa bersama klub di luar Barcelona?
Pertanyaan itu mengemuka, karena setelah hijrah ke Bayern Muenchen (2013-2016) lalu mengarsiteki Manchester City sejak 2016, Pep belum berhasil meraih lagi gelar juara Liga Champions.
Langkah tertinggi bersama Bayern hanya sampai semifinal 2013-2014, dihentikan 0-5 oleh Real Madrid. Sementara itu, City-nya Pep menjejak partai puncak pada 2021, dan dalam kondisi yang sebenarnya diunggulkan, kalah 0-1 dari Chelsea.
Di Barcelona selama 2008 hingga 2012, di luar piala-piala lokal, pria kelahiran 18 Januari 1971 itu mempersembahkan dua trofi utama Eropa, 2009 dan 2010. Dia membangun El Barca menjadi kakuatan utama dunia.
Pria Spanyol itu belum masuk daftar pelatih yang meraih gelar Eropa di dua klub berbeda, seperti Ernst Happel (Feyenoord 1979/Hamburg SV 1983), Ottmar Hitzfeld (Borussia Dortmund 1997/Bayern Muenchen 2001), Jose Mourinho (FC Porto 2004/Inter Milan 2010), Jupp Heynckes (Real Madrid 1998/Bayern Muenchen 2012), dan Carlo Ancelotti (AC Milan 2003, 2007/Real Madrid 2013, 2022).
Parameter Eropa
Seperti halnya ambisi pemilik Paris St Germain, investor Manchester City tampaknya juga butuh parameter kesuksesan dari raihan trofi Eropa.
Ketika gelar liga sudah dikuasai, pembuktian apa lagi yang dikejar kecuali kejayaan Eropa? Dua klub yang di-back up kucuran uang taipan Qatar dan Uni Emirat Arab itu butuh realisasi penaklukan Eropa.
Itulah mengapa The Citizens merekrut Pep Guardiola. Mereka mengingini sang ideolog sepak bola menyerang itu mentransformasikan filosofi dan kejeniusannya, kemenangan dengan permainan indah; namun seperti perjalanannya di Muenchen, sejauh ini jejak Eropa juga belum berhasil dia torehkan.
Musim inikah kesempatan terbaik bagi Pep untuk pembuktian garis jalan Eropa di luar Barcelona?
Artinya, dia harus mampu membawa Kevin de Bruyne dkk mengalahkan Real Madrid di semifinal Mei nanti, lalu menundukkan Inter Milan/AC Milan di laga pamungkas pada 11 Juni.
City berkembang menjadi elemen kekuatan Eropa yang mengesankan, sedangkan Real Madrid punya tradisi dan mentalitas di pelataran Eropa sebagai klub terkuat, pemegang rekor 14 kali juara Liga Champions.
Dari sisi pengalaman, Los Blancos jelas lebih kinclong. Ancelotti mampu meracik sisa-sisa Galacticos dengan sejumlah pilar baru menjadi kekuatan matang. Mentalitas Madrid merupakan cerminan karakter pemenang di “habitat” Eropa.
Sementara itu, The Citizens kini memperlihatkan tren kematangan sebagai pasukan kolektif yang bersandar pada kehebatan para penggawanya.
Sejak 2016 Pep menyulap City sebagai kekuatan elite Liga Primer dengan empat kali juara pada 2018, 2019, 2021, dan 2022, namun dalam petualangan di panggung Eropa secara mental terasa masih ada “barrier” atau “tirai penghalang”.
Musim ini Pep memetamorfosis pasukannya ke fokus ketangguhan mental. Simaklah bagaimana anak-anak Etihad dengan telaten mengejar Arsenal di klasemen liga. Bagaimana pula De Bruyne memperlihatkan maturitas sebagai pemimpin yang mengorkestrasi permainan ofensif bersama Jack Grealish, midfielder dengan pesona skill ala legenda Paul Gasgoigne.
John Stones, Manuel Akanji, Ilkay Gundogan, Bernardo Silva, Ryad Mahrez, Phil Foden adalah puzzle kehebatan yang menopang ketajaman Erling-Burt Halaand dan Julian Alvarez.
Dengan segala plus-minusnya, skematika elok ala Pep memang belum menyamai “keabadian” tiki-taka Barcelona yang dia racik pada 2008-2012, namun kolektivitas yang tergalang selama tiga musim terakhir telah menghadirkan “monster” baru bernama Manchester City.
Kuartet De Bruyne, Grealish, Halaand, dan Mahrez sebegitu mengerikan bagi tim mana pun yang bertemu City.
Dengan taktik apa Carlo Ancelotti menghadapi “badai Citizens”? Pertanyaan yang sama: cukupkah up-trend mentalitas City menghentikan tradisi kuat pemenangan Real Madrid, Mei mendatang?
Semua elemen kedahsyatan sepak bola rasanya bakal tersaji di semifinal City-Madrid. Pelatih genius versus pelatih genius, kiper top Thibaut Courtois vs Ederson Moraes, bek tangguh Antonio Rudiger vs Manuel Akanji, kreator permainan Luka Modric vs De Bruyne, dan “monster gol” Karim Benzema vs Erling Halaand.
Lalu pada titik mana kita memastikan garis jejak Eropa Pep Guardiola di luar realitas capaian mewahnya di Barcelona?
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —