PREPEKAN atau Prepegan, merupakan tradisi keramaian pasar bagi masyarakat (Jawa) saat menjelang Lebaran Idul Fitri. Ini ditandai dengan banyaknya warga masyarakat yang berbelanja aneka kebutuhan untuk perayaan Lebaran ke pasar-pasar tradisional.
Budayawan Jawa peraih anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, mengatakan, Prepekan sebagai keramaian pasar menjelang Lebaran telah mentradisi secara turun temurun. ”Itu terjadi sekali dalam setiap tahun, yakni saat menyongsong perayaan Lebaran Idul Fitri,” ujar Pranoto yang juga abdi dalem Keraton Surakarta ini.
Wajar bila masyarakat beramai-ramai berbelanja ke pasar untuk membeli aneka ragam kebutuhan perayaan Lebaran. Bagi mereka, Lebaran merupakan hari istimewa, hari kemenangan setelah usai menjalani ibadah puasa sebulan di Bulan Ramadan secara Islami. Tibalah saatnya untuk kemudian merayakan kemenangannya itu, di hari Raya Lebaran Idul Fitri.
Sebab setelah keramaian Prepekan berlangsung, sehari kemudian yakni tepatnya pada Hari H Idul Fitri, biasanya akan terjadi apa yang dinamakan Pasar Mati. Itu terjadi, karena para bakul pasar (tradisional) istirahat tidak melakukan aktivitas niaga. Mereka mengedepankan acara silaturahmi halalbihalal ke rumah saudara, untuk saling memohon dan memberi maaf secara lahir batin.
Dalam Buku Adat Tata Cara Jawa Karya Drs R Harmanto Bratasiswara (Yayasan Suryasumirat, Jakarta 2000), disebutkan bahwa Prepekan merupakan kesibukan berbelanja menyongsong datangnya Lebaran. Banyak kegiatan dilakukan oleh masyarakat untuk menyambut Lebaran. Puncak aktivitas mereka berbelanja tersebut, disebut sebagai Prepekan.
Sarana Ruwatan
Keramaian berbelanja masyarakat di momentum Prepekan, bagai menghidupsuburkan kegiatan niaga di pasar-pasar tradisional. Sebab, kegiatan berbelanja mereka ternyata tidak terbatas membeli aneka komoditas untuk pesta Lebaran. Tapi juga membeli aneka kebutuhan lain seperti busana baru untuk seluruh anggota keluarganya.
Transaksi jual beli di momentum Prepekan, menjadi sesuatu yang memiliki nilai kepuasan tersendiri bagi masyarakat. Tidak saja busana baru yang dibeli, tapi juga beramai-ramai membeli aneka perhiasan emas, untuk dipakai saat merayakan Lebaran, ketika melakukan silaturahmi ke sanak famili.
Bagi masyarakat Jawa, pasar tradisional tidak sekadar sebagai tempat melakukan aktivitas transaksi jual beli. Tapi ada yang memahaminya secara spiritiual, pasar dapat untuk media ritual ruwatan demi membebaskan lilitan sebel sial (kesialan).
Itu biasa dilakukan pada pengantin pria yang arah menuju ke rumah mertuanya ngalor ngulon (barat laut). Dia akan mengawali pemberangkatannya dari pasar tradisional. Sarana ini, diyakini sebagai upaya spiritual mentralkan pengaran-aran (sesebutan) bahwa arah menuju ngalor ngulon itu nyampar maejan.
Abdi Dalem Keraton Surakarta, Raden Tumenggung (RT) Purnomo Tondo Nagoro, menyatakan, sesebutan nyampar maejan diartikan nyandhung patoknya orang meninggal di kuburan. Menjadi pertanda buruk bagi pengantin pria, yang arah perkawinannya menuju kiblat barat laut.
Agar aura lilitan nyampar maejan itu netral, dapat dilakukan sarana dengan ichtiar melakukan ruwatan pasar. Yakni berangkat dari pasar tradisional, bukan dari rumah.
Bambang Pur