blank
Ilustrasi. Foto: mudassariqbal/pixabay

Oleh: Amir Machmud NS

blankJIKA Anda mengujari seseorang dengan konotasi status yang berpotensi menciptakan ketidaknyaman, terpikirkah andai dengan nada yang sama ujaran itu dialamatkan kepada Anda sendiri, atau kepada keluarga Anda?

Jika Anda menyerang martabat seseorang lewat media sosial dengan intensi tertentu, terbayangkankah apa yang dirasakan oleh orang yang menjadi objek ujaran itu?

Dalam ajaran adiluhung Jawa dikenal ungkapan “nepakke karo awake dhewe”. Artinya, sebelum mengucap atau melakukan sesuatu kepada pihak lain, bayangkanlah terlebih dahulu bagaimana seandainya hal itu dilakukan orang kepada diri kita.

Viral ucapan Bima Yudho Saputro, Tiktoker asal Lampung yang menyebut Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan kata ganti tertentu, mengingatkan tentang ajaran tersebut. Apalagi ketika tokoh PDIP Hendrawan Supratikno menyentil mengenai pentingnya adab dalam kebebasan.

Bima mengomentari wawancara Najwa Shihab dengan Ganjar Pranowo. Najwa memancing, apakah keputusan menolak kehadiran Israel di Piala Dunia U20 merupakan perintah Megawati Soekarnoputri atau bukan.

Dalam Tiktok-nya Bima berujar, “Udah ketebak dah, lagian disuruh ngomong sama itu janda, janda satu itu, lo nurut. Aduh udah deh enggak usah ditanggepin…

Menurut politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno (cnnindonesia.com, 23 April 2023), seharusnya Bima bisa membekali diri dengan pengetahuan yang substantif. Hendrawan mendorong sikap kritis anak-anak muda, namun juga mengingatkan, dalam kebebasan berpendapat tetap dibutuhkan adab, dengan landasan pemahaman ilmiah dan kearifan kultural.

Akhirnya Bima meminta maaf melalui klarifikasi di akun @awbimaxreborn, Minggu (23/4). Dia mengaku sedang mengungkapkan isi hati mengenai kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. “Di situ tuh, gue tidak bermaksud untuk menggunakan konotasi janda itu kayak buruk ya. Gue bilang karena mengungkap kekesalan gue ketika itu Piala Dunia dibatalkan. Gue cuma menyuarakan isi hati gue sendiri,” ujar Bima (cnnindonesia.com, 24 April 2023).

Dia juga beralasan, karena bekerja di bidang media sosial, kata “janda” itu digunakan untuk mengundang perhatian banyak orang.

Simpati
Nama Bima viral ketika kritiknya tentang kondisi jalan di Lampung menimbulkan beragam reaksi. Dia mendapat banyak simpati karena Gubernur memberi respons yang cenderung kontraproduktif. Akan tetapi, unggahan Bima tentang “janda” meluruhkan simpati netizens terhadap kritiknya tentang Lampung.

Apa artinya? Kritik konstruktif untuk kepentingan publik lewat media sosial akan memberi manfaat, namun berujar dengan intensi ofensif secara personal bisa berefek sebaliknya. Walaupun yang diserang adalah figur publik, akan tetapi respek kepublikan akan hilang dan berpotensi menimbulkan antipati.

Apakah ungkapan “Gue cuma menyuarakan suara hati gue sendiri” dan “menggunakan kata janda untuk mengundang perhatian banyak orang” bisa menjadi justifikasi bahwa kita boleh ngomong apa saja, tertuju kepada siapa pun, entah itu berakibat menyakiti, melukai, atau menimbulkan kemarahan?

Tentulah tidak tepat. Penghayatan “nepakke marang awake dhewe” merupakan sikap introspektif dengan mempertimbangkan, misalnya, “Bagaimana rasanya andai ujaran itu ditujukan orang kepada kita, atau orang-orang terdekat kita?”

Atas nama “menyuarakan suara hati”, bolehkah kita mengabaikan hati dan rasa perseorangan, atau kelompok? Atau yang dalam perkembangan sekarang, di berbagai akun media sosial para buzzer, muncul unggahan-unggahan yang menyentuh segi-segi primordi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)?

Ujaran “janda” dalam unggahan Bima boleh jadi dipandang sebagai dinamika biasa dalam memilih diksi, namun tentu tidak patut dianggap biasa apabila kita menengok aspek-aspek adab berkomunikasi. Yakni dengan mempertimbangkan rasa dan efek.

Tak sedikit ujaran ofensif di media sosial yang menimbulkan komplikasi sosial dan hukum. Dalam sejumlah kasus, proses hukum diwarnai oleh realitas paradoks: “betapa mudah menista, betapa mudah meminta maaf”.

Gestur dan Nada Pesan
Dalam Kitab Suci, komunikasi massa mendapat rambu-rambu yang visioner. Penegasan ucapan (qaulan) dibingkai dalam nilai dan pemaknaan pesan, mencakup cara menyampaikan, mengemas narasi, mempertimbangkan substansi, bahkan sampai pada aspek-aspek “nada” dan “gestur”.

Intinya, bagaimana pesan bisa sampai kepada penerimanya lewat hasrat dan teknik penyampaian yang efektif dan memanusiakan.

Tercatat enam “gestur” dan “nada” tuntunan penyampaian pesan, dengan intensitas masing-masing.

Pertama, Qaulan Sadida, yakni perkataan yang tegas dan benar secara narasi dan substansi, seperti dalam Surat Annisa Ayat 9. Istilah ini dua kali disebutkan.

Kedua, Qaulan Baligha, yakni perkataan yang tepat, fasih, jelas arti dan maksudnya. Arahnya adalah efektivitas, yang disebutkan dalam Surat Annisa Ayat 63.

Ketiga, Qaulan Maysura, yakni perkataan yang mudah dicerna dan dikomunikasikan. Aksennya juga efektivitas, disinggung dalam Surat Al-Isra’ Ayat 28.

Keempat, Qaulan Ma’rufa, yakni perkataan yang sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan. Pesan ini ditekankan sebanyak lima kali, antara lain dalam Surat Annisa Ayat 5.

Kelima, Qaulan Layyina, yakni perkataan yang lembut, seperti yang diingatkan lewat Surat At-Thaha Ayat 44.

Keenam, Qaulan Karima, yakni perkataan yang memuliakan, disebutkan dalam Surat Al-Isra’ Ayat 23.

Pada sisi lain, ungkapan “netizen mahabenar” menggambarkan tentang penggunaan peranti teknologi informasi yang tidak mempertimbangkan akibat apa yang berpotensi muncul. Kondisi ini menunjukkan betapa keruh ruang digital kita. Kebebasan dimaknai sesuai selera masing-masing orang yang tidak memperhitungkan ada hati yang dilukai, ada rasa yang disakiti, ada hak yang dilangkahi.

Lebih memprihatinkan lagi, intelektualitas akademik tidak menjamin penggunaan peranti media sosial itu menciptakan atmosfer keterkendalian unggahan. Berita viral dari unggahan seorang peneliti BRIN yang menyampaikan ancaman kepada warga Muhammadiyah atas perbedaan hari Idul Fitri 1444 Hijriah, menunjukkan kekurangbijakan dalam menyampaikan pendapat, dan tentu jauh dari enam visi qaulan.

Kasus Tiktoker Bima, dan postingan ancaman peneliti BRIN, hanya sebagian kecil di antara fenomena kekurangmampuan mengemas komunikasi. Ayolah, bukankah mengembangkan filosofi “nepakke karo awake dhewe” merupakan sikap cerdas dan arif dalam bermedia sosial?

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah